AMBON, Siwalimanews – Warga kembali membuka borok gugus tugas dalam penanganan Covid-19. Satu keluarga divonis positif, namun saat diminta bukti hasil swab tak pernah diberikan.

Lagi-lagi, gugus tugas hanya memberitahukan melalui tele­pon. Warga yang divonis positif sudah  meminta bukti hasil swab dari laboratorium, tetapi selalu ditutupi, dan hingga sembuh, tak pernah diberikan.

Setelah sebelumnya sejumlah warga membeberkan ketidakberesan kerja Gugus Tugas Covid-19, kini war­ga lainnya turut buka mulut.

Salah seorang eks pasien Covid-19 yang berdomisili di Kecamatan Sirimau, Kota Ambon, kepada Si­walima, Sabtu (19/9), mengungkap­kan, awalnya ia dan empat anggota keluarganya divonis positif terpapar Virus Corona. Pemberitahuan ini disampaikan melalui lurah. “Beta diberi­tahukan lewat lurah yang menyatakan saya dan keluarga po­sitif,” jelasnya, yang meminta nama­nya tak dipublikasikan.

Lurah hanya sampaikan melalui telepon. Setelah itu, petugas gugus tugas dari Dinas Kesehatan Kota Ambon datang dan meminta agar ia dan empat anggota keluarganya untuk menjalani karantina.

Baca Juga: Gustu tidak Terbuka Soal Penanganan Jenazah Covid

Ia lalu meminta bukti hasil swab dari laboratorium yang menyatakan ia dan empat anggota keluarganya positif Covid-19. Namun  petugas Dinas Kesehatan tak memberikan. Karena tak ada bukti hasil uji swab, ia dan keluarganya menolak untuk menjalani karantina.

“Beta dan keluarga langsung to­lak untuk karantina, kalau tidak ada bukti hasil swab,” tandasnya, de­ngan dialeg Ambon.

Lantaran menunggu bukti hasil uji swab dari BTKL PP Ambon tak kun­jung diberikan oleh gugus tugas, ia mengambil inisiatif untuk meng­hubu­ngi Dinas Kesehatan Kota Ambon.

“Beta yang hubungi mereka, beta bilang kasih surat keterangan yang menyatakan beta dan keluarga positif lalu segera karantina, supaya jangan tertular ke yang lain. Harus secepat­nya. Baru kemudian diberi­kan surat keterangan, tetapi bukan surat lab yang menyatakan beta po­sitif, kok cara kerja gustu seperti ini,” ujarnya.

Ia mengaku, sangat kecewa de­ngan kerja gugus tugas dalam pena­nganan Covid-19 yang tidak trans­pa­ran. Bukti hasil pemeriksaan laboratorium harus diberikan jika menyatakan seseorang positif Virus Corona. “Ini cuma lewat lelepon saja sampaikan bahwa positif corona, tanpa ada bukti hasil pemeriksaan lab,” tandasnya.

Sejak ia dan keluarganya menja­lani karantina di penginapan Garuda In dan Diklat Perikanan Maluku hingga sembuh, bukti hasil swab dari laboratorium tak diberikan.

“Sampai beta dan keluarga keluar dari lokasi karantina  beta hanya disampaikan surat keterangan dari Dinkes, tetapi surat bukti swab tidak ada,” ungkapnya.

Gustu tak Transparan

Akademisi Hukum Unpatti, And­reas Bakarbessy menilai, gugus tugas bekerja tidak transparan. Banyak sekali warga yang divonis terpapar virus corona, tetapi tidak diberikan bukti hasil uji swab dari laboratorium.

Kondisi ini, menunjukan pe­nye­diaan informasi data medis pasien Covid-19 oleh gugus tugas belum di­lakukan secara transparan dan me­nyeluruh sebagaimana diwajibkan oleh ketentuan peraturan perun­dang-undangan.

“Kalau melihat kondisi ini maka penyediaan informasi data medis pasien Covid-19 oleh gugus tugas belum dilakukan secara transparan dan menyeluruh,” kata Bakarbessy, kepada Siwalima, Sabtu (19/9).

Menurutnya, gugus tugas mesti­nya menyerahkan bukti pemeriksaan uji swab, karena berkaitan dengan kepercayaan publik. “Jangan ditahan karena terakit dengan kepercayaan publik,” ujarnya.

Bakarbessy mengatakan, pasien mempunyai hak untuk mendapatkan kerahasiaan dan privasi atas penya­kit yang dialaminya termasuk data-data medisnya.

Hal ini  diatur dalam Pasal 32 huruf i UU Nomor  44 Tahun 2009 tentang Ru­mah Sakit. Serta huruf j yang me­ngatur tentang hak untuk mendapat informasi yang meliputi diagnosis dan tata cara tindakan medis, tujuan tindakan medis, alternatif tindakan, risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi, dan prognosis terhadap tindakan yang dilakukan serta perkiraan biaya pengobatan.

Lanjutnya, terkait dengan dengan informasi rekam medis milik pasien penderita Covid-19 , maka hal ini merupakan jenis informasi yang bersifat privat dan merupakan hak pasien untuk mendapatkannya.

“Sebagai informasi yang bersifat privat maka data pribadi pasien meru­pakan informasi yang dikecualikan untuk diungkap kepada masyarakat luas,” jelas Bakarbessy.

