SULITKAH menulis cerita anak sehingga tak banyak orang bersedia untuk menulis? Terlepas dari faktor informasi yang mungkin tidak sampai atau kondisi geografis Maluku yang terpisah-pisah karena lautan?

Menulis merupakan kegiatan yang butuh proses. Sebuah tulisan tidak dimulai dari sebuah kesempurnaan, tetapi tumpukan coretan dan gumpalan kertas yang tidak terpakai karena ketidakpercayaan penulis saat menulis satu atau dua kalimat. Yang namanya proses berarti harus dimulai dan tak berhenti hingga melahirkan tulisan. Memang benar bahwa menulis cerita anak lebih sulit daripada menulis cerita bagi orang dewasa. Penulis harus bisa menyelami karakter anak-anak, minat anak, dan semua yang berhubungan dengan anak. Faktor-faktor tersebut dapat tertuang dalam aspek penulisan cerita baik yang berlaku bagi cerita anak-anak maupun orang dewasa. Selain itu, kekompleksan orang membuat penulis dewasa sulit menuangkan ide mereka dalam sebuah cerita sederhana. Padahal, cerita anak hanyalah cerita sederhana, alur sederhana, tokoh dan perwatakan sederhana, tema dan moral tentang hidup dan kehidupan, manusia dan kemanusiaan, latar yang menarik, dan bahasa yang sederhana. Benarkah semudah itu? Benarkah sesederhana itu? Ada lima aspek yang harus diperhatikan dalam penulisan sebuah cerita.

Pertama, alur cerita. Burhan Nurgiyantoro dalam bukunya yang berjudul Sastra Anak mengutarakan bahwa alur cerita merupakan urutan kejadian yang memperlihatkan tingkah laku tokoh dalam aksinya. Kejadian atau aksi yang dimaksud bisa menegangkan, menarik, menjengkelkan, menakutkan, mengharukan atau kategori rasa lain yang berlaku bagi tokoh protagonis atau antagonis. Hal-hal inilah yang menjadi daya tarik pembaca anak dan dewasa. Namun, semua itu harus diurutkan dengan jelas agar menarik dan harus tertuang di isi ceritanya. Nurgiyantoro juga menjelaskan bahwa kehidupan anak-anak itu layaknya kehidupan orang dewasa. Mereka juga berbicara soal hidup dan kehidupan, manusia dan kemanusiaan. Oleh karena itu, untuk menjadi sebuah cerita hal tersebut tidak bisa hanya disejajarkan. Harus ada pasang-surut, naik-turun, pergi-pulang, bolak-balik selayaknya kehidupan yang dipahami orang dewasa dan ini terhubung dengan yang namanya konflik. Konflik untuk anak-anak bisa tentang anak dengan teman dan lingkungannya, seperti persahabatan, perce­kcokan, solidaritas pertemanan, pengkhianatan, dan lain-lain. Konflik anak tentang diri sendiri, seperti rasa tarik-menarik antara rajin dan malas, jujur dan pembohong, mau membantu orang lain dan tak peduli, rasa takut, atau tentang ganjaran bagi yang rajin beribadah dan hukuman bagi yang malas, dan lain-lain. Satu hal yang perlu diperhatikan bahwa konflik yang disajikan kepada anak usia tertentu haruslah sederhana. Selain itu, sangat tidak disarankan menggunakan alur maju mundur. Secara sederhana, alur akan berbicara tentang sebab-akibat. Menurut Nurgiyantoro,  alur cerita anak harus mempertimbangkan beberapa hal, yaitu kemasukakalan, rasa ingin tahu, kejutan, dan satu kesatuan utuh,

Kedua, penokohon. Anak-anak biasanya setelah membaca cerita akan mengingat tokoh dan aksinya. Oleh karena itu, kualitas tokoh haruslah jelas mulai dari kualifikasi mental dan fisik yang dapat membedakan satu tokoh dengan tokoh lainnya. Nurgiyantoro juga menjelaskan bahwa gambaran tokoh yang lain daripada biasanya akan menarik dan dipahami pembaca anak. Jika berbicara tentang perwatakan, banyak cerita anak yang hanya menyajikan dua karakter perwatakan, yakni tokoh yang berkarakter datar (flat character) dan bulat (round character). Tokoh karakter sederhana ini biasanya bersifat statis, artinya  tokoh tersebut bersifat baik dari awal hingga akhir cerita atau bersifat jahat dari awal hingga akhir cerita. Karakter ini yang paling diingat pembaca anak. Tokoh yang lain ialah yang perwatakannya multidimensional. Watak tokoh ini sebenarnya sama dengan realita di dunia. Tokoh yang awalnya baik bisa saja berubah jahat dan kembali menjadi baik di akhir cerita atau sebaliknya. Kualifikasi tokoh ini sebenarnya sangat baik untuk membuat anak-anak mengerti dunia di luar dirinya dan merangsang daya imajinasi anak tersebut. Namun, untuk penokohan ini sebaiknya dibuat sederhana. Kehadiran para tokoh ini dapat diungkapkan oleh penulis dalam dua cara, yakni cara langsung dan tidak langsung. Cara langsung ialah medeskripsi­kan secara langsung tentang tokoh bahkan ada yang diungkapkan di awal cerita. Cara tidak langsung ialah perwatakan tokoh yang diungkapkan secara terselubung di dalam alur cerita.

Pada tulisan selanjutnya, penulis akan melanjutkan aspek lainnya yang harus diperhatikan untuk memudahkan penulisan cerita anak dan penerjemahannya. Evi Olivia Kumbangsila, S.Pd. (Staf Teknis Kantor Bahasa Provinsi Maluku)

Baca Juga: Mengukur Kemantapan Infrastruktur Jalan