DALAM Surat Edaran Evangelii Nuntiandi, Paus Paulus VI menyatakan, pada masa kini, para pelajar tidak lagi mendengarkan guru, akan tetapi lebih mendengarkan sungguh-sungguh seorang saksi. Seandainya mereka mendengarkan para pengajar atau guru, itu terjadi karena mereka adalah saksi-saksi (J Subagya, 2010). Konteks kata-kata Paus di atas, sebenarnya menunjuk pada pribadi seorang guru sebagai teladan. Di sini, peran guru diharapkan membantu para siswanya berkembang dalam tataran nilai. Nilai dimaksud ialah sesuatu yang dikejar, dan dicari untuk dihidupi dalam lembaga pendidikan, dalam diri anak didik untuk hidup di tengah masyarakat. Dalam konteks sekolah, kepala sekolah dan guru hendaknya menjadi teladan yang diharapkan mampu memberi inspirasi bagi rekan sejawat, dan para peserta didik. Kepala sekolah dan guru, tidak sekadar menjalankan tugasnya secara mekanistik memenuhi tuntutan birokrasi pendidikan. Lebih dari itu mereka hadir memberi inspirasi, membuka ruang inovasi dan memfasilitasi tumbuhnya kreativitas dan keterampilan dalam diri rekan guru juga anak didik, sebagai komunitas pembelajar berpiak pada nilai-nilai. Nilai kesaksian Literasi menjadi salah satu nilai kesaksian. Untuk maju bersama, semua pihak harus bekerja bersama tanpa berpikir negatif terhadap pihak lain. Jika ingin maju bersama, perlu belajar dari kesaksian sesama para pembelajar yang telah melanglang buana di jagat literasi, untuk meneguk nutrisi dari gerakan tersebut, dan menyaksikannya kepada semakin banyak kalangan pendidik, dan anak didik untuk membuka diri belajar bersama.

Menutup diri terhadap perubahan yang terus berkembang selaras zaman, secara tak langsung menutup diri terhadap upaya peningkatan kompetensi demi membangun peradaban manusia-manusai muda pada level yang semakin maju. Menutup diri, juga merupakan upaya mengurung diri dalam kegamangan memasuki era baru dengan tingkat kompleksitas yang semakin tinggi. Maka, sikap yang dibutuhkan adalah bertanya, mencari tahu, mengeksplorasi, dan siap berkarya bersama. Membuka diri terhadap yang lain, dan siap untuk belajar dan berkarya bersama-sama adalah sebuah bentuk kesaksian kepada dunia. Literasi menjadi sebuah jalan untuk memberi kesaksian. Berbagai alasan yang kita kemukakan, sebagai suatu sikap mengelak atau menolak untuk ikut ambil bagian dalam program literasi manapun. Bahkan, secara tidak langsung memandang kehadiran gerakan literasi sebagai sesuatu gerakan yang asing, membuat kita tidak nyaman, tidak siap.  Fatalnya, karena ketidaksiapan kita secara personal, lantas kita menilai segenap civitas akademika tidak kompeten. Hal ini menunjukkan mentalitas kita yang tidak mau maju, tidak mau belajar dari orang lain.

Dari aspek kepemimpinan sekolah, manajemen kepemim­pinan mesti direvolusi, dan direstorasi demi perubahan secara menyeluruh. Sebuah tantangan besar bagi kemajuan literasi, dan pendidikan di daerah adalah, ketika kenyamanan diri menjadi sahabat karib para kepala sekolah. Sehingga, mengabaikan upaya penguatan karakter dan pengembangan literasi di tingkat sekolah secara berkelanjutan. Jika sekolah seharusnya berlangganan koran, majalah, buletin bahkan jurnal tetapi alasan yang dikemukakan oleh kepala sekolah hanya dengan konsep berpikir negatif, bahwa para guru atau siswa malas membaca, sebenarnya kepemimpinan visioner dipertanyakan. Mari, kita jadikan medium literasi memberi kesaksian, bahwa setiap pemimpin lembaga pendidikan benar-benar hadir. Pertama-tama, bukan menjadi seorang manajer atau direktur sebuah perusahaan, melainkan seorang saksi yang bisa menjadi teladan para guru dan siswa yang dipimpinnya. Kepala sekolah adalah pucuk pimpinan di sekolah. Kepemimpinannya tak sekadar memenuhi masa tugas pada kurun waktu tertentu dari bupati, wali kota dan gubernur. Ia lebih dari itu, yakni melayani kebutuhan di sekolah untuk boleh memberi kesaksian, bahwa yang bersangkutan dapat diteladani dalam rangka memajukan dunia pendidikan. Bukan sebaliknya, dikeluhkan karena gaya kepemimpinan yang eksklusif-represif, kurang menghadirkan pelayanan bagi pengembangan seluruh program di lembaga pendidikan yang dipimpin. Tentu para guru tidak banyak bicara, apalagi mengajukan protes. Di sini, akan terjadi penurunan kualitas sekolah karena kepala sekolah memimpin dengan gaya dan kemauannya tanpa mempertimbangkan unsur di luar dirinya.  Gerakan menulis Gerakan Sekolah Menulis Buku Nasional (GSMB Nasional), hadir untuk memfasilitasi kepala sekolah, guru, dan siswa, untuk menghidupkan kembali imajinasi, yang di masa SD dulu terus dihidupi lewat aktivitas mengarang dan berdeklamasi di kelas.

