HARIAN Media Indonesia (29/5) memuat berita Polres Metro Bekasi melakukan kegiatan Police Goes to School dengan slogan No Tawuran, No Narkoba, No Balap Liar dan Bijak Bermedsos, sebagai upaya mencegah segala bentuk perilaku kekerasan remaja.

Hal tersebut ialah suatu usaha yang baik dan terpuji. Hanya saja, penulis ragu apakah dengan adanya usaha tersebut, segala bentuk kekerasan remaja, khususnya di kawasan Bekasi, dapat dicegah. Menurut hemat penulis, kekerasan remaja, apalagi kelompok remaja, merupakan proses kejiwaan yang dialami dalam proses akil balik mereka. Ada yang muncul ekstrem berupa perilaku kekerasan, ada pula yang berlaku secara wajar tanpa perilaku kekerasan.

Sebagai contoh di era 1960-an, khususnya Jakarta, Bekasi, bahkan di daerah-daerah lainnya, muncul kelompok-kelompok remaja atau dikenal dengan sebutan geng. Mereka membagi kawasan-kawasan tersebut ke dalam daerah kekuasaan mereka, misal saja Menteng Jakarta ‘dikuasai’ geng The Pamor, Jakarta bagian tengah ada geng C2M, daerah lain muncul Marabunta, Selendang Boys, dan lain sebagainya. Begitu pula di daerah Bekasi dan kota-kota besar lainnya muncul kelompok-kelompok remaja dengan berbagai nama yang seram-seram dan sering melakukan perkelahian antargeng.

Salah satu jalan, khususnya untuk daerah Jakarta, Presiden Soekarno mengambil inisiatif mengum­pulkan seluruh geng tersebut di Istana Cipanas Sindang Laya yang diorganisasi kolumnis terkenal mingguan Berita Minggu Firman Muntaco. Geng-geng tersebut akhirnya bersedia melaksanakan ceasefire/perdamaian serta berjanji tidak akan melakukan kekerasan dan tawuran lagi untuk seterusnya. Ternyata hal tersebut menjadi contoh bagi geng remaja di daerah-daerah lain sehingga persentase kekerasan remaja seluruh Indonesia ketika itu menurun drastis.

Selain itu, Kementerian P & K member­lakukan mata pelajaran budi pekerti di seluruh sekolah di Indonesia yang berdampak keke­rasan remaja dapat diminimalkan sekecil mungkin. Untuk lebih meningkatkan lagi rasa persatuan dan kesatuan bangsa serta membangkitkan rasa patriotisme di kalangan bangsa Indonesia, Presiden Soekarno mendi­rikan Panitia Pembina Jiwa Revolusi. Tugas yang diemban ialah melakukan indoktrinasi-indoktrinasi di instansi-instansi pemerintah daerah, instansi-instansi pendidikan termasuk TNI dan Polri sedemikian rupa sehingga kekerasan remaja benar-benar dapat ditekan sekecil-kecilnya.

Kekerasan remaja di era Orde Baru

Ketika Presiden Soekarno didongkel dari kekuasaannya melalui Tap MPRS XXXIII Tahun 1967, mata pelajaran budi pekerti berangsur-angsur menghilang dan Panitia Pembina Jiwa Revolusi dibubarkan (dibekukan?). Hal itu ber­dampak pada timbulnya kembali kekerasan remaja di Tanah Air, terutama di kota-kota besar. Indoktrinasi nation and character building di­ganti dengan penataran P4 (Pedoman Peng­hayatan dan Pengamalan Pancasila). Ketam­bahan lagi masuknya dengan deras penana­man modal asing yang membawa budaya Barat tanpa halangan. Hal itu merasuk ke dalam jiwa generasi remaja sehingga timbullah crossboys yang kerap melakukan tawuran-tawuran antarkelompok, bahkan antarsekolah.

Salah satu contoh paling menonjol di Jakarta ialah tawuran antara SMA I Budi Utomo dan tetangga sekolah mereka, STM negeri, yang sebabnya ialah hal-hal sepele, seperti mengetuk-ngetuk dinding kelas yang lokasinya bersebelahan. Celakanya, walaupun Orde Baru tutup buku pada era 1998 dengan lengsernya Soeharto dan UUD 1945 diamendemen dan masuk ke era Reformasi, pendidikan budi pekerti serta indoktrinasi nation and character building hilang. Dengan begitu, saat ini pun bentuk-bentuk kekerasan remaja tetap eksis, bahkan dengan kualitas yang lebih canggih sesuai dengan kemajuan teknologi.

