PADA rapat yang baru lalu, Mrs Lisa Luhur (Pembina Yayasan Sukma) menegaskan bahwa Sekolah Sukma hendaknya lebih membuka akses pendidikan untuk anak-anak yang berkebutuhan khusus. Pernyataan itu sebenarnya sangat beralasan apabila dikaji paling tidak dari; pertama, Samanca Statement and Framework for Action on Special Needs Education UNESCO menegaskan dua hal, yaitu anak berkebutuhan khusus harus mempunyai akses pendidikan di sekolah reguler inklusif yang hendaknya menjadi wahana untuk memerangi sikap diskriminatif, terbuka dan membangun masyarakat inklusif untuk mencapai tujuan pendidikan untuk semua (UNESCO, 1994). Kedua, anak-anak berkebutuhan khusus tidak mudah mengakses pendidikan melalui sekolah-sekolah reguler.

Menurut Global Action on Disability (GLAS) diper­kirakan separuh dari 65 juta anak berkebutuhan khusus dalam usia sekolah dasar dan menengah di negara-negara berkembang ‘sudah tidak bersekolah’ sebelum Covid-19 (Slee, Tait, 2022). Ada tiga alasan kenapa anak-anak berkebutuhan khusus tidak dapat mengakses sekolah reguler. Pertama, ada pihak mempertanyakan mengapa mereka bersekolah di sekolah reguler. Eksklusi terhadap anak-anak berkebutuhan khusus dari sekolah reguler menjadi sah dan diterima kalau menggunakan argumen bahwa mereka potensial memberi efek negatif terhadap mayoritas anak (Allen, 2008). Kedua, dengan rumus anak sama dengan anak berkebutuhan khusus dapat diterima dalam sekolah-sekolah reguler kalau sumber tambahan disiapkan (Allen, 2008). Ketiga, eksklusi merupakan tradisi invensi modern dari perseko­lahan yang acapkali menjadi ruang ketidakadilan (Slee, Tait, 2022). Lantas bagaimana misi pendidikan inklusif diwujudkan? Melalui tulisan ini, pembaca diajak untuk menelaah ide dan pewu­judan pendidik inklusif.

Pendidikan inklusif Kata inklusif berasal dari kata include (Inggris) berarti ‘menjadi bagian dari sesuatu, menyatu dalam kesatuan’. Lawan katanya adalah exclude berarti ‘mencegah, mengusir’ (Villa; Thousand, 2005). Dari sudut falsafi, inklusi adalah pemahaman yang didasarkan pada prinsip keadilan sosial. Dalam konteks pendidikan, inklusi merujuk kepada keadilan dalam memperoleh kesempatan pendidikan bagi setiap warga yang mempunyai latar belakang berbeda. Kata inklusi mengandung unsur pokok, seperti sikap positif atau inklusif terhadap anak-anak yang memiliki kelainan, rasa efikasi tinggi terhadap pem­be­lajaran, serta kemauan dan kemampuan mela­kukan adaptasi terhadap pengajaran berdasarkan kebutuhan dan ‘kelainan’ individu (Loreman; Earle; Chris, 2007).

Pendidikan inklusif menunjuk kepada akses pendidikan secara adil bagi seluruh anak bangsa yang mempunyai perbedaan atau keragaman latar belakang (Adamowaycs, 2008) alias tidak menolak kelompok yang berkebutuhan khusus mengakses pendidikan bermutu (Spandagou, Little, Evans, Bonati, 2020). Sasaran pendidikan inklusif adalah menying­kirkan hambatan-hambatan yang mengakibatkan anak-anak perempuan, perempuan, kelompok tidak beruntung, anak-anak berkebutu­han khusus, dan anak-anak yang tidak terjangkau melalui sistem pendidikan formal dan nonformal sulit mengakses pendidikan (Sandkull, 2005; UNESCO, 2005; Slee, Tait, 2022). Pendidikan inklusif dipahami sebagai proses penanaman sikap toleran di kalangan siswa agar mereka siap menghadapi perbedaan dalam kehidupan seperti pendapat, pandangan, keperca­yaan dan budaya, etnik dan ideologi. Kesa­daran kritis terhadap isu-isu keadilan ditumbuhkan melalui refleksi (Landorf; Rocco; Nevin, 2006). Dari penjelasan di atas, manifestasi pendidikan inklusif dapat dilihat dari dua hal utama yaitu, pertama, akses pendidikan bermutu bagi seluruh anak bangsa sejalan dengan keragaman (normal dan berkelainan). Kedua, penanaman sikap inklusif di kalangan anak bangsa dalam kerangka mewujudkan masyarakat demokratis.

