KALANGAN ekonom satu suara, bahwa inflasi yang mendingin dan pembukaan ekonomi Tiongkok akan meningkatkan kepercayaan global. Keyakinan konsumen meningkat pada Januari lalu di 31 dari 43 negara yang dilacak oleh Morning Consult karena inflasi melambat dan ketahanan ekonomi menyebabkan kenaikan bulanan secara rerata 2,2% dalam indeks sentimen konsumen.

Di Tiongkok, indeks keyakinan konsumen rebound tajam setelah penghapusan kebijakan nol covid-19. Hal ini membantu mengangkat sentimen global, pembukaan kembali oleh Tiongkok berpotensi mengantarkan periode permintaan yang lebih kuat dan aktivitas ekonomi di negara itu. Peningkatan sentimen sebagian besar didorong kaum muda Tiongkok, yang ingin segera keluar dari belenggu kebijakan penguncian.

Sementara itu, sentimen konsumen rebound dengan cepat di sebagian besar Eropa karena inflasi mulai bergulir ke bawah, dan krisis energi musim dingin yang sangat ditakuti gagal terwujud. Data menunjukkan ekonomi Eropa berhasil bangkit pada kuartal keempat 2022. Pertumbuhan PDB di seluruh negara yang menggunakan mata uang euro ialah 0,1% terhadap kuartal ketiganya. Data yang positif ini meredakan kekhawatiran resesi di kawasan itu. Bahkan, pertumbuhan tahunan untuk 2022 adalah 3,5%, lebih kuat dari AS dan Tiongkok.

Secara keseluruhan, kepercayaan konsumen yang meningkat pesat di sebagian besar Benua Biru ini akan mendukung pandangan bahwa Eropa mungkin dapat terhindar dari resesi tahun ini. Inilah yang (barangkali) mendasari IMF merevisi perkiraan ekonomi global 2023 sedikit ke atas pada akhir Januari lalu (31/1).

Ekspektasi inflasi

Baca Juga: Bahasa Daerah dalam Himpitan Zaman

IMF menunjuk penurunan inflasi di seluruh dunia, dan pembukaan kembali Tiongkok menjadi stimulus yang prospektif bagi pemulihan global yang lebih cerah. Lembaga ini memproyeksikan ekonomi global akan tumbuh 2,9% pada 2023, naik 0,2% dari laporan World Economic Outlook (WEO) pada Oktober lalu.

Sesungguhnya, proyeksi terbaru ini masih berada di bawah (perkiraan) pertumbuhan sebesar 3,4% pada 2022. Tepat jika IMF mengingatkan bahwa pertumbuhan ekonomi akan mencapai titik terendah tahun ini dan segera melompat lebih ti­nggi ke 3,1% pada 2024. Meskipun proyeksi ini te­tap lebih rendah dari­pada rata-rata pertumbu­han 3,8% dalam dua dekade terakhir, IMF tidak berharap pertumbuhan negatif, yang biasanya terlihat selama resesi global.

Di Eropa, yang ekonominya terbukti cukup kuat meskipun ada krisis energi, sebagian karena musim dingin yang ringan, diperkirakan akan tumbuh menyusut dari 3,5% (2022) menjadi 0,7% (2023) dan rebound lagi ke 1,6% (2024).

Di antara negara-negara kelompok G-7, ekonomi Inggris diperkirakan akan mengalami kontraksi 0,6% (2023), lalu rebound ke 0,9% (2024). Inggris adalah satu-satunya ekonomi G-7 yang diproyeksikan menyusut tahun ini, yang juga menun­jukkan penurunan paling tajam dalam aktivitas bisnis sejak kebijakan penguncian covid-19 dua tahun lalu.

Di AS, pertumbuhan diper­kirakan melambat secara berkelanjutan, dari capaian 2% pada 2022 menjadi 1,4% pada 2023, kemudian melanjutkan pelemahan ke 1,0% di 2024 sebagai dampak kebijakan moneter ketat The Fed. Hanya proyeksi ini bisa saja berubah drastis menjadi lebih baik, lantaran inflasi tahunan di AS melandai secara konsisten dari 9,1% di Juni 2022 menjadi 6,4% di Januari 2023 AS sehingga disebut dengan disinflasi.

Terkendalinya inflasi AS, meskipun masih di atas target inflasi yang 2%, memberikan ruang bagi The Fed melanjutkan penaikan suku bunga acuan dengan besaran persentase yang tidak seagresif sebelumnya, yakni sebesar 25 basis poin di setiap pertemuan para pengambil kebijakan.

Terkini muncul perkiraan, suku bunga AS akan bergerak naik di terminal 5,0-5,5% hingga akhir semester pertama 2023 untuk kemudian bertahan hingga akhir tahun. Baru di awal 2024, suku bunga The Fed diperkirakan akan dilandaikan sebagai titik tolak melanjutkan momentum pertumbuhan.

