PEMBEBASAN bersyarat 23 narapidana korupsi awal bulan ini dipandang mencederai semangat penegak hukum dalam memberantas korupsi. Mereka secara ramai-ramai mendapat diskon hukuman (mediaindonesia.com, 7/9). Mereka yang mendapatkan potongan hukuman cukup fantastis, di antaranya mantan jaksa Pinangki Sirna Malasari dan mantan Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah. Para narapidana korupsi itu boleh menghirup udara bebas sekaligus menikmati kekayaan hasil korupsi mereka.

Mencederai penegak hukum kasus korupsi bukan cuma dengan mengobral diskon hukuman dan mem­bebaskan sejumlah narapidana korupsi. Dewan Per­wakilan Rakyat (DPR) juga dianggap masyarakat mencederai aparat penegak hukum dalam membe­rantas korupsi karena mengandaskan lagi pembaha­san RUU Perampasan Aset Tindak Pidana (RUU PATP). DPR, tahun ini, sekali lagi, enggan memasukkan RUU itu ke dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2022 (Media Indonesia, 31/8).

RUU PATP mestinya masuk prioritas DPR. Aturan itu nantinya menjadi bagian dari perwujudan keadilan dalam paradigma pidana paling modern atau paradigma pemulihan (rehabilitasi). Tanpa UU PATP, pelaku tindak kejahatan dan keluarganya dapat terus menikmati hasil korupsi atau kejahatannya meskipun secara pidana pelaku telah menjalani hukuman. Para koruptor akan dengan tenang menjalani masa hukuman karena setelah bebas, apalagi dengan diskon hukuman besar-besaran, mereka bisa tetap menikmati hasil korupsinya. Begitu pula dengan pelaku kejahatan atau tindak pidana lainnya.

DPR bukan hanya kali ini mengandaskan RUU PATP. Tahun lalu, hal serupa sudah dilakukan. Sampai-sampai waktu itu Presiden Joko Widodo geram dan mendesak bawahannya berjuang agar DPR meloloskan pembahasan RUU PATP. Kegeraman Presiden waktu itu dicurahkan saat pidato menyambut Hari Antikorupsi Sedunia di gedung KPK (9/12/2021). Ketika itu, Presiden mengingatkan bahwa korupsi merupakan kejahatan luar biasa (extraordinary crime) dan dampaknya juga luar biasa. Maka itu, korupsi harus ditangani secara extraordinary pula. Salah satu cara memberantas korupsi secara luar biasa ialah dengan mewujudkan UU Perampasan Aset Tindak Pidana itu.

Setelah satu tahun, kali ini DPR masih menunjukkan sikap ogah-ogahan untuk membahas dan menuntaskan RUU Perampasan Aset Tindak Pidana. Padahal, sejarah RUU itu sudah lebih dari satu dasawarsa. RUU tersebut diinisiasi penyusunannya oleh PPATK (Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan) pada 2008 dan disusun sebagai naskah akademik oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) pada 2012. RUU itu diusulkan ke DPR pada Desember 2019. DPR pernah memasukkannya ke Prolegnas 2015-2019. Karena ada pergantian periode keanggotaan, DPR menangguhkannya ke 2021. Anehnya, akhir September tahun lalu, Badan Legislasi menghapusnya dari daftar prioritas 2021. Alasannya, waktu pembahasan terlalu pendek.

Baca Juga: Urgensi Pendidikan Mitigasi Bencana

DPR berjanji akan memasukkan RUU tersebut pada prioritas 2022. Nyatanya, setelah terkatung-katung setahun, DPR sekali lagi men­coret RUU PATP dari Prolegnas Prioritas 2022. Satu-satunya jalan ialah pemerintah mesti lebih ngotot lagi agar RUU PATP itu dibahas oleh DPR segera, setidak­nya pada 2023.

RUU PA diharapkan bisa mengatasi berbagai masalah kekosongan hukum yang berkaitan dengan penanganan tindak pidana yang selama ini dirasa tidak optimal. RUU itu diharapkan dapat menyela­mat­kan aset negara dari para pelaku kejahatan, khususnya koruptor. Dengan menggunakan ketentuan hukum pembe­rantasan aset negara, para pelaku kejahatan, khususnya koruptor, tidak bisa lagi menyembunyikan atau mengalihkan hasil korupsi mereka.

