SESAAT setelah hancurnya Kota Hiroshima dan Nagasaki di Jepang oleh bom atom yang dijatuhkan Amerika Serikat (AS) pada Perang Dunia II, respons pertama dari Kaisar Hirohito ialah  “Berapa jumlah guru yang tersisa?”, bukan berapa sisa tentara atau senjata. Pertanyaan Kaisar Hirohito menjadi bukti bahwa peran guru sudah tidak diragukan lagi. Terbukti, Jepang menjadi salah satu negara dengan sistem pendidikan terbaik di dunia.

Guru adalah elemen penting pendidikan. Sa­yangnya, pengelolaan guru masih mengalami per­soalan yang kompleks. Di samping persoalan kompetensi, persoalan guru masih berkutat pada berlarut-larutnya penyelesaian status kepegawaian dan pemenuhan kesejahteraan.

Masih banyak ditemukan guru dengan gaji yang sangat jauh di bawah standar, bahkan masih di bawah gaji asisten rumah tangga. Terdapat pula guru yang sudah mengajar puluhan tahun tapi belum jelas status kepegawaiannya. Guru tidak dapat bekerja dengan maksimal apabila belum mendapat status dan kesejahteraan yang jelas. Bagaimana mungkin guru bisa bekerja dengan maksimal apabila masih mempunyai persoalan dapur.

Guru berkualitas akan diperoleh melalui input calon guru berkualitas. Untuk memperoleh input guru ber­kualitas, diperlukan adanya daya tarik dan kejelasan jenjang karier serta masa depan guru. Lulusan terbaik dari SMA sederajat akan tertarik menjadi guru apabila terdapat kejelasan tentang kesejahtaraan dan masa depan karier guru. Jika melihat praktik di negara-negara dengan sistem pendidikan terbaik di dunia seperti Singapura dan Finlandia, profesi guru adalah profesi idaman bagi lulusan terbaik SMA karena mempunyai kesejahtaraan yang baik (well-paid) dan masa depan yang jelas.

Jalur menjadi guru

Baca Juga: Menjawab Tantangan dari Dalam

Undang-Undang No 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen (Pasal 9) memberikan kesempatan yang sama kepada mahasiswa kependidikan dan nonke­pendidikan untuk menjadi guru. Keduanya sama-sama harus menempuh Pendidikan Profesi Guru (PPG) untuk memperoleh sertifikat pendidik sebagai syarat menjadi guru profesional. Kesempatan yang sama juga diberikan kepada mahasiswa nonke­pendidikan yang ingin menjadi guru dengan menempuh PPG.

Artinya, tidak ada ada privilese khusus bagi maha­siswa kependidikan untuk menjadi guru. Politik hukum semacam ini jelas tidak memberikan daya tarik bagi lulusan SMA untuk kuliah di jurusan kependidikan. Kebijakan ini juga menempatkan guru sebagai profesi cadangan, bukan sebagai cita-cita utama, bagi mahasiswa nonkependidikan yang tidak memperoleh pekerjaan sesuai dengan bidang ilmunya. Profesi guru menjadi peluang bagi sarjana oportunis untuk memperoleh pekerjaan. Padahal, sudah seharusnya profesi guru dijalankan dengan passion yang kuat, bukan sekadar mata pencaharian.

Jadi nasib mahasiswa kependidikan saat ini ibarat sudah jatuh tertimpa tangga. Pertama, mere­-ka harus bersaing dengan mahasiswa nonkepen­didikan yang tidak disiapkan menjadi guru. Kedua, mimpi utama mereka menjadi guru PNS pupus karena tidak ada lowongan guru jalur CPNS. Ketiga, lowongan guru pegawai pemerintah dengan perjan­-jian kerja (PPPK) hanya diperuntuk­kan bagi guru yang sudah terdaftar di dapodik atau lulusan yang telah menempuh pendidikan profesi guru (PPG).

Madesu

Mahasiswa kependidikan dibuat gusar oleh kebijakan pemerintah yang meniadakan formasi pengadaan guru jalur CPNS bagi lulusan baru (fresh graduate). Hampir semua mahasiswa yang saya tanya tentang mimpi utama mereka, maka jawabannya ialah menjadi guru PNS. Dengan kebijakan saat ini, mereka harus mengubur mimpi menjadi guru PNS alias masa depan suram (madesu).

Formasi yang tersedia ialah guru berstatus PPPK dengan waktu tertentu tanpa jaminan masa depan tentang karier dan pensiun. Untuk dapat mengikuti seleksi guru PPPK juga bukan perkara mudah. Pada 2022, formasi guru PPPK hanya diperuntukkan bagi 2 golongan, yaitu (1) para guru honorer negeri/swasta yang telah terdaftar di data pokok pendidik (dapodik) dan (2) fresh graduate yang telah memiliki sertifikasi pendidik melalui PPG. Sialnya, seorang fresh graduate FKIP tidak masuk ke dalam dua golongan tersebut.

Lalu, bagaimana nasib fresh gradute FKIP? Jika ingin tetap menjadi guru, pilihannya ialah menjadi guru swasta karena berdasarkan PP 49/2018 tentang Manajemen Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja, sudah tidak ada lagi rekrutmen guru honorer di sekolah negeri. Lebih miris lagi, hanya sedikit sekolah swasta yang mampu menggaji gurunya dengan layak. Pilihan terakhir, lulusan fakultas kependidikan harus banting setir menjalani profesi selain guru. Jika tidak, mereka akan menjadi pengangguran terdidik.

Pemberitaan di media massa hampir tidak ada bagusnya tentang nasib guru. Yang sering kita lihat di media ialah berita guru melakukan demonstrasi, guru minta diangkat CPNS, guru dibayar rendah (underpaid), guru mengabdi puluhan tahun tidak jelas masa depannya, dll. Kondisi ini semakin menurunkan minat lulusan SMA untuk mendaftar di jurusan kependidikan.

Sayangnya, persoalan masa depan mahasiswa kependidikan ini tidak mendapatkan perhatian yang memadai dari penyelenggara pendidikan guru. Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) bersuara lantang membela kepentingan guru saat ada kebijakan-kebijakan pemerintah yang merugikan guru. Namun, kita kurang mendengar suara keberpihakan dan pembelaan nyata dari para dekan fakultas kependidikan terhadap persoalan dan masa depan mahasiswanya.

Saran

Untuk memperkuat muruah profesi guru dan pendidikan guru, ada beberapa hal yang dapat dilakukan. Pertama, pemerintah perlu membuka formasi lowongan guru jalur CPNS. Kita memahami upaya pemerintah untuk menyelesaikan persoalan tunggakan guru-guru honorer yang masih belum jelas statusnya, tapi masa depan mahasiswa kependidikan juga harus dipikirkan. Menutup keran pengadaan guru jalur CPNS, sama dengan mengurangi minat lulusan SMA untuk menjadi guru.

Kedua, pengadaan guru jalur PPPK harus dibuka untuk fresh graduate dari sarjana kependidikan. Hal itu sangat penting untuk memberikan ruang bagi para lulusan kependidikan untuk menjadi guru sesuai core fakultas kependidikan.

Ketiga, mendesain ulang kurikulum fakultas kependidikan sepaket dengan kurikulum PPG sehingga lulusan fakultas kependidikan akan menjadi sarjana pendidikan sekaligus memperoleh sertifikat pendidik.Oleh: Triyanto Guru Besar FKIP UNS Solo. (*)