Bila dalam era sebelumnya tawuran remaja dila­kukan dengan tangan kosong, saat ini tawuran remaja kerap kali membawa senjata tajam, bahkan anak panah. Hal itu sering membuat adanya korban luka parah, bahkan tewas mengenaskan, sehingga tidak mengherankan kepolisian mengambil langkah-langkah extraordinary seperti yang terjadi di Bekasi. Bahkan mungkin juga di daerah/kawasan yang lainnya seperti di Yogyakarta yang ada tawuran remaja disebut klitih. Belum lagi penggunaan narkoba yang bertambah marak di kalangan remaja, bahkan kalangan dewasa. Rumitnya lagi di kalangan aparat, khususnya kepolisian, terdapat oknum yang dalam istilah populernya ‘masuk angin’ sehingga Kapolri perlu mengadakan mutasi 500 anggotanya.

Solusi Ganjar Pranowo

Salah satu jalan untuk mengatasi apa yang terjadi di kalangan kepolisian, Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo menyarankan figur polisi jujur seperti Hoegeng Iman Santoso yang kebal terhadap ‘masuk angin’ agar ditetapkan sebagai pahlawan nasional. Usul tersebut secara terbuka penulis dukung sepenuhnya melalui webinar dalam rangka peluncuran buku Hoegeng Polisi dan Menteri Teladan dari wartawan istana dan harian Kompas beberapa waktu yang lalu.

Penulis berharap, pada 10 November mendatang (Hari Pahlawan) Hoegeng oleh pemerintah dapat ditetapkan sebagai pahlawan nasional karena hal tersebut dapat menjadi semacam shock therapy psikologis bagi anggota-anggota kepolisian secara keseluruhan.

Dengan adanya penetapan tersebut, pastinya akan timbul adanya hero worship atau pemujaan terhadap pahlawan, yang akan meningkatkan solidaritas korps (semangat korsa). Hal iu sekaligus menjadi anutan dan teladan bagi seluruh anggota korps untuk mengikuti jejak langkah dan teladan yang telah diberikan polisi jujur Hoegeng Imam Santoso.

Almarhum Gus Dur yang prihatin melihat kondisi Korps Bhayangkara saat itu mengu­tarakan dengan berkata bahwa di Indonesia hanya ada tiga polisi yang jujur, yaitu patung polisi, polisi tidur, dan Hoegeng Iman Santoso. Banyolan Gus Dur tersebut mencerminkan bagaimana ‘parahnya’ kondisi internal korps kepolisian di kala itu. Oleh sebab itu, penulis optimistis dengan adanya penetapan Hoegeng sebagai pahlawan nasional akan dapat mengubah secara signifikan pola pikir anggota Korps Bhayangkara secara menyeluruh. Dengan demikian, masalah kekerasan remaja dalam segala bentuk dan manifestasinya dapat ditanggulangi secara proporsional tanpa menggunakan metode-metode ekstraprosedural seperti goes to school.

Kalaupun hal tersebut diperlukan, lebih baik bentuknya bukan goes to school, melainkan goes to family sehingga seluruh kalangan remaja tadi dapat diberi pengertian dan pengarahan oleh orangtua mereka, bagaimana cara yang sebaiknya remaja dapat berbudi pekerti luhur, sopan santun, dan berjiwa patriotik. Secara teknis goes to family lebih tepat bila dilakukan polwan pilihan dan tidak sekali-kali menggunakan polisi pria, apalagi dari satuan tempur seperti Brimob, Resimen Pelopor, atau Densus 88. Kecuali memang ada indikasi dan gejala-gejala kekerasan yang menjurus ke arah Anarcho-syndicalism, kekiri-kirian radikal yang bersifat insureksi (pemberontakan) berdarah-darah yang ujung-ujungnya akan berakhir chaos.

Tindakan goes to school pada dasarnya baik, tetapi harus dibarengi adanya pendidikan budi pekerti dan indoktrinasi nation and character building plus terapi kejut untuk seluruh korsa berupa penetapan Hoegeng sebagai pahlawan nasional.

Karmanye vadhikaraste ma phaleshu kadachana! Kerjakan tugas dan kewajibanmu tanpa menghitung untung ruginya! (Kresna: di Padang Kurusetra). Oleh: Guntur Soekarno Pemerhati sosial (*)