Membantu koruptor

Negara bisa merampas aset koruptor atau pelaku kejahatan apabila mereka tidak bisa membuktikan asal-usulnya tanpa harus menunggu pembuktian pidana di pengadilan. RUU PATP tidak mensyaratkan adanya proses pidana. RUU itu nantinya banyak digunakan oleh kejaksaan yang akan melakukan perampasan aset kejahatan (Media Indnesia, 13/12/2021). Namun, tentu ada catatan, jangan sampai terjadi penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power) dan tidak melanggar hak asasi manusia, termasuk hak kepemilikan (property of rights).

Ketentuan hukum perampasan aset hasil kejahatan dibutuhkan untuk mengejar pengembalian uang ne­gara dari tindak pidana korupsi, perpajakan, kepabeanan, cukai, kejahatan ekonomi lainnya, dan narkoba. Selama ini, ketiadaan aturan hukum itu sering dimanfaatkan para pelaku kejahatan untuk menyembunyikan dan menyamarkan aset hasil kejahatan atau korupsi.

Pengejaran kerugian negara selama ini membutuhkan waktu lama karena harus melalui proses hukum yang berkepanjangan. Penyitaan hanya bisa dilakukan terhadap aset yang menjadi barang bukti. Dalam banyak kasus, penegakan hukum kesulitan memilah harta yang merupakan hasil kejahatan. Aparat selalu kalah cepat dengan pelaku kejahatan. Mereka lebih cepat mengamankan dan menyembunyikan hasil kejahatan mereka sebelum proses penyidikan.

UU Perampasan Aset Tindak Pidana akan menjadi terobosan. Ketentuan hukum itu memungkinkan perampasan aset tanpa sidang. Ketika terpidana gagal membuktikan asal-usul kekayaannya, aparat hukum bisa menyitanya sebagai hasil kejahatan.

Tujuan UU Perampasan Aset Tindak Pidana itu bukan hanya untuk menyelamatkan keuangan negara. UU itu juga akan memudahkan pelacakan dan pertukaran informasi mengenai aset-aset ilegal antarnegera. Soalnya, banyak negara sudah menerapkan aturan hukum perampasan aset tanpa tuntutan pidana. Hal itu diatur dalam Konvensi PBB Antikorupsi (United Nations Convention Againts Corruption/UNCAC) 2003. Indonesia sebenarnya telah meratifikasinya pada 2006. Hadirnya UU Perampasan Aset Tindak Pidana juga akan menunjukkan komitmen Indonesia kepada dunia ihwal penerapan konvensi tersebut. Pendekatan non-conviction based merupakan salah satu upaya memberantas tindak pidana korupsi.

Kalau Indonesia membiarkan diri tanpa memiliki UU Perampasan Aset Tindak Pidana sebagai bukti mendukung konvensi PBB tersebut, negeri ini akan menjadi negara yang aman dan nyaman bagi mereka yang ingin menyembunyikan aset ilegal mereka. Makanya, pemerintah dan DPR ada baiknya tidak mengabaikan pemba­hasan RUU Perampasan Aset Tindak Pidana.

RUU itu diharapkan dapat menyelamatkan aset negara dari para pelaku kejahatan korupsi melaui kebijakan unexplained wealth atau kebijakan yang dapat merampas aset yang tak dapat dibuktikan asal-usulnya. UU itu juga mendesak untuk dipergunakan mengatasi berbagai masalah ekonomi yang bersifat sistemis melalui perampasan aset dengan pendekatan non-conviction based.

Dengan demikian, sebenarnya yang tidak meng­hendaki adanya UU Perampasan Aset Tindak Pidana ialah para koruptor dan pelaku kejahatan ekonomi. Mereka akan berusaha mati-matian untuk mengubur RUU Perampasan Aset Tindak Pidana. Soalnya, dengan UU Perampasan Aset Tindak Pidana, mereka tidak bisa lagi enak-enakan menikmati harta hasil korupsi atau kejahatan mereka. Jadi, hanya para koruptor dan pelaku kejahatan ekonomi yang akan berjuang agar RUU Perampasan Aset Tindak Pidana jangan sampai lahir di Indonesia. Oleh: Margana Wiratma Wartawan, pegiat komunikasi sosial, anggota Komisi Komsos KWI (*)