Tahun 2023 ini, Indonesia merayakan 78 tahun kemerdekaannya. Dalam konteks kemerdekaan yang kita rayakan setiap 17 Agustus ini, Kamus Besar Bahasa Indonesia Daring memaknai kata merdeka sebagai ‘bebas (dari perhambaan, penjajahan, dan sebagainya); berdiri sendiri’. Jika kita menghubungkan makna merdeka itu dengan penggunaan bahasa Indonesia, misalnya penggunaan bahasa Indonesia di ruang publik, sudah merdekakah kita? Barangkali, xenomania atau kesukaan yang berlebihan terhadap segala sesuatu yang asing (berasal dari luar negeri) membuat kita terjajah atau tidak merdeka di negeri yang sudah mengakui bahasa Indonesai menjadi negaranya.

Menurut Pasal 36 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 disebutkan bahwa bahasa negara ialah bahasa Indonesia. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan, bahasa Indonesia adalah bahasa resmi nasional yang digunakan di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dengan mengacu pada undang-undang tersebut, kedudukan atau status dan fungsi bahasa Indonesia sebagai bahasa negara sudah sangat jelas. Bahkan, karena kewajiban untuk mengembangkan, membina, dan melindungi bahasa dan sastra Indonesia agar tetap memenuhi kedudukan dan fungsinya, pemerintah membentuk lembaga kebahasaan. Lembaga itulah yang saat ini dikenal dengan nama Badan Pegembangan dan Pembinaan Bahasa (dengan Kantor Bahasa Provinsi Maluku sebagai salah satu unit pelaksanan teknisnya). Kebijakan bahasa yang digaungkan oleh lembaga tersebut dalam menjaga kedudukan dan fungsi bahasa Indonesia adalah Trigatra Bangun Bahasa.

Trigatra Bangun Bahasa “Utamakan bahasa Indonesia. Lestarikan bahasa daerah. Kuasai bahasa asing” membuka kesadaran kita mengenai bagaimana kita melihat dan bersikap terhadap bahasa-bahasa yang ada di Indonesia.  Pengutamaan bahasa negara, yaitu bahasa Indonesia, menjadi hal pertama dalam gatra tersebut, lalu menyandingkan keberadaannya dengan dua bahasa lainnya yang juga ada di Indonesia: bahasa daerah dan bahasa asing.

Dengan adanya tiga kategori bahasa di Indonesia itu, bagaimana gambaran penggunaan bahasa yang mengutamakan bahasa Indonesia? Tindakan mengutamakan bahasa Indonesia dapat dilakukan dengan dasar bagaimana cara kita menempatkan bahasa-bahasa tersebut pada penggunaannya di objek penggunaan bahasa di ruang publik di Negara Kesatuan Republik Indonesia  yang kita cintai ini, misalnya penggunaan bahasa dalam tulisan nama lembaga dan gedung,  sarana umum, ruang pertemuan, produk barang atau jasa dalam negeri atau yang beredar di Indonesia, penunjuk arah dan rambu umum, serta spanduk atau alat informasi lain.

Pengutamaan bahasa negara diterapkan dengan dua prinsip dasar. Prinsip dasar pertama adalah hanya menggunakan bahasa Indonesia (dalam hal ini, penggunaan bahasa daerah hanya untuk melengkapi bahasa Indonesia dan penggunaan bahasa asing hanya muncul sebagai pendukung bahasa Indonesia). Prinsip dasar kedua adalah jika menggunakan lebih dari satu bahasa, tulisan dalam bahasa Indonesia ditempatkan di atas tulisan berbahasa asing atau berbahasa daerah.

Baca Juga: Korporatisasi Petani dan Nelayan di Simpang Jalan

Penggunaan bahasa yang belum mengutamakan bahasa Indonesia tergambar dalam contoh penggunaan bahasa berikut ini.

  • Tulisan berbahasa Indonesia ditempatkan di bawah tulisan dalam bahasa lain dengan ukuran huruf yang lebih kecil dan dengan warna yang tidak mencolok.
  • Warna dan ukuran huruf tulisan berbahasa Indonesia sama dengan bahasa asing atau bahasa daerah.
  • Tulisan berbahasa Indonesia didampingkan dengan tulisan berbahasa asing atau daerah dalam ukuran dan warna huruf yang sama.
  • Hanya terdapat tulisan dalam bahasa asing atau bahasa daerah.
  • Tulisan menggunakan bahasa asing dengan struktur bahasa Indonesia, misalnya gate accreditation (kata berbahasa Inggris, tetapi berstruktur bahasa Indonesia).
  • Tulisan menggunakan bahasa Indonesia dengan struktur bahasa asing, misalnya Merah Plaza (kata berbahasa Indonesia, tetapi dengan struktur bahasa Inggris).
  • Tulisan menggunakan padanan bahasa Indonesia yang belum tepat, misalnya jadwal shuttle bus.

Penggunaan bahasa negara di ruang publik yang belum menerapkan prinsip pengutamaan bahasa negara tersebut, apalagi jika hanya menggunakan bahasa asing, merupakan gambaran penggunaan bahasa negara yang belum menunjukkan kemer­-dekaan sebuah bahasa negara. Sebagai bangsa yang sudah merdeka seharusnya kita tidak  (merasa) rendah diri atau inferior untuk menggunakan bahasa negara kita. Mari, menjadi bangsa merdeka dengan mengutamakan bahasa Indonesia! (*)