INFLASI kenaikan harga-harga barang dan jasa secara umum, yang tinggi pernah menjadi momok yang selalu menghantui perekonomian Indonesia. Pada dekade 1960-an inflasi sempat berada pada tingkat yang mengkhawatirkan, rata-rata mencapai 196% per tahun dan pernah mencapai 635% pada 1966. Walaupun berhasil diturunkan ke level moderat, inflasi pada era Orde Baru sering kali berada pada level double digits, rata-rata mencapai 11,5% per tahun pada periode 1969-1997, dan sempat mengalami hyperinflation sebesar 77,6 % pada saat krisis ekonomi 1998. Pascareformasi, inflasi tetap berada pada level yang cukup tinggi, rata-rata sebesar 10,9% per tahun pada masa pemerintahan BJ Habibie, Abdurrahman Wahid, dan Megawati, serta 7,2% pada masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono.

Berbeda dengan di masa lalu, perkembangan tingkat harga umum selama pemerintahan Jokowi relatif stabil pada level yang rendah, rata-rata sebesar 3,7% per tahun, dan sempat menyentuh level terendah dalam sejarah sebesar 1,6% pada 2021. Namun, saat ini ancaman ‘hantu’ inflasi tinggi, kembali gentayangan dalam bentuk kenaikan berbagai bahan kebutuhan pokok, seperti minyak goreng, gas, dan pertamax. Hingga April 2022, tingkat inflasi tahun kalender sudah mencapai 2,15% dan inflasi dari tahun ke tahun mencapai 3,47%. Ini sebuah angka yang cukup tinggi jika dibandingkan dengan beberapa tahun terakhir. Ke depan, kembali pulihnya permintaan agregat di berbagai negara, perang Rusia-Ukraina, serta kebijakan pembatasan ekspor, yang dilakukan negara-negara produsen bahan pangan dunia diperkirakan akan terus memberikan tekanan pada kenaikan harga-harga komoditas dan bahan pangan di pasar internasional, yang selanjutnya akan semakin meningkatkan tekanan inflasi di Indonesia. Guna mengantisipasi hal ini, pemerintah Indonesia, bersama Bank Indonesia, perlu untuk lebih mencermati perkembangan kenaikan tekanan inflasi tersebut, dan mengambil langkah-langkah cepat dan terukur, agar ekspektasi inflasi di masyarakat tidak menjadi liar dan tak terkendali.

Tingkat harga Inflasi memang tidak selamanya buruk. Bahkan, kenaikan harga barang dan jasa yang rendah dan terkendali, diperlukan untuk perekonomian bisa beroperasi dengan sehat. Ketika konsumen berekspektasi bahwa harga-harga akan naik di masa depan, mereka akan berbelanja dan ini mendorong para produsen untuk memproduksi lebih banyak barang, mempekerjakan tambahan tenaga kerja, dan meningkatkan investasi yang pada akhirnya mendorong perlanjutan pertumbuhan ekonomi. Namun, kenaikan harga barang dan jasa yang terlalu tinggi, akan mendorong para pekerja untuk menuntut kenaikan upah, yang selanjutnya meningkatkan biaya produksi, dan memaksa para pelaku usaha menaikkan harga-harga produk mereka. Jika hal ini terus berlanjut, akan mengakibatkan wage-price spiral inflation, yang dapat meningkatkan ketidakpastian usaha dan investasi, menurunkan daya saing produk-produk Indonesia di pasar domestik dan internasional, serta mengganggu proses pemulihan ekonomi yang baru saja terjadi saat ini pascapandemi covid-19. Inflasi tinggi umumnya juga akan berakhir buruk bagi keuangan pemerintah. Naiknya harga-harga barang dan jasa yang tinggi dapat memaksa pemerintah untuk meningkatkan pengeluaran subsidi dan bantuan sosial.

Sementara itu, kenaikan suku bunga sebagai upaya pengendalian laju inflasi, akan meningkatkan beban bunga pinjaman yang harus dibayarkan pemerintah sehingga makin meningkatkan tekanan defisit APBN. Kenaikan suku bunga yang besar, juga dapat menurunkan permintaan agregat dan mendorong perekonomian masuk ke jurang resesi. Terakhir, tingkat inflasi yang tinggi dan tidak terkendali dapat bereskalasi secara cepat, dan berdampak buruk bagi kesejahteraan banyak keluarga di Indonesia, menurunkan daya beli dan meningkatkan kemiskinan. Inflasi tinggi merupakan pajak regresif bagi mereka yang berpenghasilan tetap dan meningkatkan ketimpangan ekonomi masyarakat. Kenaikan harga yang tinggi dan tidak stabil dapat memicu kerusuhan sosial dan instabilitas politik. Pengalaman sejarah Indonesia di masa Orde Lama dan Orde Baru telah menunjukkan bahwa tingkat inflasi yang tinggi telah mengakibatkan gejolak sosial yang berakhir pada suksesi pimpinan nasional.

Kebijakan antisipasi inflasi Mengingat begitu seramnya berbagai dampak negatif yang dapat ditimbulkannya, diperlukan berbagai upaya untuk menangkal kembalinya ‘hantu’ inflasi yang tinggi ini. Beberapa kebijakan antisipasi peningkatan harga yang tinggi dan tak terkendali, dapat dilakukan pemerintah bersama Bank Indonesia. Pertama, menjaga kelancaran arus produksi dan distribusi barang dan jasa antardaerah di seluruh Indonesia. Terutama, bahan pangan seperti beras dan sembako yang memiliki bobot besar dalam perhitungan inflasi.

Baca Juga: Dibalik Pembunuhan Shireen Abu Akleh

Jika memang dibutuhkan opsi impor pangan perlu tetap dibuka dan dipertimbangkan untuk menjaga stok pangan. Kedua, menjaga stabilitas makroekonomi, terutama yang terkait dengan stabilitas nilai tukar rupiah. Kebijakan moneter yang diambil oleh Bank Indonesia, harus mampu mengantisipasi kemungkinan terjadinya kembali taper tantrum akibat kebijakan pemberhentian quantitative easing, dan peningkatan suku bunga yang dilakukan oleh bank sentral Amerika Serikat (The FED). Belajar dari kesalahan The FED yang terlambat menaikkan suku bunga, Bank Indonesia sebaiknya mulai segera menaikkan suku bunga acuannya, guna menghindari terjadinya pelarian modal ke luar negeri (capital flight), dan depresiasi nilai tukar rupiah, yang dapat meningkatkan tekanan inflasi yang berasal dari barang-barang impor (imported inflation). Kenaikan suku bunga ini, juga diperlukan sebagai upaya gradual menarik kembali besarnya peningkatan jumlah uang beredar, yang diakibatkan oleh masifnya stimulus moneter yang dilakukan selama masa pandemi covid-19. Terakhir, pemerintah perlu secara gradual menekan defisit APBN melalui perbaikan alokasi anggaran, dan meningkatkan efisiensi pengguna­annya, dengan memotong pos-pos anggaran yang kurang perlu. Di sini, pengendalian besaran realisasi alokasi subsidi BBM dan energi, dan kompensasi, merupakan salah satu item anggaran yang penting untuk diperhatikan, guna menjaga kredibilitas kebijakan macro-prudential pemerintah dalam menjamin stabilitas harga. Oleh: Deni Friawan Peneliti Departemen Ekonomi, Centre for Strategic and International Studies (CSIS).