RAPAT mingguan Satuan Tugas Penanganan Covid-19, Minggu (3/1) membuka fakta yang pantas membuat kita waspada. Di awal pandemi, kita membutuhkan waktu 115 hari untuk mencapai 50 ribu warga yang positif covid-19. Namun, sekarang hanya butuh 6 hari untuk bertambah 50 ribu warga yang terinfeksi virus itu. Fakta ini menggam­barkan betapa cepatnya penyebaran covid-19 di tengah masyarakat dan kita harus berjuang untuk menangani. Harapan untuk lebih bisa mengendalikan wabah covid-19 memang semakin membesar. Sejak Desember 2020, penyuntikan pertama vaksin covid-19 sudah mulai di Eropa dan Amerika Serikat. Di Asia, vaksinasi di luar Tiongkok sudah mulai dilakukan di Singapura. Vaksinasi menyeluruh memang masih membutuhkan waktu lama.

Negara seperti Singapura yang penduduknya hanya sekitar 5,6 juta jiwa, butuh waktu hingga akhir 2021 untuk bisa memvaksinasi seluruh warganya. Di Indonesia akan memulai vaksinasi pada pertengahan Januari ini dan butuh waktu sekitar 15 bulan untuk menuntaskan operasi besar tersebut. Dengan lebih dari 181 juta jiwa yang harus divaksinasi bukan perjuangan mudah untuk bisa melaksanakannya. Ditambah sebaran penduduk di 17 ribu pulau dengan segala karakteristiknya membuat penanga­nan jenis vaksin tidak seragam sehingga membutuhkan suhu penyimpanan yang berbeda-beda. Pengalaman 10 bulan membangun laboratorium untuk tes PCR di seluruh Indonesia penuh tantangan. Menangani logistik dan penyiapan tenaga terampil di lapangan tidak serta merta berjalan sesuai harapan. Satu yang juga perlu menjadi pemahaman bersama, vaksin bukanlah obat yang mematikan covid-19. Mereka yang sudah divaksin bukan berarti akan kebal dari virus. Vaksin hanya merangsang tumbuhnya antibodi di dalam tubuh sehingga fatalitas bisa diperkecil. Mereka yang sudah menjalani vaksinasi bukan berarti juga tidak bisa menulari orang lain.

Ia tetap berpotensi menulari bila terinfeksi covid-19. Oleh karena itu, protokol kesehatan tetap dilakukan kendati sudah menjalani vaksinasi. Tetap menggunakan masker, jaga jarak dan hindari kerumunan, serta cuci tangan dengan menggunakan sabun di air yang mengalir. Jangan lagi ada seremoni seperti yang dilakukan Dirut PT Biofarma saat pelepasan pengiriman vaksin ke daerah, yang mengum­pulkan orang dalam jumlah banyak.   Berlomba dengan waktu Di tengah program vaksinasi yang terus dipersiapkan secara matang oleh pemerintah, kita harus bersama-sama meneruskan upaya menurunkan kurva penularan. Jangan sampai masyarakat telanjur terinfeksi sebelum mendapat­kan vaksinasi karena akan membuat program nasional menjadi mubasir. Sekarang ini ketika penularan berlangsung dengan cepat yang paling kita khawatirkan ialah kepanikan. Seperti di awal penetapan darurat kesehatan pada Maret 2020, bukan hanya masyarakat panik untuk mendapatkan perawatan dan mencari fasilitas kesehatan, tetapi tim dokter pun kewalahan untuk menangani pasien.

Singapura pantas menjadi rujukan dalam penanganan covid-19 dan program vaksinasi karena berhasil terlebih dahulu menurunkan kurva penularan dan mengendalikan penyebaran. Praktis sangat kecil penularan yang terjadi di antara masyarakat Singapura sekarang ini. Kalaupun ada muncul kasus penularan, cepat dilakukan pengendalian penyebaran dengan melakukan karantina kepada mereka yang diduga melakukan kontak langsung dengan yang terinfeksi covid-19. Dengan begitu, masyarakat Singapura tak terlalu heboh dalam menghadapi program vaksinasi. Rendahnya kasus penularan membuat masyarakat tidak terlalu khawatir terinfeksi covid-19.

Di samping menegakkan aturan penerapan protokol kesehatan yang ketat dan konsisten, Singapura mampu mengendalikan penyebaran covid-19 karena dibantu penerapan teknologi tepat guna. Khusus teknologi pengawasan untuk mereka yang harus menjalani isolasi dan contact tracing berjalan sangat efektif. Semua kegiatan masyarakat di Singapura sekarang ini ditopang oleh teknologi safe entry. Dengan alat yang dinamakan trace together, bluepass, ataupun aplikasi yang diunduh ke telepon genggam, masyarakat bisa merasa lebih terjamin. Kalaupun muncul kasus, dengan cepat bisa diketahui orang-orang yang perlu menjalani tes polymerase chain reaction sehingga bisa ditekan potensi penularannya.   Kerja sama Singapura tidak menutup diri kepada keberhasilan mengendalikan penyebaran covid-19.

