DALAM gelaran Conference of the Parties (COP26) United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) yang berlangsung di Glasgow, United Kingdom, 31 Oktober-12 November 2021, World Meteorological Organization (WMO) mengungkap fakta tidak terbantahkan bahwa suhu bumi dari tahun 2015 hingga 2021 berada dalam tren menuju tujuh tahun dengan rekor terpanas dalam sejarah. Kenaikan permukaan laut global juga semakin cepat sejak tahun 2013 hingga mencapai titik tertinggi baru pada tahun 2021, disertai berlanjutnya pemanasan dan pengasaman laut. Suhu rata-rata global tahun 2021, berdasarkan data Januari hingga September, telah mencapai kenaikan sekitar 1,09 derajat celsius di atas rata-rata tahun 1850-1900. Adapun rata-rata kenaikan muka air laut global berada di level 2,1 mm per tahun antara 1993 dan 2002, lalu menjadi 4,4 mm per tahun antara 2013 dan 2021 atau meningkat dua kali lipat di antara periode tersebut.

Realitas ini sebagian besar disebabkan oleh hilangnya es di kutub yang dipercepat oleh melelehnya gletser dan lapisan es lautan. World Meteorological Organization (WMO) bahkan menyebut peristiwa cuaca ekstrem, termasuk gelombang panas yang intens kuat dan banjir yang menghancurkan, akan menjadi sebuah kenormalan baru yang menjadikan bumi semakin tidak ramah untuk ditinggali. Dan, manusia disebut sebagai biang rentetan fenomena akibat perubahan iklim ini.     Tahun terpanas Lantas, bagaimana dengan Indonesia? Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) mencatat, 2016 merupakan tahun terpanas dengan nilai anomali sebesar 0,8 derajat celsius sepanjang periode pengamatan 1981 hingga 2020. Tahun 2020 sendiri menempati urutan kedua tahun terpanas dengan nilai anomali sebesar 0,7 derajat celsius, lalu 2019 berada di peringkat ketiga dengan nilai anomali sebesar 0,6 derajat celsius. Bahkan, analisis proyeksi perubahan iklim oleh BMKG juga menunjukkan bahwa apabila tidak dilakukan mitigasi terhadap emisi gas rumah kaca, kenaikan suhu di Indonesia dapat mencapai 3 derajat celsius di akhir abad ini.

Sejalan dengan hasil studi oleh BMKG, kondisi anomali suhu itu pula yang mengakibatkan mencairnya salju abadi di Puncak Jaya, Papua. Dari awalnya luasan salju abadi sekitar 200 km persegi, kini hanya menyisakan 2 km persegi atau tinggal 1% saja. Bahkan, BMKG memprediksi, salju tersebut akan punah di sekitar tahun 2025/2026. Padahal, salju dan es abadi di Puncak Jaya merupakan keunikan yang dimiliki Indonesia, mengingat wilayah Nusantara beriklim tropis. Fenomena lainnya ialah kemunculan siklon tropis Seroja yang mengakibatkan bencana banjir bandang dan tanah longsor di Nusa Tenggara Timur (NTT) pada April 2021 lalu.

Fenomena siklon bisa dikatakan sangat jarang terjadi di wilayah tropis seperti Indonesia. Namun, selama 10 tahun terakhir siklon tropis semakin sering terjadi seiring dengan memanasnya kondisi laut di wilayah perairan Indonesia. Kondisi ini menunjukkan bahwa dampak perubahan iklim adalah benar-benar nyata, dan semakin berisiko mengancam keselamatan kehidupan manusia dan keberlanjutan lingkungan kita. Secara sederhana, COP-26 Glasgow digelar untuk memperbarui dan memperkuat komitmen serta target Perjanjian Paris. Alasannya, perjanjian yang ditandatangani 6 tahun silam itu dinilai tak mencapai target batas pemanasan global yang ditetapkan. Saat itu, kenaikan suhu bumi disepakati untuk dibatasi pada 1,5 derajat celsius pada tahun 2100 atau paling tinggi 2 derajat celsius. Namun, saat ini berdasarkan perhitungan, angkanya dapat mencapai 2,7 derajat celsius pada akhir abad ini. PBB menyebut situasi ini akan menyebabkan ‘bencana iklim’.

