Kewajiban istri itu cuma satu: di kasur, selebihnya dapur dan sumur itu bisa di outsource. Dan suami lah yang wajib membayarnya. Sebab, hanya urusan kasur lah satu satunya yang tidak bisa di outsource dalam sebuah pernikahan yang sehat.

Sorry it sound so sexists. Menempatkan perem­puan seperti hanya sebagai objek dan fantasi seksual laki laki dalam rumah tangga. Bila itu kesan anda, silahkan, tapi maksud saya bukan begitu. Bahkan berkebalikan, saya ingin memposisikan mereka sebagai ratu dalam istana. Idealnya.

Saya akan mencoba memakai pendekatan dalil naqli-aqli, budaya dan teori-data untuk memper­tahankan argumen itu. Mengapa fokus kepada perempuan? Karena waktu melahirkan sehat cuma usia 20-35 tahun, dan tujuan nikah itu salah satunya ibadah terlibat aktif dalam sunatullah melestarikan ciptaanya dimuka bumi. (An-Nahl 72. At-Thur 21). Alat reproduksi laki-laki tetap berfungsi sampai tua, sementara perempuan tidak.

Tren unmarried women melanda Asia seperti Jepang, China, Korsel, termasuk juga Indonesia. Angkanya berlipat dalam beberapa dekade. Di Indonesia, jumlah pernikahan drop 25% dalam satu dekade, atau rata-rata turun 11% per tahun. Jomblo akut-berusia di atas 30 juga berlipat tiga dalam beberapa dekade. Sementara jomblo Gen Z atau usia 15-30 naik lebih dari 10% menjadi 64,5% atau 42 juta pemuda Indonesia pada 2022.

Berdasarkan survei di China dan Korsel, dua alasan utama kaum hawa enggan menikah adalah tekanan finansial dan sistem patriaki yang dianut luas di Asia. Soal ekonomi jelas solusinya; perencanaan keuangan yang matang sebelum menikah, tapi kalau soal sistem patriaki ini lebih repot. Patriarki adalah sistem sosial di mana posisi dominasi dan hak isti­mewa terutama dipegang oleh laki-laki. Menem­patkan hak absolut pada kepemilikan anak, hingga tubuh perempuan pada laki-laki. Dalam bahasa umum patriaki membuat perempuan dalam rumah tangga sebatas dapur, sumur dan kasur.

Baca Juga: Haji, Momentum Penguatan Moderasi Beragama

Sistem patriaki Ini bahkan tidak hanya menjajah keluarga, tetapi sistem lain seperti dunia kerja, politik dan lain sebagainya. Ada indikator The Global Gender Gap Index, keluaran World Economic Forum. Ra­ting indonesia berada di level 87 dari 148 negara de­ngan skor 0.697 (skala 0 lebar 1 kecil). Nomor satu gap paling kecil adalah Islandia dan terburuk Afganistan. Indeks ini mengukur kesetaraan antara laki-laki dan perempuan dalam hal partisipasi dan ke­sempatan ekonomi, pendidikan, kesehatan dan politik.

Sistem patriaki telah mendarah daging, berkelindan dengan pranata sosial, sistem politik, dan agama khususnya di negara-negara Asia. Patriaki adalah sistem sosial kuno yang paling tangguh yang nyaris tak tergerus oleh zaman bahkan oleh modernitas sekalipun-meskipun perlahan sudah terkikis di negara barat. Ia warisan kebudayaan Mesopotamia, 4000 tahun sebelum masehi (The Creation of Patriarchy, Gerda Lerner-1986).

Sistem patriaki yang seolah diterima apa-adanya ini berdampak serius pada masa depan umat manusia. Semua pemerintahan di dunia berjibaku merayu perempuan untuk mau menikah. Ini tidak mudah, dengan kesadaran gender yang makin meningkat perempuan mulai melawan. Perempuan modern enggan kehilangan me time, karir, kebebasan dan individual achievement lainnya. Mereka takut pernikahan membuatnya terpenjara, terekploitasi, terlebih yang pada keluarga yang masih terkendala masalah ekonomi.

