Dinasti Politik Jokowi dan Kemunduran Demokrasi Global
PUTUSAN Mahkamah Konstitusi (MK) tentang batas minimal usia calon presiden (capres) telah memuluskan jalan bagi putra sulung Presiden Jokowi, Gibran Rakabuming Raka, untuk menjadi calon wakil presiden (cawapres) mendampingi Prabowo Subianto.
Publik kemudian menuduh Jokowi telah menancapkan politik dinasti. Apalagi beliau dianggap bungkam dan tidak bertindak di tengah persoalan ini. Kubu Koalisi Indonesia Maju (KIM) yang mendukung pasangan Prabowo dan Gibran sebagai capres dan cawapres pada Pemilu 2024 dengan tegas mengatakan bahwa Jokowi tidak membangun politik dinasti.
Definisi politik dinasti kontemporer
Akar pemahaman politik dinasti bisa ditelusuri dalam jejak sistem pemerintahan monarki. Ciri utama monarki ialah sistem dan undang-undang melekat pada raja karena ia dianggap pahlawan dan dewa penyelamat. Hal itu tentu melahirkan sikap otoriter dan kehendak sang raja untuk melanjutkan kekuasaan yang tidak lari jauh dari lingkaran kekeluargaan.
Masyarakat yang masih kental dipengaruhi teologi dan belum memahami politik, tentu akan menerima sistem tersebut. Di sini jelas bahwa politik dinasti itu warisan kekuasaan karena hubungan kekeluargaan atau hubungan darah. Politik dinasti pada zaman monarki dianggap wajar.
Baca Juga: Kilasan Kongres Bahasa Indonesia XIIMasyarakat yang hidup dalam sistem demokrasi kontemporer tentu melihat ada pemisahan tegas antara sistem dan masyarakat. Presiden merupakan fungsi dan bagian dari sistem yang telah diberi mandat untuk menjalankan tugas dan fungsinya sebagi kepala negara.
Secara politik, kepala negara bisa memengaruhi sistem untuk kepentingan keluarga atau kelompok. Daya pengaruh politik kepala negara demi kepentingan keluarga inilah yang disebut politik dinasti zaman kontemporer.
Dari uraian di atas kita bisa melihat ada pergeseran makna politik dinasti. Dalam sistem monarki, politik dinasti itu dimaknai sebagai pengaruh langsung raja sebagai sistem untuk mewariskan kekuasaan kepada anaknya.
Sementara pada era kontemporer yang kental dengan demokrasi, kita bisa memaknai politik dinasti sebagai pengaruh tidak langsung dengan mengintervensi dan menggunakan sistem demi langgengnya kekuasaan anak.
Kemunduran demokrasi Indonesia
Gambaran politik dinasti Jokowi memperpanjang catatan buruk tentang demokrasi di Indonesia sejak zaman pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono. Thomas Power dkk dalam buku Demokrasi di Indo-nesia, Dari Stagnasi ke Regresi (2021) dengan tegas mengatakan bahwa zaman pemerintahan Jokowi, Indonesia mengalami kemunduran demokrasi.
Power mengatakan ciri utama kemunduran demokrasi Indonesia ialah pemanfaatan sistem untuk kepentingan pribadi atau kelompok. Istilah yang diberikan oleh Power mengenai hal itu yakni ‘penggelembungan kekuasaan eksekutif’. Hal yang sama juga ditegaskan oleh Levitsky & Ziblat dalam buku How Democracies Die (2018).
Menariknya bahwa di tengah penilaian kemunduran demokrasi Indonesia belum terjadi adanya konflik berdarah yang memperparah situasi politik nasional dan daerah. Meskipun, potensi konflik itu sangat besar, terutama pada saat pilkada, pileg, dan pilpres berlangsung.
Pamungkas dkk dalam buku Memperkuat Demokrasi di Indonesia (2022) menegaskan bahwa tidak adanya konflik berdarah karena masih tingginya kepercayaan masyarakat Indonesia akan nilai demokrasi (musyawarah mufakat, gotong royong, dan toleransi). Jika dikaji secara antropologis merupakan tata nilai yang telah dihidupkan dan dipertahankan oleh berbagai suku yang ada di Indonesia.
Gelombang kemunduran demokrasi global
Dinamika politik dinasti yang dinilai menjadi salah satu indikator kemunduran demokrasi Indonesia era Jokowi bisa dilihat secara global. Awal milenium ketiga muncul kecenderungan kemunduran demokrasi secara global.
Sejak Nehru, India berkembang menjadi negara yang sangat demokratis, tetapi kemudian terkikis habis ketika Narendra Modi menjadi presiden. Meskipun, jika dilihat dari sisi pertumbuhan ekonomi dan perkembangan teknologi, India menjadi salah satu negara yang patut diperhitungkan. Filipina juga mengalami hal yang sama ketika Duterte berkuasa. Filipina yang telah menjadi negara demokratis sejak peristiwa People Power pada 1986, berbalik haluan ketika Duterte menjadi Presiden ke-16 Filipina.
Menurut Huntington, gelombang kemunduran demokrasi bisa saja dipengaruhi oleh kemunduran demokrasi di kawasan sekitarnya. Benang merah pernyataan Huntington ini perlu didalami ketika dilihat keterkaitannya dengan situasi politik Indonesia saat ini.
Salah satu pertanyaan yang perlu didalami oleh para ilmuwan politik global ialah mengapa para pemimpin populis (Jokowi, Narendra Modi, Erdogan, dll) yang lahir dari proses demokrasi, cenderung tidak mampu menjalankan pemerintahannya secara demokratis?
Indonesia masih bisa keluar dari kecenderungan demokrasi global dengan dua cara. Pertama, memperkuat civil society. Francis Fukuyama, seorang filsuf ilmuwan politik, mengatakan salah satu kelemahan proses demokrasi di Indonesia ialah rendahnya partisipasi politik civil society.
Sudah saatnya masyarakat sipil meninggalkan sikap apatis dalam politik dan mulai membangun daya kritis terhadap politik dinasti yang saat ini mulai dibangun oleh Jokowi.
Kedua, memilih pemimpin yang paham demokrasi, bukan pemimpin populis. Tugas ini menjadi tanggung jawab partai politik yang ada di Indonesia. Hal ini memang tidak untuk dijalankan di tengah budaya demokrasi yang mengutamakan elektabilitas, bukan kapasitas intelektual yang lahir dari proses pendidikan dan pengalaman politik.
Pemimpin yang memahami demokrasi adalah pemimpin yang tahu menggunakan sistem pemerintahan untuk kepentingan publik, dan bukan sebaliknya. Konstitusi telah memberikan kanal kepada partai politik untuk mencari pemimpin yang paham demokrasi Indonesia. Oleh: Marselinus H Saka Pengajar pada Akademi Bela Negara Partai NasDem (*)
Tinggalkan Balasan