MENGAPA arsitek dibayar lebih mahal daripada tukang batu, padahal sama-sama mengurus bangunan? Demikian pertanyaan seorang teman dengan serius. Sambil bercanda saya jawab, “Tukang batu miskin imajinasi.” Sudah barang tentu seloroh ini tidak dimaksudkan untuk merendahkan profesi tukang batu sebab tidak sedikit yang sangat imajinatif bak seorang arsitek. Rupanya teman ini setuju dengan jawaban itu. Menurutnya, sekarang banyak orang pintar, indeks prestasi tinggi, tetapi kurang kreatif, tidak produktif, miskin imajinasi. Albert Einstein, bapak fisika kuantum yang hebat itu, pernah berujar, “Saya lebih merasa sebagai seorang seniman yang bebas ‘menggambar’ dengan imajinasi. Imajinasi lebih penting daripada pengetahuan. Pengetahuan terbatas pada apa yang diketahui dan dipahami, sementara imajinasi dapat merangkul seluruh dunia, dan semua yang akan diketahui dan dipahami.” Tanpa imajinasi memadai, tidak sedikit orang yang berpendidikan, tetapi lebih banyak menampilkan diri sebagai tukang. Bukan menjadi arsitek kehidupan yang sanggup menawarkan kreasi besar bagi kemanusiaan.

Imajinasi dan kreativitas Imajinasi ialah kemampuan manusia yang unik. Orang dapat menggunakan indra dan kemampuan otaknya untuk membuat ‘gambar’ dalam pikiran. Imajinasi mengacu pengalaman dan pengetahuan seseorang tentang dunia sekitar dan bagaimana menggabungkannya untuk membuat sesuatu yang baru. Dengan imajinasi, kita dapat mengeksplorasi ‘pengalaman’, melampaui kendala lingkungan dan kenyataan, masuk ke dunia mimpi, tempat kreativitas dan penemuan menempatkan diri. Tampaknya imajinasi, dalam bentuknya yang lebih paripurna, memang merupakan kapasitas khas manusia. Kemampuan itu memungkinkan kita memodifikasi dan mengembangkan lingkungan, menemukan ide-ide baru, struktur baru, bahkan teknologi baru. Selain itu, dan ini yang sering kurang disadari, imajinasi memungkinkan kita menjadi orang baik. Menunjukkan rasa empati. Dapat membayangkan pengalaman hidup orang lain tanpa perlu mengalaminya sendiri. Semacam berdiri di sepatu orang lain. Imajinasi kompleks melibatkan lebih dari satu area di otak. Studi terbaru, dengan memanfaatkan kemajuan teknologi pengindraan interaksi saraf yang rumit dalam otak, menguatkan bukti ini.

Menurut temuan penelitian, imajinasi meng­gu­na­kan sebagian besar otak manusia, menciptakan jaringan aktivitas yang saling terhubung di berbagai area. Hal ini berarti imajinasi menyalakan otak. Dengan sering berimajinasi aktivitas otak semakin berpendar. Kapasitas imajinasi berkembang sepanjang sejarah. Pada awalnya, nenek moyang hanya memiliki tingkat imajinasi dasar. Kemampuan pembuatan peralatan rumah tangga, keterampilan berburu, interaksi sosial, dan kolonisasi masih sederhana. Keterbatasan tingkat imajinasi itu mungkin berkaitan dengan ukuran otak dan kemampuan berpikir yang belum begitu berkembang. Setelah berevolusi menjadi manusia modern, para ilmuwan melaporkan, telah terjadi peningkatan ukuran otak, kemajuan dalam kete­rampilan teknis, kreativitas, dan perkembangan kompleksitas sosial (Lavelle: 2014). Imajinasi merangsang fungsi dan aktivitas otak.

Meningkatkan jumlah koneksi saraf di dalamnya.  Tautan itu memerlukan stimulasi dan aktivasi berulang. Para neurolog dan psikolog setuju, sejak usia kanak-kanak, bermain diperlukan agar orang dapat berkembang normal dan mencapai kapasitas penuhnya. Imajinasi dan permainan telah terbukti meningkatkan perkembangan otak dan pertumbuhan individu. Ketika seseorang memasuki usia sekolah, terdapat perubahan dalam cara bermain. Bergerak menuju permainan dengan lebih banyak interaksi dan aturan sosial. Permainan yang semakin mendorong perkem­bangan kreativitas.

