SETELAH 78 tahun merdeka dan 25 tahun pasca ­reformasi, bangsa Indonesia masih terus-menerus mencari bentuk formulasi terbaik dalam kehidupan berpolitik. Politik menjadi salah satu wasilah yang selalu kita ikhtiarkan bersama-sama untuk cita-cita kemerdekaan dan amanat reformasi, yakni menjadikan Indonesia yang adil, makmur, sejahtera, dan demokratis.

Nahdlatul Ulama (NU) beserta para kiai, nyai, santri, dan jutaan pengikutnya sejak sebelum kemerdekaan telah, sedang, dan akan selalu berusaha untuk aktif berkontribusi guna mencapai cita-cita tersebut. Dalam perjalanannya, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) yang lahir dari rahim NU pasca-Reformasi, berupaya untuk tidak hanya menjadi penonton di pinggir lapangan, tetapi juga pemain kunci yang menentukan jalan dan hasil akhir pertandingan.

Namun, di tiap permainan, tentu selalu ada dina­mika, proses naik-turun dan batu kerikil yang tentu tidak bisa dihindari. Kemampuan mengambil pela­jaran dari pengalamanlah yang membuat PKB sema­kin kuat, dan istikamah memperjuangkan nilai-nilai ke-NU-an, keislaman, keindonesiaan, dan kemanu­siaan.

Di ‘Liga’ Demokrasi pasca-Reformasi ini, salah satu hal yang menjadi keniscayaan ialah koalisi. Tak ada pemain, dalam hal ini partai politik atau pemimpin politik yang berkuasa sejak era Reformasi yang tak berkoalisi. Sebab, bangsa Indonesia memiliki cita-cita kemerdekaan dan reformasi yang besar sehingga dibutuhkan kerja sama politik dari berbagai pihak. Tanpa koalisi, besar peluang pemerintahan demo­krasi berjalan tidak efektif, atau di kutub ekstrem lain­nya, demokrasi bergerak ke arah autokrasi, sebab kekuasaan hanya dimonopoli. Setidaknya, ini menun­jukkan kemampuan kerja sama sebuah partai atau pemimpin politik karena politik selalu memerlukan fleksibilitas dan kompromi.

Koalisi juga dapat dilihat sebagai upaya untuk menggalang representasi yang lebih luas. Dengan menggabungkan berbagai partai politik yang mungkin memiliki basis pemilih dan kepentingan yang ber­beda, koalisi dapat mencerminkan keragaman pan­da­ngan politik di dalam masyarakat dengan lebih baik. Sebab, sebuah kesebelasan yang kuat terbangun dari pemain-pemain dengan peran, posisi, dan kemam­puan yang beragam.

Baca Juga: Mengangkat Isu Human Capital dalam Pilpres 2024

Politik sekufu: esensi kesetaraan dalam koalisi

Sejak pemilihan umum langsung tahun 2004, PKB terus berada di ‘timnas’ partai koalisi pemerintah yang berkuasa mulai masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono hingga saat ini masa pemerin­tahan Presiden Jokowi. Berbagai dinamika telah dialami oleh PKB. Ada berbagai pengalaman yang bisa dijadikan bahan refleksi sekaligus pembela­jaran. Saat menjelang proses pemilihan umum tahun 2024, tidak ada momen yang lebih tepat untuk melakukan refleksi terkait jalan politik PKB selain sekarang.

Dalam proses perjalanan yang tidak singkat ini, PKB telah mengalami berbagai macam bentuk koalisi. Perhatian saya tertuju pada satu hal, yaitu ‘koalisi yang setara’ atau sekufu. Setara di sini tidak hanya berarti setara dalam hal ‘proporsi’ besar-kecilnya partai, tetapi juga input yang diperhitungkan secara setara.

Dua hal ini sangat berkaitan erat. Sering kali proporsi besar kecilnya partai yang dinilai dari hasil pemilu berdampak langsung pada apakah masukan dari partai tersebut akan benar-benar dipertimbangkan atau tidak. Partai anggota koalisi dengan jumlah proporsi yang besar cenderung lebih dominan dan dipertimbangkan suaranya jika dibanding partai yang lebih kecil.

Apabila kita melihat koalisi se­mata-mata sebagai sarana bagi-bagi hasil, apa yang terjadi terlihat masuk akal. Pertanyaannya, apakah koalisi memang hanya semata-mata tentang bagi-bagi hasil? Kaare Strom dan Wolf­gang C. Müler (1999) mengkla­sifikasikan perilaku partai politik dalam tiga kategori: partai yang mengejar jabatan, partai yang mengejar kebi­jakan, dan partai yang me­ngejar pemilihan.

Tiga hal ini bukan sesuatu yang saling lepas (mutually exclusive), tetapi saling berkelindan satu sama lain. Oleh karena itu, koalisi tidak bisa dimaknai secara sempit hanya tentang bagi-bagi kursi. Sayangnya, saat ini yang jamak terjadi memang koalisi sekadar sebagai ajang bagi-bagi kursi. Bagi saya ini merupakan hasil dari koalisi yang tidak setara.

Implikasi nyata dari koalisi yang tidak setara, yaitu timbulnya imbalance of power. Proses tukar pikiran dan pengambilan kebijakan menjadi kurang seim­bang karena ada pihak yang dianggap lebih tinggi atau lebih rendah jika dibandingkan yang lain. Salah satu aspek penting dari demokrasi adalah kese­taraan. Ini idealnya berlaku dalam konfigurasi pengambilan keputusan dalam koalisi.