Sequence inflasi di AS senada perkiraan IMF, bahwa inflasi global terus menurun dua tahun ini, melandai dari 8,8% pada 2022 menjadi 6,6% pada 2023 dan turun lagi menjadi 4,3% pada 2024. Ini semua, lantaran tight money policy di hampir seluruh dunia untuk meredam inflasi. Hanya, langkah ini membawa konsekuensi aktivitas ekonomi tertahan.

Di sejumlah negara berkembang, khususnya Asia, laju inflasi terpantau relatif lebih terkendali karena krisis energi tidak terjadi seperti di Eropa. Namun, dengan pemulihan ekonomi yang lebih cepat, memberi peluang bagi kenaikan inflasi, yang mendorong bank sentral ‘menyesuaikan’ kebijakan pengetatan moneter. Sebagai contoh inflasi di Indonesia, yang dengan cepat melejit ke level 5,51% di akhir 2022 lalu, direspons dengan kenaikan suku bunga acuan yang kini bertengger di level 5,75%.

Asesmen IMF, pembukaan kembali Tiongkok, membuka jalan bagi pemulihan global lebih cepat dari yang diharapkan karena kontribusi PDB negara ini yang signifikan (berkisar 18%) terhadap total PDB dunia. Dalam dua bulan terakhir ini, aktivitas ekonomi Tiongkok kembali bergairah me­nyambut ‘kebebasan’ dari pe­nguncian selama hampir tiga tahun.

IMF sekarang memper­kirakan pertumbuhan eko­nomi Tiongkok akan rebound menjadi 5,2% ta­hun ini, lebih tinggi dari­pada perkiraan sebelum­nya (Oktober 2022), untuk menuju ‘level kenormalan baru’ sebesar 4,5% di 2024. Meskipun demikian, IMF me­ngingatkan pemulihan Tiong­kok bisa kehilangan tenaga jika gelombang virus korona di masa depan membuat orang tetap di rumah atau sektor properti yang rentan melambat tajam.

Peran strategis Asia Tenggara

Dalam ekonomi global yang menghadapi periode pertumbuhan lemah yang berlarut-larut dan inflasi tinggi, fakta dan data menunjukkan kawasan Asia Tenggara mena­warkan optimisme untuk pemulihan global karena didukung fundamental kuat, pertumbuhan semakin cepat, dan masa depan cerah.

ADB pada Desember lalu merilis perkiraan terbaru prospek pertumbuhan PDB kawasan Asia Tenggara untuk 2023 sebesar 4,7%. Tumpuan pertumbuhan  kawasan ini ada pada Vietnam (6,3%), Filipina (6,0%), dan Indonesia (4,8%), yakni kinerja ekonomi ketiga negara ini lebih baik jika dibandingkan dengan negara-negara lain di kawasan yang sama.

Resiliensi ekonomi negara-negara di kawasan Asia Tenggara ditopang kebijakan internasionalisasi aktivitas ekonomi, investasi dan bisnis sebagai kunci utamanya. Artinya, negara-negara itu membuka diri bagi kerja sama bilateral dan multilateral, dengan negara-negara di luar kawasannya, baik di Asia, Eropa maupun Amerika Utara.

Stance keterbukaan dan internasionalisasi di Asia Tenggara membuahkan hasil, yakni ASEAN yang beranggotakan 10 negara menjadi blok perdagangan dengan pertumbuhan tercepat di dunia, dan sekarang menyumbang hampir 8% dari ekspor global. Dalam hal investasi asing langsung masuk, ASEAN sekarang menyumbang sekitar 10% dari total global, hampir setara dengan China daratan.

Kekuatan populasi di kawasan Asia Tenggara juga menopang pertumbuhan yang solid dan berkesinambungan. Kawasan ini memiliki 680 juta orang atau 50% lebih banyak dari Uni Eropa, dan lebih dari dua kali lebih banyak dari AS. Populasi ini menjadi semakin makmur dan berpendidikan, dengan tenaga kerja semakin terampil dan upah yang kompetitif.

Menurut laporan World Economic Forum tentang ASEAN, Asia Tenggara akan menambah sekitar 140 juta konsumen baru pada 2030. Potensi konsumen baru yang besar itu akan lebih diberdayakan oleh peluang digital yang semakin canggih. Transaksi e-commerce terus bertumbuh secara simultan karena tingkat literasi konsumen usia muda yang lebih siap menyambut era digitalisasi ekonomi dan keuangan.

Akhirnya, terlepas dari polemik tentang resesi global, banyak ekonomi Asia Tenggara pulih dengan kuat dari pandemi. Maka, ketika dunia secara bertahap kembali normal dan pembatasan perjalanan dilonggarkan, wilayah ini kemungkinan mendapatkan dorongan yang signifikan, terutama untuk ekonomi yang padat pariwisata seperti Thailand dan Indonesia.Oleh: Ryan Kiryanto Ekonom, Dewan Pakar Institute of Social, Economic and Digital/ISED dan Associate Faculty Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia/LPPI Sumber: https://mediaindonesia.com/opini/560273/menakar-ulang-kecepatan-pemulihan-ekonomi-global.