Baca Juga: Semua Jenis Vaksin Covid-19 Memiliki Profil Keamanan Baik

Pemerintah Singapura bahkan terbuka bagi dilakukannya kerja sama penanganan karena untuk mengakhiri pandemi semua negara harus sama-sama berhasil mengendalikan penyebaran penyakit menular ini. Baik Kementerian Dalam Negeri Singapura, Badan Imigrasi dan Checkpoints, bahkan Temasek Foundation langsung menyatakan kesediaannya ketika Kedutaan Besar RI di Singapura meminta dilakukan rapat jarak jauh dengan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT). Setidaknya tiga kali pertemuan telah dilakukan untuk membahas secara teknis teknologi yang dikembangkan Singapura dalam mengawasi semua orang yang hendak masuk ke Singapura dan diharuskan menjalani isolasi 14 hari maupun untuk contact tracing. Bahkan ketika BPPT menilai teknologi yang dipakai Singapura bisa dipercaya dan memiliki akurasi yang tinggi, Temasek Foundation memberikan alat yang mereka kembangkan untuk diujicobakan. Akhir Desember lalu alat itu telah diujicobakan di Kantor KBRI Singapura, dan awal Januari ini akan diujicobakan di Kantor Badan Nasional Penanggulangan Bencana.

Dengan teknologi berbasis bluetooth itu, uji coba yang dilakukan di Kantor KBRI Singapura dengan cepat mendapatkan data orang-orang yang melakukan kontak dengan seseorang yang terinfeksi covid-19. Data di bluepass bisa menyimpan sampai 360 ribu orang yang melakukan kontak dengan seseorang yang positif covid-19. Teknologi ini bisa membantu pemerintah untuk bisa melakukan testing secara agresif, tetapi targeted pada orang-orang yang memang memiliki riwayat berdekatan dengan yang positif covid-19. Hal ini bukan hanya akan menghemat anggaran, tetapi orang yang berpotensi menyebarkan covid-19 bisa dibatasi pergerakannya.

Dengan jumlah penduduk yang besar seperti Indonesia, tantangannya ada pada proses produksi alat contact tracing tersebut. Ketua Satuan Tugas Penanganan Covid-19 Doni Monardo setuju, penerapannya dilakukan secara bertahap seperti di Pulau Bintan atau Pulau Bali terlebih dahulu dengan dua keuntungan bila uji coba berhasil. Pertama, bermanfaat untuk mengendalikan penyebaran covid-19 dan kedua bisa membantu percepatan pemulihan kehidupan warga. Sebagai daerah tujuan wisata, para wisatawan pun bisa lebih percaya kalau ada teknologi yang bisa mengendalikan potensi penyebaran virus ini.

Per wilayah Belajar dari pengalaman 10 bulan penanganan covid-19 di Tanah Air, perlu ada perubahan dalam manajemen penanganan wabah penyakit ini. Pemerintah kabupaten/kota harus lebih aktif memegang kendali di daerahnya. Apabila 514 kabupaten/kota bertanggung jawab kepada daerahnya, pengendalian akan relatif lebih mudah. Ibaratnya Indonesia kita bagi menjadi 514 ‘Singapura’ dan itu akan lebih mudah dimonitor daripada semua harus dikendalikan dari Jakarta atau ibu kota provinsi. Tinggal bupati dan wali kota didampingi untuk membuat aturan pengendalian penyakit. Aturan itu harus diterapkan secara tegas dan konsisten. Selanjutnya, teknologi dipakai untuk membantu pengawasan penyebaran covid-19 seperti yang sudah berhasil diaplikasikan negeri jiran tersebut.

Di Singapura peraturan berkaitan covid-19 ditegakkan secara keras. Tidak menggunakan masker di tempat umum didenda 300 dolar Singapura (sekitar Rp3 juta). Hukuman itu akan meningkat dua kali lipat apabila orang yang sama melakukan pelanggaran kedua dan seterusnya. Sanksi lebih keras dikenakan kepada yang melanggar keharusan menjalankan isolasi akan didenda 10 ribu dolar Singapura (sekitar Rp105 juta) atau penjara enam bulan. Bahkan kalau pelanggarnya orang asing, langsung dideportasi. Kita pasti bisa mengendalikan penyebaran covid-19 apabila semua mau saling menjaga dan melindungi. Penurunan kurva penularan merupakan kunci bagi keberhasilan kita melakukan program vaksinasi covid-19 dan sekaligus membawa rakyat ke kehidupan yang lebih aman. (Suryopratomo, Duta Besar Indonesia untuk Singapura)