PADA dasarnya setiap negara ditopang oleh sebuah sistem tersendiri serta memiliki berbagai unsur yang menjalankan seluruh sistem tersebut. Unsur tersebut adalah pemerintahan yang memiliki legitimasi dan kekuasaan tertinggi dalam suatu negara.  Di Indonesia, kedaulatan tertinggi berada di tangan rakyat dan hal ini diaplikasikan melalui pegelaran pemilihan umum secara tertutup dan terbuka, yang sering dikenal sebagai pesta demokrasi. Dengan demikian, hak warga negara sebagai pemegang kedaulatan tertinggi setidaknya telah dijawab dan difasilitasi oleh negara.  Output dari kedaulatan rakyat tersebut melahirkan pimpinan-pimpinan di berbagai unsur pemerintahan, baik eksekutif maupun legislatif dari tingkat terendah yaitu kabupaten dan kota hingga tingkatan tertinggi di pemerintahan pusat. Semua ini merupakan hasil dari implementasi kedaulatan rakyat yang berperan besar, baik dalam proses menciptakan atau melahirkan maupun dalam proses mentransformasikan kekuasaan kepada pemimpin atau pejabat pemerintah sebagai pemegang kekuasaan tertinggi dalam menjalankan sistem kenegaraan. Pada konteks ini, pemerintah sebagai pemegang kekuasaan tertinggi dalam sebuah negara. Legitimasi ini menjadi tools yang mengokohkan dan menguatkan pemerintah.

Pemerintah sudah seharusnya memiliki power dalam berbagai aspek kehidupan bernegara sehingga sistem kenegaraan semakin kuat. Hal yang seperti ini tentu menjadi sebuah kebanggaan dan kepuasaan tersendiri bagi rakyat Indonesia. Rakyat sebagai subjek yang menciptakan lahirnya pemimpin-pemimpin yang powerfull. Sebab melalui kekuasaan yang telah sepenuhnya diberikan, negara diharapkan mampu bangkit menyejajarkan diri dengan negara-negara maju lainnya.  Pemerintah telah banyak menciptakan kebijakan-kebijakan yang mengatur segala tatanan kehidupan bernegara. Kebijakan tersebut selalu berfokus pada aspek penuntasan dan penyelesaian persoalan yang dialami oleh warga negara. Hal yang tidak luput dari kebijakan pemerintah ini juga adalah kebijakan intervensi sistem perekonomian negara. Ekonomi merupakan salah satu elemen terpenting bagi setiap negara yang stabilitasnya harus tetap terjaga. Peran ekonomi ibarat nafas kehidupan bagi setiap negara. Sebuah negara tidak akan berarti apa-apa jika hanya mengandalkan sistem saja sebagai badan atau fisik tanpa bernafas. Untuk itu konsep managerial ekonomi yang baik perlu terus diperkuat untuk merawat dan menjamin kondisi negara tetap baik.

Beberapa tahun terakhir ini di Indonesia, pemerintah terlihat kesulitan untuk mewujudkan harapan-harapan ini. Bukan tanpa dasar, kesulitan pemerintah menjaga stabilitas ekonomi negara mengalami kemerosotan yang semakin hari. Resesi akibat wabah covid-19 dan krisis ekonomi global yang ikut mempengaruhi stabilitas ekonomi setiap negara selalu menjadi alasan-alasan fundamental pemerintah sebagai upaya menjaga kepercayaan kinerjanya terhadap rakyat (public trust). Alasan-alasan ini memang dapat diterima oleh logika.  Terkesan lemah Penulis melihat mayoritas warga negara masih mampu menerima situasi ini dengan akal sehatnya sebagai bencana yang melumpuhkan ekonomi. Namun beriringan dengan situasi resesi yang melanda ini, terdapat beberapa kebijakan serta peran pemerintah yang terkesan lemah dalam mengintervensi perekonomian negara.  Di samping itu juga, pemerintah terus memamerkan peningkatan yang semu; 1) Pemerintah selalu menggaungkan isu dan informasi stabilitas pertumbuhan ekonomi sebagai sesuatu yang membanggakan. Menteri Keuangan Sri Mulyani akun resminya @smindrawati (Jum’at 2/9) menyampaikan bahwa pertumbuhan ekonomi negara tahun ini telah menunjukan eksistensi yang membanggakan dengan kenaikan 5,01% pada kuartal I dan mencapai 5,44% pada kuartal kedua 2022 ini. Hal ini, menurutnya, berbeda dengan situasi pertumbuhan ekonomi pada tahun sebelumnya yang sempat terpental diangka 2.07% pada tahun 2020 dan 3,69% pada tahun 2021. Klaim kondisi ini yang penulis sebut mengejar pertumbuhan ‘ekonomi yang semu’. Pada konteks ini, pemerintah diakui mampu menunjukan angka-angka yang fluktuatif naik, akan tetapi di sisi yang lain pemerintah tidak mampu melihat kondisi riil masyarakat akar rumput. Sebuah kondisi yang hanya untuk mengelabui masyarakat demi mempertahankan eksistensi kepercayaan publik pada kinerja pemerintah.

