TANAH merupakan sarana yang penting dalam pembangunan dan bagi kehidupan manusia, baik dari aspek ekonomi, sosial budaya, maupun hukum. Semakin meningkat pembangunan, maka kebutuhan akan tanah semakin meningkat, sedangkan persediaan tanah sangat terbatas. Keadaan ini mengakibatkan harga tanah semakin tinggi. Tanah pun kian susah didapatkan dan kejahatan di bidang pertanahan meningkat. Pentingnya tanah sering kali mengakibatkan konflik di masyarakat dengan ditandai terjadinya konflik pertanahan, yakni perselisihan pertanahan di antara orang perseorangan, kelompok, golongan, organisasi, badan hukum, atau lembaga yang telah berdampak luas secara sosiopolitis. Selain itu, menimbulkan perkara pertanahan, yaitu perselisihan pertanahan yang penyelesaiannya dilaksanakan oleh lembaga peradilan, atau putusan lembaga peradilan, dan bahkan tidak jarang konflik pertanahan menimbulkan tindak kekerasan.

Berbagai permasalahan dan isu konflik pertanahan Indonesia yang sangat penting disebabkan banyak sekali pihak yang sering yang melakukan penyelewangan tanah dengan istilah porpulernya ‘mafia tanah’. Terminologi Dengan merujuk pada kelompok rahasia tertentu yang melakukantindak kejahatan terorganisasi, kegiatan mereka pun sulit dilacak secara hukum. Atau persekongkolan, perselingkuhan atau orang jahat di antara para penegak hukum dengan pencari keadilan. Pengertian lain menunjuk pada adanya ‘suasana’ yang sedemikian rupa sehingga perilaku pelayanan, kebijaksanaan, maupun keputusan tertentu akan terlihat secara kasatmata sebagai suatu yang berjalan sesuai dengan hukum. Padahal, sebetulnya tidak karena mereka bisa berlindung di balik penegakan dan pelayanan hukum. Saat ini, pemerintah telah membentuk sejumlah tim satgas pemberantasan mafia tanah sebagai hukum kasus muara terminologi kejahatan.

Kasus mafia tanah dari 2018 hingga 2021 marak, berjumlah 185 (MI, 8 Maret 2021). Modus yang dilakukan mafia tanah ialah dengan cara pemufakatan jahat sehingga menimbulkan sengketa, konflik, dan perkara pertanahan, antara lain kepala desa membuat salinan girik, membuat surat keterangan tidak sengketa, membuat surat keterangan penguasaan fisik. Atau, membuat surat keterangan tanah lebih dari satu kepada beberapa pihak untuk bidang tanah yang sama. Pemalsuan dokumen terkait tanah, seperti kartu eigendom, kikitir/girik, surat keterangan tanah. Juga, memprovokasi masyarakat petani/peng­garap untuk mengokupasi atau mengusahakan tanah secara illegal di atas perkebunan HGU, baik yang akan berakhir maupun yang masih berlaku. Di samping itu, mengubah/menggeser/meng­hilangkan patok tanda batas tanah, atau mengajukan permohonan sertifikat pengganti karena hilang padahal sertifikat tidak hilang dan masih dipegang oleh pemiliknya sehingga beredar dua sertifi kat di atas bidang tanah yang sama. Selanjutnya, menggunakan pengadilan untuk melegalkan kepemilikan atas tanah. Caranya, pertama melakukan gugatan di pengadilan dengan menggunakan alas hak palsu sehingga data palsu itu menjadi legal dengan adanya putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap. Kedua, melakukan gugatan rekayasa di pengadilan untuk mendapatkan hak atas tanah, padahal baik penggugat maupun tergugat merupakan bagian dari kelompok mafia tersebut, dan pemilik tanah yang sebenarnya tidak dilibatkan sebagai pihak. Ketiga, membeli tanah-tanah yang sedang beperkara di pengadilan dan memberikan suap kepada penegak hukum sehingga putusan berpihak kepada kelompoknya. Keempat, melakukan gugatan tiada akhir dan menimbulkan banyaknya putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap, yang isi putusannya bertentangan satu sama lain, sehingga putusan tersebut tidak dapat dijalankan/dieksekusi dan tanah menjadi tidak dapat dimanfaatkan.

Tindakan signifikan Pemerintah telah membentuk sejumlah satgas pemberantas mafia tanah untuk mengatasi mafia tanah. Namun, mengapa para mafia tanah yang mempermainkan tanah masih belum ditemukan? Salah satu penyebabnya ialah bahwa mafia tanah dapat beraksi karena tidak akuratnya data-data kepemilikan tanah. Ini dilakukan dengan persengkokolan jahat sehingga menim­bulkan sengketa serta perkara pertanahan di masyarakat dan pemerintah. Kelemahan ini terjadi karena adanya celah pendataan tanah-tanah di Indonesia yang belum akurat sehingga terjadi tumpang-tindih kepemilikan tanah dan sebagainya. Dengan demikian, pemerintah harus mengadakan pembenahan serta pemetaan tanah-tanah di seluruh Indonesia secara valid. Oleh karena itu, perlu tindakan dan upaya yang signifikan terkait penyem­purnaan peraturannya, juga memperbaiki hal-hal di luar peraturan. Penyempurnaan peraturan perlu segera dilakukan, dalam hal ini segera melaksa­nakan perintah Tap MPR No IX/MPR/2001 sebagai­mana diatur dalam Pasal 5 Tap MPR tersebut, yakni menyempurnakan kajian ulang terhadap berbagai peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan agraria dalam rangka sinkronisasi kebijakan antarsektor. Selain itu, melakukan harmonisasi hukum di bidang agraria dengan bertitik tolak pada UUPA sebagai ketentuan dasar penyelenggaraan keagrariaan Indonesia.

Strategi yang jitu Upaya yang harus dilakukan negara dalam penegakan hukum terhadap kasus praktik mafia tanah ialah bahwa pemerintah sudah terlihat dari political will memberikan keseriusan dalam menegakkan hukum terhadap mafia tanah. Oleh karena itu, tidak cukup saja political will karena begitu banyak masalah yang dihadapi oleh pemerintah, dan sangat kompleks. Maka, yang dibutuhkan adalah strategi yang jitu, yaitu dengan cara aktifkan semua lembaga yang berkaitan dengan masalah-masalah pertanahan dengan seefektif mungkin serta keseriusan dalam pene­gakan hukum melalui perda untuk dilaksanakan. Oleh sebab itu, aparat hukum harus bertindak cepat dengan konsep penanggulangan secara terpadu dari semua elemen yang terkait, yaitu keterpaduan dalam penegakan hukum. Perlu dilakukan edukasi bagi masyarakat agar melek hukum tanah dengan prinsip kehati-hatian dan penghormatan kepada pemegang hak tanah.( Aartje Tehupeiory, Dosen dan Ketua Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat Universitas Kristen Indonesia)

Baca Juga: Buah dari Kesabaran Menangani Covid-19