PADA 24 Oktober 2023 Ikatan Dokter Indonesia (IDI) berulang tahun ke-73. Sejarah perjalanan IDI cukup panjang. Organisasi itu lahir lima tahun pascakemerdekaan dan menjadi saksi bagaimana negeri ini berjuang dan membangun.

Hingga kini IDI menjadi rumah besar dokter Indonesia dan berperan sebagai pengawal penegakan standar profesi, moral, dan etik dokter. Tujuh dekade IDI ikut terlibat dalam pembangunan bangsa tanpa pamrih dan tanpa pendanaan khusus dari pemerintah. Saat ini, 200 ribu dokter Indonesia, 89 perhimpunan, dan 37 kolegium berhimpun di dalamnya.

Undang-Undang Kesehatan No.17/2023 yang baru disahkan memberi dampak besar terhadap peran strategis dan wewenang IDI. IDI bukan lagi satu-satunya organisasi profesi dokter yang diakui negara karena saat ini organisasi profesi dokter bisa banyak.

Peran strategis organisasi dalam memberikan rekomendasi bagi dokter yang akan praktik dokter telah dihapus. Wewenang IDI dalam menyelenggarakan kegiatan pendidikan berkelanjutan pun dihilangkan. Secara baik langsung maupun tidak langsung, UU Kesehatan telah memangkas peran dan wewenang IDI. Bagaimana IDI bisa eksis di masa mendatang?

IDI reborn

Baca Juga: Dinasti Politik Jokowi dan Kemunduran Demokrasi Global

Muktamar IDI beberapa tahun lalu memunculkan slogan IDI reborn (IDI terlahir kembali). Tidak ada yang mengira saat itu bahwa dalam satu-dua tahun pascamunculnya slogan itu, IDI memasuki area turbulensi akibat lahirnya UU Kesehatan.

Meski demikian, kondisi tersebut tidak selayaknya menghentikan peran penting organisasi dalam menjaga kesejawatan kolega dan mengawal pembangunan kesehatan di negeri ini. Bahkan mestinya menjadi cambuk bagi IDI untuk lebih maju, elegan, dan berkualitas.

Organisasi profesi dokter seperti American Medical Association dan British Medical Association merupakan organisasi yang powerful. Lobi-lobi mereka masif dan sangat menentukan iklim kesehatan di negeri mereka.

Mereka berkolaborasi dengan industri dan universitas raksasa, memiliki balanced position dalam sistem kesehatan. Posisi kuat itu diperoleh setelah mereka menjalani perjalanan panjang dengan penuh tantangan selama ratusan tahun. American Medical Association telah berusia 197 tahun, British Medical Association 200 tahun, dan India Medical Association 234 tahun.

Salah satu upaya menjaga eksistensi organisasi ialah perlunya IDI melakukan reformasi menjadi IDI yang terlahir kembali. Konsep IDI reborn bisa dijadikan titik pijak. Bila dulu slogan itu lebih merupakan pemicu semangat dalam kegiatan, kini slogan tersebut mesti diartikulasikan dan dimanifestasikan lebih serius.

Ia mesti dimaknai bukan hanya sebagai slogan, melainkan juga sebuah DNA, yaitu elemen krusial makhluk hidup. DNA menjadi substansi dasar yang menentukan proses tumbuh kembang makhluk hidup. Artinya, IDI memang harus reborn secara substansial.

Dalam konteks organisasi, reborn artinya perubahan besar untuk memperbaiki kinerja, struktur, budaya, dan arah. Tujuannya memperbaiki dan memperbarui organisasi agar dapat beradaptasi dan relevan dengan perubahan lingkungan sambil tetap mencapai kinerja yang baik.

Transformasi tersebut penting sebagai respons terhadap tekanan eksternal atau internal dan memerlukan komitmen kuat dari segenap unsur organisasi. Untuk transformasi itu, paling tidak tiga pilar mestinya mengalami metamorfosis.

Pertama, visi dan misi. Visi IDI saat ini ialah menjadikan IDI sebagai organisasi profesi yang mandiri, independen, solid, dan berwibawa baik di tingkat nasional maupun regional dalam mewujudkan dokter sejahtera, profesional, dan masyarakat sehat.

Visi tersebut terlalu dokter-sentris, lebih terfokus pada hegemoni dokter. Munculnya beragam dinamika internal dan eksternal mengharuskan IDI melakukan revisi visi dan misi. Visi yang diperlukan ialah yang mengandung tujuan dan nilai-nilai novel yang ingin diangkat IDI pada masa mendatang.

