Platform media sosial apapun sekarang ini pasti berisi kegiatan para tokoh nasional yang dijagokan menjadi calon presiden pada pemilu yang akan datang. Dari kegiatan silaturahmi, olah raga, diskusi dan lain sebagainya.

Atmosfer pemilu juga sudah dirasakan di lingkungan terdekat, RT dan RW. Grup aplikasi percakapan WhatsApp yang ada di lingkungan sudah mulai menyebar informasi mengenai capres andalannya. Tensi politik masih belum begitu panas, yang lain kalau pun menanggapi cukup dengan emoticon atau pertanyaan balik mengenai prestasi capres andalannya.

Bisa jadi, dalam satu-dua bulan ke depan, tensi politik akan kian tinggi dan panas. Jika selama ini baru sekadar pertanyaan, maka saat sudah panas akan ada debat yang berujung pada saling keluar grup. Hubungan sosial pun kian renggang dan tidak bagus.

Bagusnya, masjid di lingkungan saya jauh-jauh hari sudah wanti-wanti tidak ada pembicaraan politik di lingkungan masjid. Masjid hanya digunakan untuk ibadah dan kegiatan sosial lainnya.

Setiap orang bebas memilih capres yang disenanginya, tapi jamaah yang lain juga punya pilihan sendiri. Semuanya boleh salat dan ibadah.

Baca Juga: Cerewet di Media Sosial tetapi Malas Membaca: Kondisi Literasi yang Tidak Baik-Baik Saja

Saya sepakat dengan keputusan tersebut, selain sebagian kita belum dewasa dalam menyikapi perbedaan, juga nuansa politik identitas sangat kental. Dan yang tak kalah penting, masjid atau institusi agama tidak menggantikan institusi sosial.

Kita punya pengalaman yang tidak begitu manis terkait dengan pemilihan pemimpin yang menggunakan politik identitas. Dalam politik ini, strategi yang digunakan adalah membesarkan dan menguatkan identitas diri sendiri, namun sayangnya pada saat bersamaan disertai dengan menjelekkan identitas orang lain.

Membanggakan diri sendiri boleh saja, tidak ada yang melarang, tetapi harus disertai kesadaran bahwa orang lain juga memiliki kebanggaan yang serupa. Namun jika hal-hal seperti ini yang diperkuat dalam ikatan sosial, maka sangat rentan terhadap gesekan antar identitas.

Dana untuk Kampanye

Untuk pemilihan calon presiden tentu membutuhkan dana yang tidak sedikit. Tidak ada angka yang pasti berapa kebutuhan dana kampanye setiap capres dan cawapres.

Namun, persoalannya bukan terletak pada dana kampanye yang besar, melainkan penggunaan dana besar kampanye yang menurut hemat saya, kurang efektif. Saat pemilu, baik legislatif maupun presiden, adalah saat “banjir” dana.

Untuk memenangkan suatu kompetisi pemilihan legislatif, setiap calon menyediakan dana yang tidak sedikit. Satu calon bisa menghabiskan dana sampai miliaran untuk memenangkan kontestasi.

Pada tahun 2019, pasangan Jokowi dan Ma’ruf Amin menyiapkan dana sampai Rp 606,7 miliar dan pasangan Prabowo-Sandiaga mengalokasikan Rp 213, 2 miliar seperti yang dilaporkan pada tim penyelenggara (https://www.cnbcindonesia.com/news/20190503085535-4-70265/wow-dana-kampanye-jokowi-rp-606-m-prabowo-rp-213-m). Alokasi untuk alat peraga bisa menghabiskan Rp 8 miliar, angka yang lumayan tinggi.

Pemilihan calon presiden tahun 2024, walau pun belum secara resmi mendaftar, setidaknya ada tiga capres yang muncul. Mereka adalah Ganjar Pranowo, Prabowo Subianto, dan Anies Baswedan.

Gambar, foto, maupun berbagai konten kampanye terkait ketiganya sudah memenuhi media sosial kita. Belum ada data resmi yang dirilis terkait penggunaan dana yang telah dikeluarkan oleh masing-masing calon kandidat, tetapi bisa perkiraan sangat besar.

Membiayai alat peraga kampanye seperti baliho, spanduk, dan pamflet. Belum lagi untuk membiayai konten-konten dan podcast, hingga biaya safari ketemu dengan rakyat maupun tokoh masyarakat.

Capres dan Isu Sains

Selama ini, dari tiga kandidat yang muncul belum ada yang secara spesifik bicara mengenai peningkatan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam pengenalan ke publik. Sains tampaknya menjadi isu yang kurang begitu seksi untuk dibicarakan. Para kandidat lebih banyak bicara mengenai infrastruktur, kesejahteraan rakyat atau isu-isu populis lainnya.

Padahal isu sains pada satu sisi juga sangat penting sebagai gerak dan harkat martabat suatu bangsa. Negara-negara yang kita kategorikan sebagai negara maju memiliki iklim dan dana riset yang besar. Bahkan, tidak jarang ilmuwan dan peneliti Indonesia mendapatkan dana dari luar yang tentu saja temuan penelitian pun akan dimanfaatkan oleh lembaga pemberi dana.

Saya hanya bisa membayangkan bahwa biaya yang sangat besar untuk membuat alat peraga kampanye, jika dialokasikan untuk suatu riset yang sungguh-sungguh maka mungkin akan menemukan pemikiran yang bagus, terobosan dalam sains, dan publikasi internasional yang dapat “mengangkat” Indonesia.

Jadi, setiap calon legislatif, calon presiden, calon gubernur atau bupati, melalui tim suksesnya mengalokasikan sekian persen dari dana kampanye untuk pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Dengan dana tersebut, setiap calon bisa mengklaim suatu terobosan penelitian dan publikasi internasional adalah karya nyata dari dukungan calon terhadap iklim pengetahuan yang bagus.

Dengan demikian, iklim kontestasi pemilu menjadi lebih sehat, tidak lagi ditaburi berbagai hoax dan kampanye negatif lainnya. Oleh: Mohammad Fathi Royyani Staf peneliti di LIPI (sekarang BRIN) (*)