Kelindan Jahat Patriaki dan Arabisasi

Secara umum banyak pemerintah mengambil banyak jalan yang kurang jitu untuk mengatasi tren unmarried women. Contoh, di Korsel pemerintahnya memperbaiki cuti keluarga, menawarkan fasilitas kesuburan bagi pasangan dan perempuan lajang, hingga membolehkan akta kelahiran bagi wanita tidak menikah yang memiliki anak.

Namun, semua kebijakan pada intinya tetap memposisikan perempuan sebagai alat reproduksi populasi semata, tanpa membongkar akar persoalan yang ada. Solusinya tetap dari male perspektif, sehingga kurang efektif. Perlu cara yang lebih radikal dan fundamental untuk membongkar sistem patriaki yang menakuti perempuan lajang.

Selain sistem politik dan sosial seperti adat istiadat, menurut saya urutan pertama yang perlu dibongkar terdahulu untuk menghancurkan sistem patriaki adalah agama. Ini karena daya rusaknya jauh lebih luar biasa daripada penerapannya di bidang lain. Saya ingin membongkar sistem patriaki yang menyusup pada pemahahaman Islam di Indonesia.

Disulut oleh politik identitas sejak 2014-meskipun tren ini sudah lama-arabisasi semakin menjadi jadi di Indonesia. Fenomena hijrah, penggunaan kosakata arab, hingga gaya pakaian hijab syar’i terjadi secara masif digenerasi muslim muda Indonesia. Yang terjadi di Indonesia sekarang persis seperti gambaran hasil kajian Saba Mahmood (2012) di Mesir, dimana ada perubahan identitas orang muslim di sana.

Menjadi muslim pada sebagian orang ternyata tak sekadar perpindahan agama, tapi juga pergantian kultur; mengadopsi budaya Arab, berbahasa Arab, dan berperilaku seperti orang Arab. Bahwa orang Mesir yang menjadi Muslim itu bukan hanya berubah identitas keagamaannya, tapi juga identitas kulturalnya; mereka telah berubah menjadi orang Arab.

Balik lagi pada konteks sistem patriaki, ini membuat pemahaman agama muslim muda di Indonesia mundur jauh kebelakang. Sebab, penerapan sistem patriaki di Arab Saudi jauh lebih parah, dibandingkan Indonesia. Memang ada reformasi belakangan ini, seperti izin mengendarai mobil sendiri bagi perempuan di sana, tapi itu jauh dari perbaikan gap gender.

Di sana, seorang perempuan harus mendapatkan izin atau penjagaan untuk melakukan nyaris apapun dalam hidupnya. Mulai dari menikah, cerai, bepergian, pendidikan, bekerja, sampai membuka rekening bank. Perempuan benar-benar menjadi subordinat jauh di bawah laki-laki di Arab, dan menurut aktivis feminis Wajeha Al-Huwaider sudah mirip perbudakan.

Proses pemahaman islam yang tidak lengkap di generasi Z Indonesia, yakni tidak bisa memi­sah­kan mana ajaran islam dan mana ajaran adat orang arab membuat sistem patriaki bukannya makin longgar malah makin menguat di Indonesia. Ketidakmampuan memi­sahkan Islam Arab dan Islam Nusantara ini telah berkontribusi pada alasan perempuan muda Indonesia untuk tetap melajang atau takut menikah.

Padahal, bersama sejumlah negara timur tengah, posisi Arab Saudi yang banyak dijadikan ruju­kan kaum muslim milenial Indonesia itu berada pada posisi bawah dalam kesetaraan gender. Arab Saudi menempati rangking Gender Gap Index ke 131 dengan skor 0.637, jauh di bawah Indonesia.

