Keinginan Presiden Joko Widodo untuk mempercepat proses hilirisasi industri di tanah air akan menemui hambatan baru. Amerika Serikat telah mengeluarkan dua kebijakan industri penting, yakni Inflation Reduction Act (IRA) dan CHIPS and Science Act (CSA).

Dua kebijakan tersebut berpotensi mengembalikan proteksionisme industri dan menurunkan daya saing dari industri negara berkembang. Indonesia perlu mewaspadainya.

Dua kebijakan tersebut merupakan respons AS terhadap dua tantangan utama bagi perekonomiannya dalam beberapa tahun terakhir, yakni meningkatnya ketegangan geopolitik dengan China dan inflasi tinggi pascapandemi Covid-19.

Ketegangan geopolitik dengan China sebenarnya bukan persoalan baru. Sejak akhir masa jabatan Barack Obama, AS mulai menggeser pusat perhatiannya dari kawasan Timur Tengah ke Asia-Pasifik.

Naiknya Donald Trump mengekskalasi ketegangan ini melalui jargon Perang Dagang dengan China. Ketika Joe Biden menjadi presiden, meski di permukaan tampak menghadirkan perubahan, kebijakan ekonominya tetap melanjutkan Trump dalam menjaga jarak dengan China.

Baca Juga: Peningkatan Pinjaman Luar Negeri Untuk Belanja Pesawat Tempur

Sementara itu, tahun lalu AS dihadapkan pada inflasi tinggi pascapandemi Covid-19. Berbagai program stimulus ekonomi ketika pandemi rupanya menimbulkan overheat dalam perekonomian yang berdampak pada inflasi tertinggi dalam beberapa dekade.

Pemerintah AS bereaksi dengan mengeluarkan Inflation Reduction Act. Sekilas, IRA memang merupakan bentuk penerjemahan atas strategi mengurangi inflasi dan upaya mendorong industri hijau di AS.

Begitu pula dengan CSA yang di permukaan tampak sebagai bentuk keberpihakan terhadap industri dalam negeri AS. Akan tetapi, jika ditelisik lebih mendalam, berbagai poin dalam kedua kebijakan tersebut menyiratkan kembalinya preferensi kebijakan proteksionisme.

Dari sini, banyak pakar menilai bahwa pertimbangan geopolitik jauh lebih besar ketimbang ekonomi baik pada IRA maupun CSA.

Kekhawatiran bagi AS, Konsekuensi bagi Dunia

Meskipun narasi kebangkitan ekonomi dan teknologi China telah sering kita dengar, sebenarnya AS tetap menjadi negara paling kuat dalam penguasaan ekonomi maupun teknologi. Akselerasi China memang besar, namun akumulasi pengetahuan AS yang telah berlangsung jauh lebih lama membuatnya dalam kemapanan yang sulit dibantah.

Persoalan utama bagi bukan pada penguasaan teknologi ataupun kekuatan ekonomi, melainkan ada pada produksi. Banyak perusahaan AS yang melakukan alihdaya produksinya di negara lain dengan biaya produksi lebih rendah.

Kecenderungan ini telah dimulai sejak empat dekade lalu dan terus berlanjut hingga kini. Perakitan perangkat keras Apple, misalnya, sebagian besar dilakukan di China.

Di tengah meningkatnya ketegangan geopolitik dunia, produksi teknologi penting di negara lain tentu tidak dianggap aman. Bahkan, produksi chip tingkat tinggi yang sebagian besar dilakukan di negara sahabat AS seperti Taiwan dan Korea Selatan, juga tidak dianggap kurang aman. Ancaman invasi Korea Selatan oleh Korea Utara dan keinginan pengambilalihan Taiwan oleh China daratan selalu membayang-bayangi AS.

Atas alasan inilah, AS ingin mengembalikan kembali produksi manufaktur ke dalam negeri. Sejak kepresidenan Trump, AS sudah memulai kampanye untuk membeli barang hasil produksi AS. Pembangunan pabrik manufaktur pun diberi insentif, dari pajak hingga faktor produksi.

Kebijakan IRA dan CSA di kepresidenan Biden semakin menguatkan ambisi ini. AS berupaya memperkuat keunggulan kompetitifnya tidak hanya pada penguasaan ilmu pengetahuan atas teknologi, tetapi juga pada produksi barang-barang berteknologi tinggi dan hijau. Bagi konsumen, pemindahan produksi ke AS ini sebenarnya dianggap tidak terlalu menguntungkan karena akan meningkatkan harga akibat biaya produksi yang lebih tinggi di AS.