MI/Duta   Pendidikan bermutu bagi anak-anak berkebutuhan khusus DALAM pembicaraan pendidikan untuk anak berkebutuhan khusus di Indonesia, kita mengenal dual sistem, yaitu memisahkan anak-anak normal dan anak-anak berkebutuhan khusus dalam persekolahan. Anak-anak berkebutuhan khusus mendapat layanan pendidikan khusus melalui sekolah luar biasa. Sedangkan anak-anak normal mendapat layanan pendidikan melalui sekolah reguler. Dengan sistem ini interaksi kedua kelompok anak tidak terjadi. Model seperti ini telah menimbulkan segregasi dan alienasi anak-anak Berkebutuhan khusus dalam kehidupan. Dalam paradigma baru, sekolah inklusif dimanifestasikan melalui pendekatan integrasi, yakni kedua kelompok anak bangsa memperoleh pendidikan dalam sekolah atau kelas yang sama, sekolah reguler. Mereka mempunyai akses belajar yang sama dan terlibat dalam kegiatan-kegiatan akademik dan sosial dalam sekolah/kelas yang sama (Porter, 2007; Allen, 2008).

Baca Juga: Mendesain Kurikulum, Berbasis Teknologi Pasca Pandemi

Pelaksanaan konsep integrasi memerlukan beberapa syarat, yaitu model pengajaran berbeda sehingga anak dapat belajar, kurikulum dan pengaja­ran fleksibel sesuai dengan prinsip perbedaan, didukung guru berpengetahuan luas dan praktisi spesialis, partisipasi orang tua, bantuan teknis dari guru, dan penanganan kelainan perilaku secara krea­tif (Adamowycs, 2008). Selanjutnya, keber­hasilan pelaksanaan sekolah inklusif dipengaruhi beberapa faktor. Pemahaman, sikap dan perilaku terhadap sekolah inklusif dan sikap inklusif dari guru-guru serta kebijakan sekolah/kelas inklusif merupakan faktor berpengaruh sebagaimana diungkapkan Mahat (2008) dan Mdika et all (2007). Selanjutnya, pelatihan tentang pendidikan inklusif dan peningkatan kemampuan profesional guru yang ajeg diperoleh guru-guru juga merupakan faktor penentu (Mahat, 2008). Selain itu, pengetahuan dan keterampilan guru dalam menciptakan lingku­ngan inklusif dan diikuti dengan pengembangan sikap dan sentimen kuat menjamin kelangsungan kelas inklusif merupakan faktor berpengaruh berikutnya (Loreman et all, 2007). Akhirnya sikap inklusif pimpinan sekolah merupakan faktor yang tidak dapat diabaikan terhadap keberhasilan penerapan dan kelangsungan kelas inklusif (Sperandio; Klerks, 2007).

Penyemaian sikap inklusif Pendidikan inklusif tidak dapat dipisahkan dari proses demokratisasi masyarakat. Pada era reformasi dan pascarefor­masi demokrasi menjadi salah satu isu utama. Upaya-upaya untuk menerapkan prinsip-prinsip demokrasi seperti kebebasan individu dan perla­kuan adil di depan hukum, mengembangkan sikap toleran/inklusif, menghargai perbedaan dan harkat martabat seseorang telah dimulai untuk mewu­judkan masyarakat dan negara demokratis. Meski demikian, Indonesia baru berada pada tahap awal masa transisi menuju demokrasi (Fachruddin, 2006). Indonesia masih harus bekerja keras untuk mewujudkan demokrasi substantif dalam kehi­dupan bermasyarakat dan berbangsa. Kejadian-kejadian belakang ini yang menyeret isu agama ke dalam politik mengisyaratkan masyarakat kita belum mampu menyelesaikan perbedaan dengan cara-cara elegan dan tidak menggunakan keke­rasan. Akhirnya, pendidikan mempunyai peran penting dalam menanamkan nilai-nilai atau perilaku demokratis seperti menerima keragaman dalam masyarakat dan inklusif. Sekolah atau kelas demokratis dicerminkan dengan sikap dan perilaku guru yang demokratis, seperti sayang, anti keke­rasan dan anti diskriminasi. Kesediaan guru membantu murid yang sangat lamban mengikuti pembelajaran merupakan contoh komitmen guru terhadap diskriminasi dan inklusi. Oleh: Fuad Fachruddin Dewan Pengawas Yayasan Sukma