Terjadinya lonjakan inflasi yang begitu drastis membuktikan bahwa pernyataan dan klaim Menteri Keuangan terkait pertumbuhan ekonomi negara berbanding terbalik dengan situasi yang sesungguhnya. Pada Juli yang lalu, inflasi naik pada pada 4,94% persen lebih tinggi dari periode Januari-Juni 2022 yang hanya 3,85%. Sementara sepanjang 2021 menurut data Badan Pusat Stastik tingkat inflasi berhasil ditekan di angka 1,87% seperti dirilis CNBCIndonesia.com (3/1).  Kondisi ini menggambarkan inflasi semakin mengalami kenaikan dari periode ke periode ataupun dari tahun ke tahun. Lonjakan inflasi ini bahkan perkirakan akan menembus angka 6,6%-6,8% hingga akhir 2022 seperti yang disampaikan Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Febrio Kacaribu (CNBCIndonesia.com 5/9). Kondisi ini menggambarkan bahwa ekonomi Indonesia saat ini berada pada situasi paradoks, yang mana pemerintah hanya mampu menulis angka pertumbuhan ekonomi yang naik tetapi lemah menghadapi gejolak lonjakan inflasi semakin menghimpit. 2) Hal lain yang menunjukan pemerintah tidak mampu menggunakan power-nya sebagai penguasa dalam mengintervensi perekonomian negara adalah ketidakmam­puan menjalankan perannya sebagai regulator dan stabilisator. Peran pemerintah sebagai regulator terhadap ekonomi negara dapat dilihat dari upaya pemerintah mengatur segala hal yang berkaitan dengan produksi baik barang maupun jasa.  Intervensi ini dilakukan secara tidak langsung dengan menggunakan instrumen peraturan-peraturan yang mengatur seluruh proses produksi barang dan jasa dalam negeri. Sedangkan pada aspek stabilisator, pemerintah memiliki peran intervensi untuk menjaga stabilitas harga.

Pemerintah memiliki kewenangan serta dapat menggu­nakan power-nya sebagai penguasa untuk mengendalikan stabilitas ekonomi tetap pada angka yang balance.  Namun pada kenyataannya, peran dan fungsi ini tidak sepenuhnya dapat dimanfaatkan oleh pemerintah. Seperti contoh, polemik terkait kenaikan dan kelangkaan minyak goreng merupakan kasus yang belum bisa dituntaskan sejak akhir 2021 hingga saat ini. Pada kasus kelangkaan tersebut sudah seharusnya pemerintah mengambil peran mengatur peningkatan suplai atau produksi minyak goreng.  Pemerintah juga bisa menciptakan inovasi yang memproduksi minyak goreng dengan memanfaatkan bahan baku yang tersedia dalam negeri. Kedua hal ini sebenarnya bisa dilakukan oleh pemerintah dengan fungsi dan perannya sebagai regulator. Hal seperti ini bisa dilakukan melalui kebijakan atau regulasi pemerintah dalam mengatasi kelangkaan minyak goreng yang sangat berpengaruh besar pada perekonomian negara. Selanjutnya pada aspek stabilisator pemerintah terlihat lemah lunglai. Pengendalian pemerintah terhadap stabilitas harga seakan tidak berefek dan tidak berdaya. Kondisi ini bahkan menunjukan pemerintah seperti telah kehilangan power-nya. Hal ini dapat dilihat pada kasus kelangkaan minyak goreng. Pemerintah melalui Peraturan Kementerian Perdagangan nomor 11 tahun 2022, menetapkan HET minyak goreng curah sebesar Rp14.000 per liter atau Rp15.500 per kg.