Ketentuan tersebut diatur dalam Pasal 17 huruf h UU Nomor 14 Tahun 2008 Tentang Keterbukaan Informasi Publik,  serta Pasal 57 ayat (1) UU No­mor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan yang menyatakan bahwa  setiap orang berhak atas rahasia kondisi kese­hatan pribadinya yang telah dikemu­kakan kepada penyelenggara pelaya­nan kesehatan.

Selain itu, ketentuan Pasal 1 ayat 1 PERMENKES No: 269/MENKES/PER/III/2008 tentang rekam medis telah dinyatakan bahwa rekam medis merupakan catatan dan dokumen yang berisikan identitas pasien, pemeriksaan, pengobatan, tindakan dan pelayanan lain diberikan kepada pasien termasuk hasil pemeriksaan swab sebagai rekam medis yang harus diberikan kepada warga.

Ditambahkannya, dalam Pasal 79 UU No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran secara tegas mengatur, setiap tenaga kesehatan yang dengan sengaja tidak membuat rekam medis dapat dipidana dengan pidana kuru­ngan paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah).

Sistem Akuntabilitas Dipertanyakan

Akademisi FISIP Unpatti Paulus Koritelu mempertanyakan sistem akuntabilitas publik gugus tugas, karena selama ini bukti hasil uji swab tidak pernah diberikan kepada pasien Covid-19.

“Jadi menurut saya gustu harus memberikan minimal dua surat yang menerangkan seseorang terpapar dan ketika sembuh dan masyarakat berhak untuk memintanya,” kata Koritelu ketika di konfirmasi Siwa­lima melalui telepon selulernya, Minggu (20/9).

Lanjutnya, ini merupakan bagian penting dalam pertanggungjawaban atau sistem akuntabilitas publik ke­tika menyatakan seseorang itu ter­papar corona.

Dikatakan, kurang transparannya kerja gugus tugas adalah sebuah kemacetan dalam mekanisme perta­nggungjawaban akuntabilitas publik.

Menurunya, fenomena ini ibarat pipa air, ada yang tersumbat di sana. Saat tersumbat, masyarakat punya multintepretasi terhadap fenomena virus corona. Ada yang bilang sung­guh ada, dan ada yang bilang ini yang tidak kelihatan, yang cuma datang untuk mencuri dan membi­nasakan nyawa namusia.

“Ada juga yang mengatakan ini adalah bagian dari mega proyek yang sungguh menguntungkan pihak tertentu dan menjadikan masyarakat sebagai obyek yang patut dikorban­kan misalnya,” ujar Koritelu.

Kalaupun muncul fenomena penafsiran seperti ini, kata Koritelu, tidak ada yang perlu dipersalahkan.

“Saya kira tidak ada yang patut disalahkan, mengapa karena akunta­bilitas publik pada tingkat itu tidak berjalan dengan baik, jadi bukan soal berapa dana yang digelontorkan bu­kan tapi soal mekanisme akun­tabilitas publik,” tegasnya.

Selain itu juga soal update data pasien yang yang masih menjalani perawatan dan yang sudah sembuh. Setiap hari ada yang mau dikarantina atau selesai karantina harus dapat dijelaskan ke publik supaya masya­rakat punya tolak ukur, bukan untuk mengevaluasi kinerja gustu, tapi evaluasi tentang tingkat kesadaran mereka menjadi agen penting men­cegah corona dengan rajin cuci tangan, pakai masker dan jaga jarak.

“Jadi kalau masyarakat diminta partisipasi tanpa presentasi yang ter­buka dan transparan tentang be­rapa orang, dari bulan apa sampai berapa, berapa yang ditangani, berapa yang dikarantina dan sebagainya itu cukup membingungkan kita sehingga gustu juga diminta ini juga harus dijelaskan ke publik,” tandas Koritelu.

Akui tak Beri Bukti

Kepala Dinas Kesehatan Kota Ambon, Wendy Pelupessy menga­kui, bukti swab test pasien terkon­firmasi positif tidak diberikan.

Alasan Wendy sederhana, kalau melalui surat nantinya penanganan pasien Covid-19 akan lambat.

“Kalau lewat surat, kita memer­lukan orang untuk pergi mengantar ke yang bersangkutan. Makanya kita sampai­kan lewat WA, atau tele­pon biar cepat,” kata Wendy, kepa­da warta­wan, Kamis (17/9) di Balai Kota.

Wendy mengatakan, pemberita­huan hasil swab test melalui WA atau telepon selain mempersingkat waktu juga untuk membatasi inte­raksi pasien corona dengan orang lain.

“Langkah ini merupakan cara cepat yang harus dilakukan. Jika hasil Swab mereka positif, maka langsung di telepon guna mem­beritahu, agar mereka bisa istirahat saja di rumah, dan jangan kemana-mana,” ujarnya.

Jika harus menunggu surat, kata dia, memerlukan waktu lebih dari dua hari, setelah hasil swab keluar, sehingga akan memakan waktu yang cukup lama untuk memberitahukan kepada pasien terkonfirmasi.

Namun saat ditanya faktanya, banyak pasien Covid-19 sampai sembuh, tidak pernah mendapatkan surat bukti swab test, Wendy enggan berkomentar, sambil buru-buru pergi. (Cr-2/S-39)