Menikah Itu Lebih Bahagia

Para jomblo perempuan di Indonesia harus tahu survei terbaru Badan Pusat Statistik (BPS). Hasil­nya, perasaan bahagia pasangan menikah lebih tinggi di 2021 (skor 72,1), naik dari 2017 (skor 71,09). Ini membalikan situasi pada hasil survei 2017 dimana penduduk yang lajang memiliki indeks keba­hagiaan tertinggi.

Problem selanjutnya adalah membongkar pemahaman sesat perempuan muslim dapat diperla­kukan semena-mena setelah me­ni­kah, atau laki-laki dapat semau­nya bertindak. Berikut sejumlah contoh yang relate dengan praktik berumah tangga modern yang sesuai dengan ajaran islam, bu­kan ajaran adat istiadat orang Arab. Arab itu hanya negara tempat lahir­nya Islam, bukan Islam itu sendiri.

Dalam konteks kekinian karena mayoritas perempuan juga bekerja setelah menikah, dan terjadi penyatuan harta, maka diksi paling mudah untuk menafsirkan dalil Quran dan hadist adalah “uang istri adalah uang istri dan uang suami adalah uang istri,”. Kewaji­ban suami tidak hanya urusan membiayai pangan dasar keluar­ga tapi mencakup biaya gaya hidup, nyalon, jajan, dan kebutuhan pribadi lainnya. (HR Muslim 2137, Al-Baqarah: 233, Ath-Thalaaq: 6).

Sementara dalam hal istri yang tidak bekerja, ijtihad Imam Al-Ghazali, ulama besar Islam sangat progresif dan relate dengan ke­luarga muslim kekinian. Katanya, “Di luar uang untuk kepentingan keluarga, suami juga diwajibkan memberi uang kepada istri seba­gai ‘gaji’ karena telah menjaga rumah dan mengasuh anak, dalam kasus istri yang tidak bekerja dan memilih untuk tinggal di rumah”.

Imam Ghazali menegaskan ti­dak ada perbudakan dalam rumah tangga islam. Tapi, sebaliknya ini juga tidak boleh diartikan suami hanya menjadi sapi perahan, sebab batas semua kewajiban menjadi sumber keuangan ke­luarga itu terukur oleh standar ke­mampuan dan kapasitas pribadi laki-laki. (Al-Baqarah: 233)

Wanita Karir Dapat Dua Pahala

Terjadi kesalahan penafsiran mendasar pada tren domestifikasi perempuan belakangan ini. Dikata­kan kelompok ini bahwa pe­rempuan yang bekerja ke luar ru­mah, setiap langkah kakinya adalah neraka. Ini berdasarkan sejumlah ayat yang tidak dipahami secara komperhensif. (Seperti Al-Ahzab 33)

Mufasir kontemporer Qurash Shihab dalam tafsir Al-Mishbah mengatakan ayat itu dikhususkan untuk istri-istri nabi. Itupun dalam konteks mereka diminta belajar dan menunut ilmu dari Nabi yang merupakan sumber pengetahuan dalam islam. (Al-Ahzab 34).

Bahkan Nabi mengapresiasi perempuan yang bekerja sebagai tulang punggung keluarga. Kata Nabi kita, perempuan karir yang ber­juang untuk membantu keua­ngan keluarga mendapatkan dua nafkah keluarga dan pahala sedekah.” (Al-Bukhari, Shahih Al-Bukhari).

Banyak sekali kajian sejarah tentang perempuan berkarir zaman nabi yang bisa dijadikan rujukan. Tidak usah jauh-jauh, Istri Nabi sendiri Khadijah adalah pebisnis sukses pada masanya. Sementara itu, dalam konteks kesetaraan bidang pendidikan, istri Nabi Aisyah menduduki urutan keempat sebagai periwayat hadist terba­nyak. Aisyah dikabarkan memiliki 77 murid laki-laki dan 8 perempuan dari kalangan sahabat dan tabiin.

