“Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi”. Seperti itulah bunyi Pasal 28B ayat 2 Undang-Undang Dasar 1945 yang merupakan dasar hukum tertulis di negara kita. Selalu terngiang di kepala saya apakah anak yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari keberlangsungan hidup manusia dan keberlangsungan sebuah bangsa dan negara hak-haknya sudah terpenuhi? Jika melihat sekilas pada apa yang terjadi saat ini dan dikaitkan dengan bunyi pasal diatas jawaban dari pertanyaan tersebut tentunya adalah belum terpenuhi. Belum lagi jika dikaitkan lebih spesifik terkait hak anak yang tercantum dalam Undang-Undang Perlindungan Anak. Lalu kemudian muncul lagi pertanyaan: Siapa yang bertanggungjawab atas terpenuhinya hak-hak anak? bagaimana dengan anak yang melakukan kejahatan, apakah hak-haknya sudah terpenuhi? bagaimana dengan anak korban kejahatan? anak terlibat kejahatan siapa yang patut disalahkan? pertanyaan-pertanyaan ini sering terdengar dikala saya berdiskusi dengan beberapa teman yang juga tertarik untuk memahami lebih dalam terkait dengan hak anak.

Hak anak jika ditelusuri lebih jauh mulai dikumandangkan dalam Konvensi Hak-Hak Anak Perserikatan Bangsa-Bangsa (United Nations Convention on the Rights of the Child) yang merupakan sebuah konvensi internasional yang mengatur hak-hak sipil, politik, ekonomi, sosial, dan kultural anak dan puncaknya pada tanggal 25 Agustus 1990 negara kita meratifikasi hasil dari konvensi tersebut dengan diterbitkannya Kepres Nomor 36 tahun 1990 tentang pengesahan Convention on the Rights of the Child (Konvensi tentang hak-hak anak). Dengan meratifikasinya maka negara kita diikat dan tunduk dengan hasil perjanjian tersebut dan diwajibkan untuk melaporkan hasil pelaksanannya kepada PBB. Setelah meratifikasi konvensi tersebut perhatian Pemerintah terhadap anak mulai terlihat dimana diterbitkannya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak yang hingga saat ini telah mengalami 3 kali perubahan terakhir dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak. Belum lagi dengan munculnya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak yang memberikan perbedaan perlakuan terhadap anak yang berhadapan dengan hukum yang tidak disamakan layaknya pelaku dewasa. Peraturan-peraturan tersebut dibuat oleh Pemerintah untuk memastikan bahwa anak-anak di Indonesia mendapatkan perlindungan dari segala bentuk ancaman yang dapat mempengaruhi masa depan anak sebagai generasi penerus cita-cita bangsa dan negara.

Beberapa kasus yang sering kita dengar dan tidak perlu mengambil contoh terlalu jauh dimana kasus yang sempat heboh di masyarakat dimana salah satu anak korban yang mengalami pelecehan seksual oleh 17 orang temannya yang 16 diantaranya masih berstatus anak yang terjadi di salah satu Kabupaten di Provinsi Maluku. Selain itu kasus 2 mucikari yang menjual jasa prostitusi 3 orang anak wanita di bawah umur atau beberapa kasus pencurian yang melibatkan anak yang disinyalir sudah sering melakukan tindak pidana pencurian. Maraknya kasus anak ini tentunya harus menjadi perhatian khusus bukan hanya bagi Aparat Penegak Hukum yang mengambil peran pada penindakan namun harusnya lebih difokuskan kepada pencegahan yang dapat dilakukan oleh banyak pihak. Pasal 59 ayat 1 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 menyebutkan  bahwa“ Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan Lembaga Negara lainnya berkewajiban dan bertanggung jawab untuk memberikan perlindungan khusus terhadap anak. Perlindungan khusus tersebut diberikan kepada 15 kategori anak diantaranya kepada anak yang berhadapan dengan hukum (anak pelaku, anak korban, dan anak saksi), anak dari kelompok minoritas dan terisolasi, anak korban penyalahgunaan narkotika, anak yang dieksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual, anak korban kejahatan seksual, anak korban kekerasan fisik dan lain sebagainya.

