TANGGAL 10 Februari 2024 adalah hari terakhir masa kampanye Pemilu 2024. Tujuh puluh lima hari sudah para calon anggota legislatif (caleg) dan calon presiden (capres) “menjual diri” dengan harapan dicoblos pada 14 Februari nanti.

Masa kampanye dimulai sejak 28 November 2023. Terhitung mulai Senin, 11 Februari 2024, kita memasuki minggu tenang.

Selama masa kampanye, perhatian masyarakat praktis tercurah ke pemilu presiden (pilpres). Namun, memasuki minggu tenang, ternyata masih banyak warga masyarakat yang masih tenang-tenang saja, mungkin juga bingung, siapa yang akan dipilih dari tiga pasang calon (paslon) presiden dan wakil presiden.

Tak bisa dimungkiri, mengacu kepada hasil survei yang dilakukan lembaga-lembaga survei, ada kisaran 20% warga masyarakat yang ragu dan belum menentukan pilihan: Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar (AMIN), Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka, atau Ganjar Pranowo-Mahfud MD (Gama).

Mengaku belum punya pilihan, ada malah seorang influencer (pemengaruh) yang minta masukan/pendapat dari para netizen (warganet), siapa paslon yang pantas dia pilih pada hari pencoblosan 14 Februari nanti.

Pemengaruh yang saya maksudkan adalah Guru Gembul. Dia adalah seorang Youtuber yang berprofesi sebagai guru. Menyimak tayangannya di akun Youtube-nya, ia seorang guru yang menurut saya kepandaiannya di atas rata-rata guru seusianya.

Ia mengetahui banyak hal karena memiliki referensi pengetahuan yang luar biasa. Ia tak ubahnya kamus atau ensiklopedi berjalan.

Tak heran kalau belakangan ia banyak diundang sebagai “pembicara” di sejumlah podcast dan kita bisa saksikan di Youtube dengan harapan pihak yang mengundangnya sebagai pembicara ditonton banyak orang, terutama oleh follower Guru Gembul yang sudah mencapai 1,09 juta orang.

Anies Baswedan

Namun, analisisnya terkait Anies Baswedan, menurut saya, Guru Gembul kurang begitu argumentatif karena memiliki sudut pandang berbeda. Sesuatu yang biasa. Nanti akan saya jelaskan.

Saya maklum, sebab sangat mungkin, bukan hanya Guru Gembul, banyak warga masyarakat yang punya persepsi keliru terhadap Anies Baswedan, termasuk saya saat dia berkontestasi pada Pilkada DKI Jakarta 2017.

Saat ia dan pendukungnya berseteru dengan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok), saya banyak menulis tentang Anies yang oleh teman-teman disimpulkan saya sebagai pembenci (hater) Anies Baswedan.

Saya merasa (boleh dong), mungkin sayalah yang pertama kali memperkenalkan istilah dalam tulisan saya di media online bahwa “Anies hanya pandai menata kata daripada menata kota”.

Saya kembali ke pemengaruh Guru Gembul yang belum menentukan pilihan siapa capres yang akan dia pilih. Jangan-jangan Anda pun demikian.

Dalam tayangan YouTube-nya yang diberi judul “Kenapa Harus Memilih 02 Gemoy Dibanding 03 Gama dan 01 Anies? Apa alasannya?”, Guru Gembul mengaku masih golput, tidak punya ideologi atau agnostik politik.

Dia beralasan, semua paslon punya kelebihan dan kekurangan. Saya akan kutip pernyataan Guru Gembul dari sisi kekurangannya yang kemudian membuat Guru Gembul belum menentukan pilihan. Termasuk (mungkin) Anda.

Saya mulai dari Ganjar. Sang guru menganggap Ganjar sebagai capres yang paling tidak populer. Ganjar disebut tidak tahu diri. Saat menjabat gubernur Jawa Tengah, Ganjar minim prestasi.

Kesimpulan Gembul, Ganjar biasa-biasa saja. Bahkan cenderung kurang. “Jadi dia tidak tahu diri kalau mencalonkan diri sebagai presiden,” katanya.

Masih menurut Gembul, Ganjar adalah petugas partai yang kalau jadi presiden pasti tidak punya otoritas.

Begaimana dengan Prabowo Subianto? Guru Gembul menilai, Prabowo memiliki ambisi luar biasa untuk berkuasa dengan menghalalkan segala cara. Sarat melakukan kecurangan. Demi ambisinya, Mahkamah Konstitusi diobok-obok. Aturan diubah hanya untuk mempermudah berkuasa.