Kembali pada soal kasur dan perempuan. publikasi Psychological Bulletin, yang merangkum hasil dari 211 studi menyimpulkan doro­ngan seksual laki-laki lebih besar dari pada perempuan. Kaum adam, ka­tanya, lebih sering berfantasi tentang seks, lebih terbuka mengeks­presi­kan perasa­an seksual, dan lebih banyak mas­turbasi daripada perempuan.

Dalam konteks ini, kewajiban istri untuk memenuhi kebutuhan seksual suami menjadi relevan setelah semua hak-haknya dipe­nuhi. Banyak sekali dalil naqli yang mewajibkannya (Al-Baqarah: 223, 228). Bahkan ada sebuah hadist yang menggunakan metafora bahwa istri bahkan wajib melayani seks suami saat diinginkan meski saat itu ada di atas punggung unta-walaupun kesahihannya diragukan karena tidak terdapat kitab Sahih al-Bukhari maupun Sahih Muslim.

Hadist itu memang banyak diglorifikasi untuk mengekslopitasi hak-hak seksual perempuan da­lam rumah tangga. Namun, kajian kontemporer hadist sudah me­nerima bahwa persetujuan sek­sual atau sexual consent ada dalam Islam (Al Baqarah 187, 262,263). Nabi Saw, dalam hadits Jabir bin Abdillah ra menyebutnya sebagai “mula’abah” antara suami istri, atau saling menikmati per­mainan. Hal ini hanya bisa terjadi, jika keduanya dalam persetujuan dan kerelaan.

Feminis Kebablasan

Saya lebih sepakat dengan pernyataan K,H Hasyim Muzadi, 2007, bahwa yang diperlukan itu keserasian gender daripada kese­taraan gender dalam rumah ta­ngga. Sistem patriaki tidak semua­nya buruk, hanya skalanya saja yang harus dikurangi, bahwa ba­gaimanapun dengan segudang kewajiban laki-laki dalam perni­kahan, maka ada sedikit previlage satu tingkat di atas kaum hawa. (Al-Baqarah 228).

Kesetaraan gender lebih baik diterapkan pada sistem sosial, bukan dalam lingkup keluarga. Tidak akan bisa ada dua kepala keluarga dalam satu rumah. Tapi, tren yang menghawatirkan seka­rang, banyak aktivis muda muslim yang karena ketidaksempurnaan dalam memahami text suci, dan terbuai kampanye kesetaraan gender ala barat main hantam kromo saja terhadap apa-apa yang berbau konsep keluarga islam.

Mereka salah memahami yang mereka perangi itu adalah praktik patriaki ala islam Arab, bukan islam Nusantara. Islam nusantara lebih tawassuth (sikap tengah tengah) tawazun (seimbang), dan tasamuh (toleransi). Saya bisa menunjuk hidung aktivis child free macam influencer Gita Savitri Devi salah besar dalam memahami kitab suci.

Repotnya, dengan keterbukaan informasi melalui media sosial nilai-nilai yang tak fair oleh infleu­ncer ini mudah meracuni perem­puan muda muslim yang tidak me­miliki bekal cukup untuk memilih. Apalagi mereka yeng bersekolah di universitas-universitas di barat, tanpa bekal yang cukup untuk menyaring budaya keseta­raan gender di sana dan Indonesia.

Dampaknya akan sama saja. Gerakan kesetaraan gender yang kebablasan akan menjadi ben­cana bagi populasi umat manusia. Dengan gerakan unmarried wo­men, child free, LGBT yang dikata awalnya untuk meruntuhkan sis­tem patriaki. Alih-alih meruntuh­kan, mereka sebenarnya bersekutu, dan memiliki dampak yang sama buruknya bagi masa depan umat manusia dimuka bumi.Oleh: Muhammad Maruf Penulis adalah Kepala Riset CNBC Indonesia. Menyelami jurnalistik sejak 1999 dengan pengalaman di media digital-cetak nasional dan internasional. (*)