Berbicara tentang tindak pidana yang dilakukan oleh anak penulis berpendapat bahwa tidak ada faktor tunggal yang menyebabkan seorang anak melakukan tindak pidana, misalkan ketika seorang anak yang hidup dalam keluarga yang mengalami keterbatasan ekonomi kemudian melakukan tindak pidana pencurian lalu disimpulkan bahwa anak tersebut melakukan tindak pidana dikarenakan faktor ekonomi. Jika ditelusuri lebih lanjut dengan melakukan penelitian terhadap anak tersebut bisa dipastikan akan ditemukan faktor-faktor lain diluar faktor ekonomi sebagai penyebab anak melakukan tindak pidana. Faktor-faktor tersebut biasanya secara bersama-sama menjadi penyebab tindak pidana dilakukan oleh anak. Faktor tersebut bisa berasal dari intern (diri sendiri, keluarga, pendidikan, agama/moral) dan ekstern (lingkungan masyarakat, kemajuan teknologi, ekonomi, gaya hidup, dll) namun berdasarkan penanganan kasus tindak pidana yang sering penulis jumpai bahwa faktor utama anak melakukan tindak pidana adalah berkaitan erat dengan hubungan rumah tangga orang tua anak (keluarga). Bagaimana pola asuh terhadap anak dilakukan, bagaimana pendidikan di dalam keluarga, apakah keluarga tergolong harmonis, bagaimana perhatian yang diberikan oleh orang tua, bagaimana pengawasan terhadap anak oleh orang tua. Semuanya dikembalikan kepada keluarga, dikarenakan merupakan benteng utama dalam mencegah anak terlibat tindak pidana. Selain itu dapat dikatakan bahwa keluarga juga merupakan lingkungan kehidupan yang dikenal oleh anak untuk pertama kalinya. Penulis selalu sepakat dengan pernyataan bahwa ketika seorang anak melakukan tindak pidana maka dirinya bukan hanya sebagai pelaku tetapi juga sebagai korban. Pernyataan ini bukanlah dikarenakan keistimewaan anak namun banyak kasus tindak pidana yang dilakukan oleh anak setelah didalami lebih jauh ternyata anak tersebut merupakan korban dari adanya kesalahan/kelalaian yang dilakukan oleh orang tua dalam memegang peran terhadap tumbuh kembang anak. Berkaitan dengan keluarga dalam kehidupan bermasyarakat di Maluku pada umumnya ketika ada anak melakukan kejahatan/perbuatan tidak menyenangkan kepada orang lain sering terdengar kalimat “itu dia pung orang tatua seng ajar dia kapa ” atau dalam bahasa Indonesia dapat diartikan “mungkin orang tuanya tidak memberikan pelajaran yang baik kepadanya” yang menandakan ketika anak berbuat kesalahan apapun bentuknya maka yang disalahkan adalah cara dari orang tua mendidik anak tersebut. Tentunya tidaklah bijak jika mengembalikan semua kesalahan yang dilakukan anak kepada orang tuanya namun tentunya tidak dimunafikan pula bahwa orang tua memegang peran yang sangat penting terkait dengan tumbuh kembang anak.

Selanjutnya faktor yang juga tidak kalah penting dalam mempengaruhi seorang anak melakukan tindak pidana adalah lingkungan masyarakat. Ketika seorang anak tumbuh di lingkungan dengan pergaulan yang sangat bebas atau lingkungan tersebut kebanyakan masyarakatnya cenderung melakukan kejahatan maka hal ini akan mempermudah anak untuk terlibat tindak pidana. Di usia khususnya memasuki masa remaja, anak akan mudah mempelajari banyak hal, baik itu sesuatu yang baik maupun buruk. Di usia tersebut anak mulai berani untuk mencoba sesuatu yang baru baginya sehingga ketika lingkungannya buruk maka anak tersebut cenderung akan melakukan hal-hal yang buruk pula, terlebih jika ditambah dengan kurangnya pengawasan dari orang tua. Selain kedua faktor yang telah dijelaskan tentunya faktor-faktor lain yang juga telah disebutkan dapat menjadi penyebab anak melakukan tindak pidana namun sekali lagi bahwa faktor-faktor tersebut sering kali mengalami keterkaitan apabila ditelusuri lebih jauh. Jadi ketika ditanya siapa yang patut disalahkan ketika anak melakukan tindak pidana jawabannya adalah semua pihak baik itu orang tua, keluarga, masyarakat, dan tentunya Pemerintah (Pusat dan Daerah). Pihak-pihak tersebut harus menanamkan rasa tanggung jawab serta kepedulian yang dibuktikan dengan tindakan nyata guna memberikan perlindungan terhadap anak. Bentuk perlindungan terhadap anak tersebut jika dilakukan secara konsisten oleh semua pihak sudah seharusnya berimplementasi pada mulai berkurangnya jumlah tindak pidana yang dilakukan oleh anak. (LA ODE RINALDI MUCHLIS, SH, Pembimbing Kemasyarakatan Pertama)

Baca Juga: Sumber Daya Manusia Kreatif