KEHADIRAN dokter asing di suatu negara ialah hal yang lazim terjadi di era globalisasi ini. Di negara maju seperti Amerika Serikat, Jerman, Inggris, Prancis, Australia, dan beberapa negara lainnya tidak sedikit dokter warga negara asing yang bekerja sebagai sesuai dengan keahlian masing-masing.

Pada umumnya, mereka berasal dari negara berkembang (developing country) dengan keahlian/spesialisasi tertentu yang memang diperlukan di negara tujuan, dengan harapan memperoleh penghargaan dan kesejahteraan yang lebih baik. Namun, bisa juga terjadi perpindahan dokter antarnegara maju atas kebutuhan. Ada seorang dokter ahli bedah jantung anak di Australia yang saya kenal berasal dari Perancis . Ia diterima karena ilmu dan keterampilannya serta kualifikasinya sangat diperlukan di Australia.

Di tingkat ASEAN, dalam kesepakatan di era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) ada kesepakatan yang dikenal dengan mutual recognition arrangement (MRA) tentang mobilisasi dokter antarnegara ASEAN yang meliputi beberapa bidang, antara lain praktik terbatas (limited practice) dan pendidikan, serta pelatihan (education and training).

Kekurangan dokter

Isu kekurangan dokter, termasuk dokter spesialis dan subspesialis, akhir-akhir ini mencuat ramai di ruang publik setelah ada pernyataan beberapa pihak, termasuk dari Kementerian Kesehatan. Padahal, masalah kekurangan dokter di negeri ini telah terjadi puluhan tahun. Anehnya, walaupun ada 12 ribu-13 ribu dokter yang lulus setiap tahun, masih ada sekitar 600 puskesmas yang tidak ada tenaga dokter. Ada rumah sakit (RS) di daerah yang tidak mempunyai beberapa dokter spesialis yang harusnya ada. Kekurangan dokter menjadi ratapan yang tak kunjung teratasi. Lantas siapa sebenarnya yang salah? Apakah regulasi (undang-undang) sehingga perlu UU Kesehatan baru dengan metode omnibus, para dokter, organisasi profesi, ataukah para pelaksana di lapangan?

Baca Juga: Gambaran Kemahiran Berbahasa Indonesia di Provinsi Maluku

Target untuk mencapai rasio dokter terhadap penduduk 1:1000 sebenarnya tidak begitu tepat untuk negeri ini. Penghitungan kebutuhan dokter seyogianya mendasarkan pada penyebaran penduduk yang tidak sama antarprovinsi dan kabupaten/kota dan kondisi geografis sebagai negara kepulauan.

Di beberapa daerah di Jawa dan Sumatra, mungkin jumlah dokter dan dokter spesialis sudah cukup. Namun, tidak demikian di daerah Indonesia bagian timur dan tengah. Kalau kekurangan beras, kita dengan mudah impor beras karena kalau tidak, akan banyak rakyat yang kekurangan makan dan terancam kelaparan. Namun, kalau kekurangan dokter, tidak harus segera impor dokter.

Melakukan upaya dan strategi memeratakan penyebaran dokter yang selama ini terjadi maladistribusi jauh lebih penting, ketimbang ‘membuka keran’ untuk dokter asing ataupun investasi RS modal asing, yang pada akhirnya hanya akan dinikmati segelintir orang dari 275 juta penduduk negeri ini. Perbaikan sistem pendidikan dokter dan koordinasi dengan pemerintah daerah dalam hal penempatan dokter mutlak diperlukan.

Dokter asing dipermudah masuk

Meskipun masuknya dokter asing ke Indonesia merupakan keniscayaan, sulit berharap dokter asing dan investasi RS dengan modal asing akan mempercepat proses transformasi kesehatan untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat. Apalagi, bila diharapkan, itu akan menarik orang-orang yang biasa berobat keluar negeri untuk beralih berobat di dalam negeri, dengan harapan mencegah mengalirnya devisa triliunan rupiah. Belum tentu.

Diperkirakan, RS dengan investasi asing beserta dokter asing yang akan datang nanti hanya akan mengurangi tidak lebih dari 10%-15% dari 2 juta orang yang biasa berobat keluar. Alasannya, di luar negeri khususnya di beberapa negara jiran biayanya lebih murah dan sistem pelayanan lebih baik.

Dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) Kesehatan (omnibus) yang sedang digarap pemerintah dan DPR, terlihat jelas memang terkandung maksud untuk memberikan ‘karpet merah’ dan membuka ‘keran’ bagi dokter asing yang akan bekerja di Indonesia. Pada Pasal 235, dokter spesialis/subspesialis WNA yang akan praktik cukup dengan syarat telah berpraktik paling sedikit selama lima tahun dan ahli dalam suatu bidang unggulan tertentu yang dibuktikan dengan sertifikat kompetensi.

Selanjutnya, hanya dilakukan penilaian portofolio, tanpa harus mengikuti adaptasi seperti yang diatur dalam Peraturan Konsil (Perkonsil) No 14 Tahun 2013 tentang evaluasi kompetensi dokter lulusan luar negeri WNA. Selain itu, tidak ada aturan menguasai bahasa Indonesia yang sangat penting dalam komunikasi antara dokter dan pasien.

Semua negara di dunia mempunyai mekanisme proteksi melalui regulasi dan persyaratan ketat bagi dokter atau tenaga kesehatan asing untuk melindungi keselamatan masyarakat. Bukan sebaliknya, malah mempermudah. Di Amerika Serikat, dokter asing yang masuk ke sana harus mengikuti ujian khusus dan tentu tidak mudah. Kemudahan bagi dokter asing yang akan bekerja di RS yang di kawasan ekonomi khusus (KEK) di Sanur, Bali, seperti yang ada dalam Peraturan Menteri Kesehatan RI No 1 Tahun 2023 tentang Penyelenggaraan Kegiatan Usaha Rumah Sakit di Kawasan Ekonomi Khusus. Dokter spesialis/subspesialis lulusan luar negeri baik WNA maupun WNI tidak memerlukan adaptasi di sana.

Bukankah daerah KEK tersebut juga bagian dari NKRI yang seharusnya mengikuti regulasi dan aturan yang ada? Jangan sampai dokter-dokter asing bekerja di Indonesia dengan berbagai syarat yang longgar dan penuh kemudahan, sedangkan dokter Indonesia akan sulit mencari pekerjaan di negeri sendiri.

Karena itu, peninjauan ulang beberapa regu­lasi dan aturan tentang dokter dan tenaga kesehatan asing akan menjadi kebijakan yang berpihak pada keselamatan rakyat. Semoga. Oleh: Sukman Tulus Putra Ketua Perhimpunan Kardiologi Anak Indonesia (Perkani), anggota Dewan Pertimbangan PB IDI dan MKEK, anggota Konsil Kedokteran Indonesia 2014-2020 , Council Member of Asia-Pacifi c Pediatric Cardiac Society (APPCS).