KUALITAS guru di Indonesia selalu menjadi perhatian utama. Upaya peningkatannya terus dilakukan melalui berbagai pelatihan umum yang diselenggarakan Kemendikbud-Ristek. Namun, beberapa pihak berpendapat bahwa kualitas guru tidak meningkat karena insentif yang diterima dianggap terlalu rendah. Untuk menanggapi keluhan tersebut, pemerintah dan DPR mengalokasikan anggaran tambahan untuk pendidikan melalui APBN dan APBD, setidaknya sebesar 20% melalui amendemen keempat dalam Sidang Tahunan MPR pada 1-11 Agustus 2002. Tambahan anggaran sebesar 20% itu kemudian dialokasikan melalui program sertifikasi guru, salah satunya dalam bentuk dana tunjangan profesi guru. Menurut laporan penelitian World Bank pada 2020, pengeluaran terbesar anggaran pendidikan digunakan untuk gaji guru, yang rata-rata 77% kabupaten/kota mengalokasikan lebih dari 70% anggaran untuk pembayaran gaji. Bahkan, terdapat 32 kabupaten/kota yang menghabiskan lebih dari 90% anggaran untuk gaji guru. Sayangnya, hasil dari penambahan anggaran pendidikan sebesar 20% hanya memberikan kontribusi yang tidak signifikan dalam meningkatkan meningkatkan kualitas guru.

Kisah di atas menggambarkan bahwa baik pemerintah pusat maupun daerah gagal mengidentifikasi masalah yang dihadapi guru sehingga penanganannya menjadi tidak tepat, baik dalam kebijakan maupun dalam desain pelatihan yang tidak sesuai dengan kebutuhan guru. Hal itu terjadi karena belum pernah ada identifikasi kebutuhan peningkatan kapasitas guru yang dilakukan secara komprehensif dari tingkat sekolah.   Sukma menulis Sekolah Sukma Bangsa (SSB) Aceh juga mengalami dan merasakan bagaimana sulitnya mencari dan mendapatkan guru sesuai dengan kualifikasi yang dibutuhkan. Tujuh belas tahun silam, saat sekolah ini diresmikan pada 14 Juli 2006, SSB kesulitan merekrut guru sesuai dengan kebutuhan sekolah berasrama yang siswanya istimewa secara latar belakang sosial ekonomi, yaitu korban bencana, korban konflik, dan miskin. Singkatnya, sekolah ini memerlukan guru spesial untuk mengelola anak-anak spesial. Untuk tujuan tersebut, yayasan dengan sengaja meningkatkan kualitas guru SSB melalui berbagai program pelatihan. Itu meliputi peningkatan kemampuan pedagogis, penulisan, penelitian, dan supervisi yang dilakukan secara rutin setiap bulan selama 17 tahun terakhir ini. Tentu saja pelatihan itu disesuaikan dengan kebutuhan guru dalam mengajar dan mendidik siswa.

Dalam dua tahun terakhir, pelatihan penulisan proposal penelitian tindakan kelas (PTK) masih berlangsung hingga kini. Selain itu, penulisan opini pendidikan di Media Indonesia setiap Senin sejak 2008, jurnal pendidikan Sukma, serta di media lokal lainnya, juga dilakukan secara konsisten hingga saat ini. Pada rapat kerja sekolah bersama yayasan tahun ini, ada keputusan penting yang akan dilakukan di sekolah, yaitu melakukan penelitian dan penulisan terhadap tujuh buku pelajaran yang meliputi matematika, fisika, kimia, biologi (IPA terpadu untuk SMP), bahasa Indonesia, bahasa Inggris, dan kesenian. Tanggung jawab untuk meneliti dan menulis buku ajar tersebut dari kelas 1 (SD) hingga kelas 12 (SMA) dibagi antara empat SSB, termasuk SSB Sigi.   Menulis buku ajar Guru meneliti dan menulis buku ajar sendiri merupakan contoh baik dari kemandirian akademik. Banyak keuntungan dan manfaat dari guru yang melakukan penelitian dan menulis buku ajar sendiri.