Kita tidak bisa mewujudkan Indonesia yang demokratis dan berkeadilan secara penuh kalau dalam ranah kecil saja kita tidak menggunakan perspektif yang berbasis kesetaraan. Seperti halnya Al Ghazali yang mengingatkan kita untuk mendorong politik yang adil, saya turut meyakini bahwa kesetaraan dalam koalisi ialah modal penting bagi bagi koalisi politik yang adil.

Politik NU/PKB: representasi dan aspirasi

Koalisi yang tidak setara patut menjadi bahan refleksi karena sistem perwakilan PKB ialah perwa­kilan delegates (mandat) yang mana kami ialah pembawa pesan dari rakyat, dan mendukung apa yang menjadi keinginan rakyat, bukan perwakilan trustees (kepercayaan) yang membuat keputusan berdasarkan apa yang kami percayai. Ada amanat yang dititipkan oleh konstituen khususnya warga NU kepada partai untuk kami perjuangkan.

Dari hasil refleksi saya, seringkali komposisi koalisi yang tidak setara ini menjadikan PKB hanya sebagai vote gatherer atau pengumpul suara. Paling banter ialah penempatan kader anggota koalisi ke pos-pos tertentu. Namun, ini tidak serta merta berarti kader partai tersebut bisa memengaruhi penentuan arah kebijakan secara optimal.

Di pundak PKB, ada berbagai aspirasi politik kiai, nyai, santri, masyarakat NU, perempuan, petani, nelayan, buruh, minoritas, hingga kaum difabel. Di antaranya ialah tentang pengelolaan sumber daya alam yang berkeadilan dan berkelanjutan. Juga terkait alokasi APBN untuk lebih adil, khususnya yang memberi manfaat lebih bagi kaum mustad’afin atau mereka yang termarginalkan secara ekonomi dan sosial.

Yang tidak kalah penting ialah pembuatan kebija­kan untuk kesejahteraan masyarakat yang lebih merata. Seringkali, PKB harus menelan pil pahit karena kekuatan PKB tidak cukup besar untuk menavigasi kebijakan berdasarkan aspirasi ini. Padahal, NU, yang menjadi konstituten politik terbesar PKB ialah kekuatan besar di Indonesia. Cukup besar untuk menjadi bahan rebutan suara ketika pemilu. Namun, seringkali relevansi NU hanya berhenti di situ.

Ibarat mobil mogok, NU dan PKB ialah peserta yang mendorong mobil mogok itu. Setelah mobil berjalan, kami ditinggal. Terka­dang ada peningkatan, kami tidak ditinggal tapi naik di belakang menjadi penumpang. Dari hanya mendorong mobil mogok menjadi penumpang tentu sebuah pe­ningkatan, tetapi itu tidak cukup. PKB berharap menjadi pengemudi dan navigator yang terlibat aktif dan optimal dalam jalannya pemerintahan sesuai dengan amanat yang dititipkan kepada kami. Kami ingin menjadi anggota koalisi yang produktif.

Cita-cita warga NU terlalu besar untuk sekadar dijadikan pengumpul suara dan penguat legitimasi kekuasaan. Tidak hanya itu, sebagai partai dengan nilai kebinekaan kami ingin menjadi partai yang rahmatan lil alamin – tidak hanya bermanfaat bagi warga NU maupun umat Islam, tetapi juga seluruh masyarakat Indonesia. Oleh karena itulah, bagi saya refleksi ini menjadi sangat krusial.

Politik persatuan: memperkuat kebersamaan

Tidak bisa dimungkiri, berga­bung­nya PKB dengan PKS ke dalam satu koalisi memunculkan kekhawatiran baik dari konstituen PKB yang mayoritas merupakan warga Nahdliyin ataupun konstituen PKS. Kekhawatiran ini setidaknya mengindikasikan dua hal: pertama, betapa polarisasi politik telah membuat kita terus berfokus pada perbedaan alih-alih persamaan; dan kedua betapa kita berfokus pada perpecahan alih-alih persatuan. Kami meyakini bahwa semangat ukhuwah Islamiyah, ukhuwah wataniyah, dan ukhuwah basyariyah perlu kita rajut kembali, bahwa kita semua harus bahu-membahu dalam kebaikan dan persatuan.

Bergabungnya PKB dengan PKS dalam satu koalisi hendaknya dipandang dengan sebuah optimisme, bahwa PKB dan PKS berada dalam perahu yang sama dalam memperjuangkan kepentingan umat Islam dan bangsa Indonesia. Koalisi ini, juga merupakan sebuah ikhtiar untuk mengakhiri politik identitas yang tidak konstruktif bagi bangsa Indonesia. Sudah lama sekali kita terpecah belah dan terkotak-kotakkan, dan saya yakin kita semua sudah sangat lelah.

Persatuan tidak hanya penting untuk mewujudkan Indonesia Emas 2045, tetapi juga karena republik ini didirikan atas dasar persatuan. Indonesia masih berdiri tegak dari Sabang sampai Merauke karena kita semua memegang teguh persatuan. Oleh karena itu, kami sebagai partai politik merasa berkewajiban untuk menunjukkan komitmen kami terhadap persatuan dan persaudaraan, baik dalam keislaman, keindonesiaan, maupun kemanusiaan.

Kami yakin kebaikan akan menular menjadi kebaikan lainnya, dan insya Allah akan melunturkan kebencian dan keterbelahan. Sebab, kita dihadapkan pada agenda-agenda yang lebih besar untuk menjadikan Indonesia Emas 2045 yang maju, adil, makmur, sejahtera, dan demokratis. Ini membutuhkan koalisi yang sekufu dan setara dengan semangat persatuan, untuk Indonesia yang baldatun tayyibatun wa rabbun ghafur. Oleh: Abdul Muhaimin Iskandar Ketua Umum DPP Partai Kebangkitan Bangsa Amin.(*)