KEMARIN DPR kembali menunjukkan hegemoni super power-nya. Mereka mengesahkan RUU Kesehatan menjadi UU Kesehatan ditengah maraknya gelombang protes. Puluhan organisasi profesi dan organisasi massa, termasuk Muhammadiyah, yang meminta penundaan pengesahan tidak dipedulikan. Aksi-aksi protes jalanan mereka cuekin.  Bahkan usulan 200-an Professor dari Forum Guru Besar yang mengusulkan penunda pembahasan tidak didengarkan.  DPR sepertinya sudah terlanjur gandrung dengan prinsip ‘tutup mata, tutup telinga’ dan ‘mau-mau gue yang jadi’. Kegandrungan seperti ini sudah sering mereka pertontonkan, termasuk pada UU KPK dan UU Cilaka sebelumnya. Sampai disini, DPR kelihatannya memang lebih senang memasang image dirinya sebagai ‘institusi penguasa undang-undang’ daripada ‘institusi wakil rakyat’.  Baca juga: Muhammadiyah, Politik Nilai, dan Politik Kekuasaan      Pengesahan RUU Kesehatan ditengah maraknya kontroversi setidaknya mengisyaratkan tiga hal.  Pertama, DPR kalah pamor dengan Kementerian Kesehatan (Kemenkes) dalam pembentukan UU ini.

DPR seolah tutup mata terhadap semua gagasan Kemenkes dan menganggap Kemenkes adalah ‘sumber segala sumber pikiran tepat’. Sedemikian dalam feeling ini hingga bahkan hati nurani DPR sendiri pun terkalahkan.  Buktinya, begitu banyak pasal-pasal yang diusulkan oleh DPR pada saat awal, justru dihapus dan dirubah oleh Kementerian Kesehatan. Pada draf awal, DPR mengusulkan mandatory spending 10%, namun angka ini dihapus oleh Kementerian Kesehatan. Usulan DPR untuk membuat satu organisasi profesi yang diakui bagi tiap profesi dihapus oleh Kementerian Kesehatan.  Pasal pidana terhadap dokter dan tenaga kesehatan yang semula telah diusulkan oleh DPR justru diperberat oleh Kementerian Kesehatan. DPR tidak berdaya. Padahal pada saat yang sama, terdapat begitu banyak pemikiran alternatif yang muncul dikalangan profesi dan akademik terkait pasal-pasal kontroversial; namun hal ini tidak didengar DPR. Bagi DPR, Kemenkes adalah ‘sumber segala sumber kebenaran’.

Manusia dan AI dalam Meningkatkan Pro­duktivitas Bisnis Kedua, DPR tersandera kepentingan mendesak untuk segera menggolkan UU ini pada periode ini. Entah apa alasannya. Salah satunya mungkin terkait dengan ‘power opportunist’. Anggota DPR dan pihak berkepentingan sadar bahwa saat ini mereka memiliki ‘kekuatan’ menentukan, yang mungkin ‘kekuatan’ itu tidak bisa mereka pastikan pada tahun 2024.  Mereka ragu kepentingan mereka dan kepentingan lain dibalik UU ini tidak bisa direalisasikan periode DPR berikutnya. Alasan ini masuk akal. Pasalnya, periode anggota DPR saat ini memang hanya tersisa beberapa bulan saja. Tujuh bulan lagi pemilihan umum akan digelar dan sangat terbuka kemungkinan anggota DPR saat ini tidak terpilih lagi pada pemilu 2024.  Jadi mumpung kewenangan dan kekuasaan masih ada saat ini, kesempatan ini mesti digunakan.

Penanda paling akurat dari ‘power opportunist’ ini adalah fenomena ketergesa-gesaan. Pembuatan awal hingga pengesahan RUU ini hanya memakan waktu beberapa bulan.  Bandingkan dengan RUU Perampasan Asset yang sudah tahunan namun tidak terealisasi. Saking tergesa-gesanya, usulan penundaan saja tidak dapat diterima. Bayangkan, untuk penundaan saja tidak bisa. Artinya, memang ada kepentingan mendesak yang harus direalisasikan.  Ketiga, DPR dan Kemenkes mungkin merasa senang dengan pengesahan ini dan menganggap tuaian protes dan ketidaksetujuan berbagai pihak akan berakhir dengan pengesahan ini. Seolah-olah pengesahan adalah ‘ending point’ protes masyarakat. Pandangan ini keliru.

Pengesahan undang-undang di tengah kontroversi ini bahkan akan menimbulkan reluctant compliance yaitu penerimaan secara terpaksa. Reluctant compliance adalah kepatuhan yang dilakukan dengan rasa enggan dan tidak sepenuh hati. Reluctant compliance ditandai dengan ketidaksetujuan atau kekecewaan yang terus melekat yang menyebabkan individu atau kelompok mencari cara-cara untuk melanggar atau mengakali aturan yang ada.  Ujung-ujung reluctant compliance adalah munculnya beragam protes dan aksi, termasuk pengajuan judicial review, disrupsi sosial, meredupnya kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah, polaritas dan perpecahan serta pengabaian hukum. Bila ini terjadi, alih-alih menjadi penerang, UU Kesehatan ini dapat menjadi bumerang yang membahayakan. Oleh: Iqbal Mochtar,Pengurus PB IDI dan PP IAKMI 

Baca Juga: Membentuk Ruang Kelas yang Bicara