Menurut Khoiruddin Bashori, dkk (2015), menulis dapat membantu guru berpikir secara mendalam, sistematis, dan terstruktur. Dengan menulis, guru juga jadi terampil dalam mengamati, menemukan sesuatu yang lebih menarik perhatian, menganalisis fenomena, sampai mengekspresikannya kembali dalam bentuk tulisan (Bashori, 2015, h. 85). Guru yang meneliti dan menulis buku ajar sendiri tidak hanya menjadi terampil dengan high order thinking skill (HOTS), tetapi juga bisa lebih mendalam, deep order thinking skill (DOTS). Guru akan terlibat dalam proses pemahaman yang lebih mendalam tentang topik yang mereka ajarkan.

Proses penelitian memungkinkan mereka untuk mengeksplorasi sumber daya dan literatur yang relevan, memeriksa bukti empiris, dan mem­perdalam pengetahuan mereka tentang topik tersebut. Keuntungan lainnya dengan guru menulis buku ajar sendiri, guru akan lebih kaya bahan/materi dalam mengajar. Guru dapat menyajikan materi pembelajaran dengan cara yang lebih kaya dan mendalam. Mereka dapat menggabungkan penelitian terbaru, pemikiran baru, dan perspektif yang berbeda ke dalam buku ajar mereka. Hal itu membantu siswa untuk mendapatkan pemahaman yang lebih komprehensif dan terkini tentang topik yang diajarkan. Guru yang meneliti dan menulis buku ajarnya sendiri memiliki fleksibilitas yang lebih besar dalam menyesuaikan materi pembelajaran dengan kebutuhan siswa. Mereka dapat menyusun dan mengatur isi buku ajar sesuai dengan tingkat pemahaman dan minat siswa. Guru juga dapat mencakup contoh-contoh dan latihan-latihan yang relevan serta merancang pendekatan pembelajaran yang sesuai. Guru yang meneliti dan menulis buku ajar dapat memberikan kontribusi yang berharga pada literatur akademik dalam bidang studi mereka. Buku ajar tersebut dapat menjadi sumber referensi bagi guru lain, mahasiswa, atau praktisi yang tertarik pada topik tersebut.

Baca Juga: Minat Baca Meningkat, Sudah Layakkah Diselebrasi?

Guru dapat berbagi pengetahuan dan pengalaman mereka dengan lebih luas, serta berpartisipasi dalam diskusi akademik yang lebih besar. Proses meneliti dan menulis buku ajar sendiri merupakan kesempatan untuk pengembangan profesional yang signifikan bagi guru. Melalui penelitian, guru memperluas pengetahuan mereka dan mening­katkan keterampilan penelitian. Menulis buku ajar memungkinkan guru untuk mengasah kete­rampilan penulisan, penyuntingan, dan presentasi informasi secara efektif. Pengalaman itu dapat meningkatkan kompetensi dan reputasi guru sebagai ahli dalam bidang studi mereka. Terakhir, guru yang meneliti dan menulis buku ajar sendiri dapat menjadi sumber inspirasi bagi siswa. Siswa akan melihat dedikasi dan semangat guru dalam mengembangkan pengetahuan dan berbagi dengan orang lain. Hal itu dapat memotivasi siswa untuk menjadi pembelajar yang mandiri, serta membangkitkan minat dan keingintahuan mereka dalam bidang studi tersebut.

Setelah 17 tahun berkarya, SSB dengan penuh keberanian berusaha mencapai kemandirian akademiknya dengan melakukan penelitian dan penulisan buku ajar sendiri. Tindakan itu akan mendorong guru untuk memberikan pengajaran yang lebih mendalam sehingga mereka tidak lagi tergantung pada pelatihan-pelatihan dari Kemendikbud-Ristek yang sering kali hanya menghabiskan anggaran tanpa hasil signifikan. Selamat ulang tahun Sukmaku, Sukma kita, Sukma Indonesia.Oleh: Mahyudin Direktur Riset dan Publikasi Yayasan Sukma. (*)