Signifikansi AS dalam peta geopolitik dan geoekonomi dunia membuat dampak dari kebijakan ini menjadi global. Bagi negara berkembang, mereka harus bersaing dengan AS dalam kebijakan industrinya, sebuah persaingan yang teramat timpang.

Dampak serupa juga dirasakan di negara maju. Banyak negara Eropa yang memprotes kebijakan AS ini, mengingat selama ini Eropa merupakan sentra industri hijau utama dunia. Kebijakan IRA dan CSA akan memindahkan keunggulan yang selama ini dimiliki oleh Eropa ke AS.

Indonesia harus Waspada

Perang dagang antara AS-China ini pada akhirnya mengarah pada perang teknologi tinggi terkait komputer antara keduanya (decoupling). Bagi negara yang tidak menguasai produksi teknologi ini, decoupling antara AS-China hanya memberi dua opsi: memihak salah satunya atau mengambil keduanya.

Memihak salah satu negara akan berkonsekuensi pada perenggangan hubungan politik sementara mengambil keduanya akan berkonsekuensi pada meningkatnya inefiseinsi biaya akibat adaptasi dua sistem teknologi yang berbeda.

Beberapa negara di Eropa, yang secara ekonomi sebenarnya tergolong maju namun tidak menguasai produksi teknologi ini, memilih untuk mengadaptasi secara selektif. Teknologi yang dipakai dalam sistem pemerintah dan militer hanya mengadopsi teknologi AS, sementara untuk masyarakat umum, baik produksi AS maupun China sama-sama diperjualbelikan.

Di masa industri berbasis internet (Internet of Things -IoT) dan industri 4.0 ini, teknologi tinggi di bidang komputer sudah menjadi faktor produksi yang krusial. Tidak bisa dibayangkan perusahaan start-up dapat berjalan tanpa chip penyimpanan berteknologi nano atau teknologi kecerdasan buatan.

Masalahnya, pengembangan industri 4.0 di Indonesia masih berkutat pada konsumsi ketimbang produksi. Artinya, kita masih bergantung pada faktor produksi dari luar negeri. Kebijakan proteksionisme AS dan perang teknologinya dengan China akan meningkatkan biaya faktor produksi.

Ketika biaya untuk faktor produksi meningkat, harga barang yang diproduksi juga akan meningkat. Konsumsi yang selama ini menjadi penopang pertumbuhan ekonomi, akan beralih menjadi liabilitas.

Kebijakan pemerintah untuk memasuki industri faktor produksi pun masih berkutat pada industri ekstraktif bernilai tambah rendah dengan biaya lingkungan tinggi. Betapapun pentingnya nikel dalam produksi baterai untuk mobil listrik, misalnya, tetap nilai tambahnya jauh lebih rendah ketimbang perakitan apalagi produksi mesinnya. Dalam kebijakan IRA pun, nikel dari Indonesia tidak termasuk bahan baku yang mendapat insentif.

Apalagi dalam beberapa tahun terakhir teknologi baterai yang lebih hemat energi dan ramah lingkungan tanpa menggunakan nikel sudah mulai dikembangkan. Jika teknologi tersebut telah diproduksi massal dan mampu menggantikan nikel sebagai bahan baku, bukan tidak mungkin ekstraksi nikel akan ditinggalkan. Sementara yang tersisa tinggallah lubang-lubang tambang yang menganga.

Menggantungkan diri pada industri ekstraktif, sebesar apapun kekayaan negara kita, tidak akan membawa Indonesia menjadi negara maju dalam waktu dekat. Mengharapkan perkembangan industri jasa informal bernilai tambah minim yang abai terhadap kesejahteraan pekerja juga pilihan yang keliru.

Diperlukan kebijakan industri berbasis manufaktur secara massif untuk mengakselerasi pertumbuhan ekonomi dan menjadikannya pondasi untuk menaiki tangga rantai nilai global. Dengan begitu, meningkatkan pendapatan per kapita, yang menjadi kunci naik kelas menjadi negara maju, bisa kita capai. Oleh: Farhan Abdul Majiid Mahasiswa pascasarjana di School of Transnational Governance, European University Institute, Italia.