Indonesia sendiri berambisi untuk berkontribusi secara optimal dalam upaya penanganan iklim dunia. Hal itu sudah tercatat dalam Nationally Determined Contribution (NDC), Updated NDC Indonesia, maupun Dokumen Long-term Strategy on Low Carbon and Climate Resilience 2050 (LTS-LCCR 2050) sebagai mandat dari Paris Agreement/Perjanjian Paris. Komitmen ini juga telah diratifikasi menjadi UU Nomor 16 Tahun 2016 tentang Pengesahan Paris Agreement to The United Nations Framework Convention on Climate Change. Target Indonesia di dalam NDC ialah menurunkan emisi gas rumah kaca (GRK) sebesar 29% pada tahun 2030, atau 41% pada tahun yang sama apabila dengan bantuan internasional. Dalam NDC Indonesia, ada lima sektor utama yang telah dihitung bersama target penurunan emisinya, yaitu hutan dan lahan (17,20%), energi (11%), limbah (0,38%), industrial process and product use/IPPU (0,10%), dan pertanian (0,32%).

Baca Juga: Sebelum Belajar Tatap Muka, Sebaiknya Belajar dari Negara Tetangga Dulu

Kolaborasi antarnegara Perubahan iklim menjadi pekerjaan rumah masyarakat global, tanpa batas teritorial antarnegara (borderless). Karenanya, kolaborasi antarnegara menjadi sebuah keharusan. Kolaborasi dimaksudkan untuk menjembatani kesenjangan melalui penelitian dan pengembangan pendidikan, serta peningkatan layanan iklim yang berkelanjutan. Pasalnya, kesenjangan dalam teknologi dan literasi masyarakat antarnegara masih sangat lebar. Guna menutup kesenjangan global tersebut, WMO terus menggalakkan program Capacity Development bagi negara-negara berkembang maupun kurang berkembang.

Dalam hal ini, BMKG Indonesia dipercaya WMO untuk membantu memberikan training dan pendampingan bagi negara-negara di Asia Pasifik terkait dengan peningkatan kapasitas teknis demi menguatkan pemahaman serta menganalisis dan memprediksi cuaca untuk adaptasi dan mitigasi perubahan iklim. Namun, tidak sedikit masyarakat dunia yang tak acuh dengan dampak perubahan iklim akibat minimnya literasi mengenai perubahan iklim itu sendiri, termasuk di Indonesia. Alhasil, perubahan iklim yang kerap didengungkan hanya dianggap angin lalu atau sebatas kampanye, belum maksimal dalam aksi nyata. Keberadaan sistem peringatan dini yang dibangun pun menjadi kurang optimal, terutama akibat kendala kultural dalam menyikapi dan merespons peringatan dini secara tepat. Jika kolaborasi antarnegara tidak dilakukan, apa yang disebut WMO sebagai sebuah kenormalan baru tidak bisa terhindarkan. Televisi, koran, radio, dan media sosial akan lebih banyak dihiasi kabar dan informasi duka akibat bencana iklim, seperti banjir, siklon, tanah longsor, angin puting beliung, kebakaran hutan, bencana asap, kekeringan, dan sebagainya. Meski terhitung terlambat, masih ada kesempatan bagi kita penduduk Bumi untuk melakukan mitigasi perubahan iklim.

Mulai dari penataan ruang secara lestari, penghematan listrik dan air, pengelolaan sampah, pengurangan energi fosil dan menggantinya dengan kendaraan listrik atau memanfaatkan energi baru/terbarukan, mengurangi penggunaan plastik sekali pakai, penghijauan secara masif dengan menanam pohon dan restorasi mangrove, dan sebagainya.

Cara ini mungkin terdengar remeh-temeh. Namun, punya arti yang besar bagi kelangsungan planet dan makhluk di Bumi. Generasi muda juga harus turun tangan ikut berperan dengan melakukan upaya kreatif sebagai bagian dari mitigasi dan adaptasi perubahan iklim. Bukan tidak mungkin, aksi kreatif yang dilakukan justru menjadi potensi ekonomi yang memberi dampak positif lain. Akhirnya, kita semua, termasuk saya harus berikhtiar dalam mengendalikan perubahan iklim. Kita semua harus punya kesadaran yang sama bahwa perubahan iklim adalah sebuah kondisi darurat. Meskipun kontribusi yang diberikan hanya dalam porsi kecil, bila diakumulasi, maka akan berdampak besar bagi kelanjutan hidup seluruh makhluk di Bumi ini. Sepakat?( Dwikorita Karnawati, Kepala BMKG/Permanent Representative Indonesia di World Meteorological Organization (WMO))