Baca Juga: Kurikulum Perubahan Iklim

Seketika setelah pengumuman penetapan HET minyak goreng ini, kelangkaan minyak goreng drastis meledak. Kelangkaan ini juga disertai dengan harga yang tidak lagi sesuai bahkan jauh lebih tinggi dibandingkan harga sebelum penetapan kebijakan menteri perdagangan tersebut. Kejadian ini menunjukan bahwa interevensi pemerintah dalam aspek stabilisator ekonomi negara tidak berdampak. Di samping itu, terdapat beberapa kebijakan yang berefek pada peran stabilisator yang mengendalikan situasi ekonomi di negara ini. Contoh lain adalah kebijakan menaikan harga BBM yang resmi diumumkan pada Sabtu (3/9). Pencabutan subsidi ini yang mengakibatkan harga BBM naik turut berimbas pada kenaikan harga kebutuhan pokok masyarakat.  Di beberapa daerah seperti di Kepulauan Nias misalnya, harga BBM serta harga kebutuhan pokok lainnya telah lebih dahulu naik, bahkan jauh lebih cepat (lima hari) sebelum penetapan kenaikan harga BBM yang diumumkan pemerintah.

Lonjakan harga ini juga tidak tanggung-tanggung, diperkirakan mencapai angka 25%- 50% dari harga semula. Tidak berfungsi Ambruknya power pemerintah dalam menjalankan fungsi dan perannya sebagai stabilisator ekonomi negara tidak hanya terjadi pada tingkat pusat. Pemerintah daerah yang secara sadar lebih dekat dengan rakyat serta mampu menjangkau, melihat dan mengontrol langsung kegiatan perekonomian di daerah, terkesan tidak berfungsi.  Pemerintah daerah juga tidak hanya abai terhadap upaya stabilisasi ekonomi yang terjadi, tetapi mayoritas tidak memiliki inisiatif memberikan masukan-masukan alternatif kebijakan bagi pemerintah pusat untuk menuntaskan gejolak ekonomi di daerah. Padahal, pemerintah pada tingkat daerah juga merupakan satu kesatuan yang linear dengan pemerintah pusat yang urusannya sama-sama mengurus rakyat dan memiliki power sebagai penguasa. Kenaikan harga BBM sudah pasti akan mempengaruhi terjadinya inflasi. Untuk itu pemerintah seharusnya memiliki opsi lain yang tidak hanya fokus pada pengalihan subsidi BBM saja tetapi pemerintah juga harus memiliki opsi terhadap sebab akibat dari kenaikan BBM itu sendiri yakni antisipasi terjadinya inflasi. Namun kenyataannya pemerintah selalu kalah dengan keadaan.  Stabilisasi kenaikan harga minyak goreng yang sampai hari ini juga belum bisa dituntaskan walaupun Presiden Jokowi telah melantik Zulkifli Hasan sebagai Menteri Perdagangan yang baru. Selanjutnya Indonesia menghadapi gejolak kenaikan inflasi yang juga tidak dapat dikendalikan hingga saat ini. Kondisi yang sudah memburuk ini bahkan seolah-olah tidak mau diakui sebagai kelema­han pemerintah dalam menjala­n­kan mengelola sistem managerial ekonomi negara.  Pada situasi yang semakin sulit ini pemerintah terlihat lebih sibuk pada upaya mengejar pertumbuhan ekonomi yang semu. Hal itu dilakukan dengan intensifikasi terus-menerus terhadap pertumbuhan ekonomi negara tanpa merasionalisasikan­nya terhadap inflasi. Oleh: Yusadar Waruwu, Mahasiswa Akademi Bela Negara NasDem (*)