Mengembangkan imajinasi Imajinasi dapat berkembang lewat bacaan, fiksi dan non-fiksi. Membaca sering kali dikaitkan dengan memegang buku, membosankan, serius, dan formal. Pada kenyataannya, membaca apa saja memberi celah untuk mengintip ke dalam alam pikiran penulisnya. Lewat cara ini kita dapat berinteraksi dengan pengalaman dan wawasan orang lain. Sebuah kesempatan untuk memperkaya imajinasi.

Baca Juga: Menanti Realisir 100 Hari Kerja Mukti-Idris

Di era digital, semua itu kini dapat dilakukan dalam genggaman. Via gawai pintar, orang dapat menikmati bacaan apa saja dengan sangat mudah dan murah. Era ini memang surga bagi para pecinta bacaan. ‘Melamun’ yang disengaja ialah cara lain melatih imajinasi. Mengkhayalkan sesuatu dengan sengaja dapat membuka pikiran terhadap berbagai kemungkinan. Misalnya di saat beristirahat dari tugas-tugas sekolah, atau terjebak dalam kemacetan lalu lintas, amati hal-hal di sekitar dan biarkan pikiran mengembara. Seperti apa kehidupan polisi lalu lintas? Apakah tanaman merasakan sesak napas saat polusi tidak terkendali? Bagaimana kakek penjual koran itu menghidupi keluarganya? Tentu kita dapat menghadirkan jawaban-jawaban spekulatif. Kebiasaan demikian, suatu hari nanti, dapat memicu ide untuk sebuah buku atau untuk produk baru yang dapat mengubah kehidupan banyak orang. Ada pepatah lama, beri tahu siapa temanmu dan aku akan memberi tahu siapa kamu. Meski tidak sepenuhnya benar, pepatah itu memberitahukan sebuah kearifan, orang-orang penting di sekitar memiliki dampak signifikan. Manakala seseorang banyak bersahabat dengan pribadi-pribadi yang berimajinasi tinggi, di sadari atau tidak, beberapa di antaranya berhasil menggosok-gosok daya khayal.

Berbagai perbincangan yang kerap dilakukan dapat menjadi inspirasi bagi perkembangan imajinasi positif. Oleh karena itu, jika memiliki kesempatan untuk menjadi bagian dari brainstorming pengem­bangan produk baru, ide baru, atau teknologi baru, lakukan dengan sepenuh hati. Siswa perlu terus didorong memelihara rasa ingin tahu. ‘Kepo’, dalam makna yang positif, baik untuk melatih imajinasi. Ada pendapat, ‘kepo’ ialah akronim dari knowing every particular object. Sebutan bagi orang yang serba (ingin) tahu detail sesuatu. Dengan demikian, kalau ada seseorang yang serbaingin tahu, memiliki keinginan kuat untuk paham lebih banyak mengenai apa yang sebenarnya terjadi, dapat disebut kepo. Namun, memuaskan rasa ingin tahu itu sendiri bukanlah tujuan. Lebih sebagai sarana memacu imajinasi.

Orang hendaknya membiasakan diri mengajukan pertanyaan seperti seorang wartawan; mengapa, di mana, bagaimana, apa, siapa. Pada akhirnya perlu ditegaskan, imajinasi ialah sarana penting dalam proses pembelajaran. Siswa akan belajar dan lebih mudah mengingat sesuatu ketika imajinasi dilibatkan. Sayangnya sekolah, juga keluarga, sering kali tidak memfasilitasi pertumbuhan imajinasi secara lebih serius. Jujur, begitu masuk pendidikan dasar dan menengah, hampir sebagian besarnya berkutat pada hard skills. Mengejar prestasi akademik yang ditunjukkan sekadar dalam wujud angka-angka. Hasilnya, seperti yang sudah dirasakan, banyak orang pintar tetapi miskin imajinasi. Mereka tidak memiliki cukup nyali untuk berjuang menciptakan karya besar yang bermanfaatkan bagi kesejahteraan rakyat.( Khoiruddin Bashori, Direktur Advokasi dan Pemberdayaan Masyakarat Yayasan Sukma Jakarta )