Kelak kalau jadi presiden, masih menurut Gembul, “bakatnya” menjadi diktator sangat kuat. Ia punya akses tanpa batas. Ini akan jadi masalah besar sebab kecurangan dilegitimasi dan celakanya didukung pula oleh para pendukungnya. Ia memang bukan petugas partai. Namun, ini juga bisa berbahaya sebab kontrol terhadapnya jika ia jadi presiden tidak bisa dilakukan dengan baik.

Maaf, saya tidak punya referensi yang memadai untuk mengomentari apa yang disampaikan Guru Gembul terkait Ganjar dan Prabowo.

Anies belum bertobat?

Lalu bagaimana dengan Anies? Guru Gembul menganggap, Anies belum bertobat menggunakan identitas agama sebagai alat politik. Ia mengulang pengalaman Pilkada DKI Jakarta 2017 pada Pilpres 2024.

Guru Gembul memberikan contoh, Anies dikerubungi para ulama yang mewajibkan pengikutnya memilih Anies. Bahkan mereka menggunakan istilah-istilah keagamaan seperti “fatwa” untuk menaikkan elektabilitas Anies.

Guru Gembul menyadari Anies memang tidak melakukannya. Namun, Anies membiarkannya. Gembul menyayangkan mengapa Anies tidak melakukan klarifikasi.

Guru Gembul menyimpulkan Anies adalah petugas partai. Begitu juga calon wakilnya Muhaimin Iskandar, Ketua Umum Partai NasDem Surya Paloh yang menggagas keduanya maju sebagai capres dan cawapres.

Soal kelemahan Anies yang membiarkan politik identitas dimanfaatkan para pendukungnya dalam meraih kekuasaan di Jakarta pada 2017, saya sependapat dengan Guru Gembul.

Saya bahkan pernah menulis di media ini bahwa Anies pada 2017 salah kamar dan memanfaatkan para pendukungnya yang waktu itu (maaf) “nggak tahu diri” untuk memenangi kontestasi pemilihan DKI-1.

Namun, setelah Anies terpilih dan melaksanakan tugasnya sebagai gubernur, dia ternyata mampu bersikap adil terhadap semua kelompok dan golongan. Anies ternyata toleran.

Sekadar contoh, sepanjang sejarah DKI Jakarta, Anies-lah satu-satunya gubernur yang memberikan Izin Mendirikan Bangunan (IMB) terbanyak untuk gereja yang sebelumnya terkatung-katung.

Namun, sejak Partai NasDem mencapreskan Anies, saya menilai Anies sudah on the track. Ia tidak salah kamar lagi. Begitu pula kehidupan politik kita menghadapi Pemilu 2024.

Bahwa Anies didukung oleh ulama, ya, apa salahnya? Dua paslon lain juga didukung ulama, masa sih Anies melarang dan berkata ke para ulama, “Jangan dukung saya dong. Saya bukan seperti yang dulu.”

Di luar berbagai kecurangan dan pelanggaran kepantasan dan etika salah satu paslon dan pendukungnya pada Pemilu 2024 ini, praktis tidak ada lagi politik identitas dan aksi mendompleng agama untuk meraih kemenangan.

Anies Baswedan kini sudah berada di tempat yang tepat. Ia diusung oleh partai nasionalis, NasDem. Posisi Anies sebenarnya bukan petugas partai, melainkan seorang profesional yang dipercaya untuk memimpin bangsa.

Bahwa di kubu Anies ada Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang dianggap representasi Islam, faktanya pada Pemilu 2024 ini tenang-tenang saja.

Ayo kita jujur, dari tiga paslon, adakah yang mengapitalisasi agama atau para pendukung atau tim seksesnya mendompleng agama untuk meraih kemenangan?

Sayang, fakta ini tidak pernah dilihat oleh para kaum cerdik pandai, termasuk (mungkin) Guru Gembul.

Saya yang dulu pernah dianggap membencinya menilai Anies kini benar-benar bersikap manis. Jujur pada 14 Februari nanti akan memilih dia.

Semoga opini ini dibaca dan disimak oleh Guru Gembul. Di mata saya, Guru Gembul yang berlatar belakang guru/pendidik dan berpengetahuan sangat luas pantas menjadi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan jika Anies terpilih menjadi presiden.Selamat memilih. Oleh: Gantyo Koespradono, Mantan Wartawan, Pemerhati Sosial Politik. (*)