Visi itu tidak boleh lagi terkungkung oleh egoisme sektoral dengan hanya concerned terhadap dokter. IDI ke depan mesti secara tegas juga menunjukkan keberpihakan dan perhatian kepada masyarakat. Itu mesti secara jelas divisualisasikan pada visi.

Visi organisasi ke depan selayaknya dual-orientation. Di satu sisi, IDI mesti terus mengawal tugas internal berupa penjagaan profesionalisme dan etika dokter. Di sisi lain, IDI harus berani menyatakan keberpihakan kepada masyarakat dengan mendukung penuh semua kegiatan atau kebijakan yang terkait dengan pemerataan pelayanan kedokteran dan kesehatan negeri ini.

Kedua pilar itu sangat krusial dan mesti termaktub dalam visi-misi IDI. Dengan memegang kedua pilar itu, IDI mesti siap menjamin bahwa setiap anggota mereka akan menjunjung tinggi nilai-nilai profesionalisme dan etika saat melakukan kegiatan mereka. Pada saat sama, IDI menjamin bekerpihakan mutlak kepada masyarakat dengan mendukung kebijakan berbasis pemerataan pelayanan kesehatan.

Kedua, perubahan struktural. Dalam menghadapi perubahan dinamika yang cepat, IDI mesti bisa berani mengubah struktur organisasi mereka. Selama ini, struktur kepengurusan masih konvensional dengan mengadopsi struktur hierarki konvensional seperti kebanyakan organisasi lain.

Modelnya mengarah kepada ‘organisasi berstruktur hierarki’ dengan satu ketua dibantu wakil ketua dan sejumlah departemen. Meski jamak dipakai, model seperti itu memiliki beberapa kekurangan, terutama saat menghadapi kondisi yang agile, seperti kurangnya partisipasi akibat sentralisasi pengambilan keputusan, lambatnya komunikasi, kesulitan beradaptasi, berjenjangnya tahapan pengambilan keputusan, dan risiko konflik kepentingan.

Ke depannya, IDI perlu mempertimbangkan kepemimpinan presidium. Model itu cocok untuk organisasi yang menganut nilai-nilai demokrasi, partisipasi, dan transparansi, tetapi pada sisi lain menghadapi tantangan perubahan yang dinamis dan kompleks.

Organisasi memiliki beragam sudut pandang yang dapat memperkaya diskusi dan pengambilan keputusan, serta mengurangi risiko sentralistis dan penyalahgunaan kekuasaan. Model itu juga dapat mendorong keterlibatan aktif anggota organisasi karena mereka memiliki akses langsung ke anggota presidium.

Ketiga, perubahan budaya organisasi. Selama ini IDI dituding sebagai organisasi yang hidup dengan hanya memanfaatkan anggota. IDI hanya hidup dari iuran anggota, pembayaran surat rekomendasi, atau biaya akreditasi pendidikan berkelanjutan.

Meski hal itu wajar bagi sebuah organisasi yang tidak mendapat dukungan finansial dari pemerintah, budaya itu perlu direvisi. IDI mesti bisa dan berani membuka peluang kerja sama dengan industri, universitas, atau institusi nirlaba lainnya.

IDI pun harus memperkuat peran advokasi mereka, tidak hanya terhadap profesi dokter, tetapi terhadap masyarakat secara keseluruhan. Dengan peran ganda itu, IDI memberi sinyal bahwa mereka tidak hanya peduli dengan profesi, tetapi juga terhadap masyarakat secara keseluruhan.

IDI reborn sebagai DNA

Dalam menghadapi situasi krusial seperti saat ini, IDI perlu segera menjadikan konsep IDI reborn sebagai DNA mereka. IDI perlu melakukan reformasi dan mengubah eksistensi mereka dengan mengintegrasikan nilai-nilai modern, transparansi, dan akuntabilitas di dalamnya.

Hal itu akan menjadikan IDI sebagai sebuah organisasi profesi dokter yang kuat, tidak hanya menjaga profesionalitas dan etika, tetapi juga selalu mementingkan kepentingan masyarakat. Konsep reborn mesti diimplementasikan dalam setiap tarikan napas organisasi.

Dengan begitu, IDI akan mampu menavigasi perubahan yang tak terhindarkan dalam dunia kesehatan dan meningkatkan dampak positifnya pada masyarakat. Inilah saatnya untuk serius berkomitmen dan berkhidmat pada konsep IDI reborn sebagai DNA bagi organisasi yang dicintai ini. Oleh: Iqbal Mochtar Pengurus PB IDI dan Ketua Perhimpunan Dokter Indonesia di Timur Tengah (PDITT)