Dalam Sekolah Bukan Pasar karya St Kartono (2009), anak-anak kita sekarang kehilangan imajinasi. Pikiran anak-anak telah diracuni oleh game yang merusak mental dan menyuntikkan semangat dan gaya hidup instan mereka. Anak tidak bersusah-susah dalam berpikir. Tinggal klik saja, gim sudah bisa dimainkan hingga penentuan siapa menang dan kalah. Berhadapan dengan situasi di atas, tentu sekolah melalui kepala sekolah dan para wakil mesti mendesain, dan memikirkan kegiatan kreatif untuk mengembangkan dan merevitalisasi imajinasi para guru dan siswa. Salah satu bagian penting adalah, membaca dan menulis karya sastra untuk menghidupkan kembali imajinasi, yang dibungkam oleh kehadiran teknologi modern yang seperti Facebook, WhatsApp, Twitter, Instagram, dan lain-lain. Kenyataan lain, dalam bahasa Kartono, masyarakat umum, juga guru dan pelajar kita saat ini, telah menjadi budak televisi dan android yang paling patuh.

Budak yang selalu setia mendengarkan apa yang diperintahkan game atau apa yang dikatakan oleh film-film yang ditayangkan, dibanding berpaling kepada isi bacaan, literasi yang mengasyikkan.  Budaya menonton, atau bermain gim di kalangan remaja akan berdampak pada kematian kreativitas berpikir,  dan mampetnya imanjinasi para pelajar. Hal ini, akan mendatangkan ancaman serius bagi anak-anak dan remaja yang (meminjam istilah Kartono) ancaman kematian daya cipta. Padahal, dalam diri remaja perlu dikembangkan apa yang oleh Ki Hadjar Dewantara disebut sebagai cipta, rasa dan karsa atau olah hati (etika), olah pikir (literasi), olah rasa (estetika) dan olah tubuh (kinestetik).

Baca Juga: Kenapa Bisa Terjadinya Penyelewengan Dana Bos ?

Kita percaya bahwa jika semua ini dimaksimalkan, maka kita akan mendapatkan anak-anak kita yang kaya dengan imajinasi, dan memiliki daya kritis terhadap seluruh kehidupan yang dihadapinya. Filsuf Jean Paul Sartre mengemukakan, batasan imajinasi sebagai kemampuan memikirkan apa yang tidak ada. Karena itu bagi Sartre, menulis merupakan anak dari imajinasi yang terinkarnasi ke dalam huruf-huruf. Akan tetapi, sebelum menjadikan huruf-huruf dalam sebuah kalimat aktif atau pasif, seorang anak perlu berkomunikasi dengan dirinya, membiarkan berkata-kata penuh daya, sehingga hasil dialog internal itu dihantar keluar dalam bentuk tulisan (Fredy Sebho, 2016). Dengan demikian, menulis merupakan bagian dari cara membahasakan realitas meski tak bisa merangkum semuanya hanya dalam satu tulisan yang utuh sempurna (2016:2-3). Maka, tugas pimpinan sekolah adalah menyambut setiap program literasi, dengan membuka ruang bagi para guru dan siswa-siswi mengaktualisasikan diri dalam berbagai karya sastra entah pantun, puisi, cerpen, novel, esai dan yang lainnya.

Sekolah melalui kepala sekolah, mesti membuka ruang kepenulisan seluas-luasnya, untuk mengembangkan imajinasi dan daya kritis guru dan siswa agar dapat menjadi kesaksian hidup bagi komunitas pendidikan terkait, dan juga lembaga pendidikan lain di luarnya, untuk dijadikan nilai dan pedoman di lembaga pendidikannya. Oleh karena itu, peran guru Bahasa Indonesia menjadi sangat urgen dalam pembelajaran Bahasa Indonesia di kelas-kelas. Hal ini, juga mesti ditunjang semua guru dalam mendampingi para siswa. Maka, menulis adalah salah satu alur yang tepat membentuk bahasa seseorang. Melalui menulis, seseorang akan menyadari akan baku tidaknya kata atau kalimat yang ditulisnya, dan mendorong sang penulis untuk bertanya. Sekaligus, memperbaiki apa yang telah ditulisnya, agar menjadi bahasa yang ringan, enak dan mudah dimengerti dan dicerna pembaca. Akhirnya, yang perlu dilakukan para kepala sekolah yang masih bersikeras, bahkan tidak mau mati-matian mengembangkan literasi secara simultan dan berkesinambungan di sekolahnya adalah ‘permohonan maaf,’ sembari memikirkan strategi baru, mengelola lembaga dan pola pengembangan literasi yang dapat menjadi ikon, sekaligus, kesaksian yang membawa dampak positif bagi warga sekolah dan dan masyarakat. Hal ini, perlu dilakukan oleh para pimpinan di sekolah-sekolah, karena, ada banyak guru dan siswa yang secara diam-diam berkarya, tetapi kurang diberi apresiasi dan minim disediakan ruang kreasi. Jika hal itu tidak disadari dan diabaikan, secara tidak langsung sekolah tengah menindas para siswa dan guru, dalam upaya mengembangkan kemampuannya. Mari, kita berefleksi bersama menjadikan literasi sebagai sebuah jalan kesaksian memajukan literasi Indonesia.

Salam literasi dan selamat menyambut Hari Guru Nasional 2021.(Albertus Muda, Guru honorer SMAN Lewoleba, Sosialisator Program Literasi Nasional 2021 Wilayah Lembata)