PARADIGMA pembangunan kawasan pertanian terintegrasi, atau yang dikenal dengan korporatisasi petani dan nelayan, sedang berada di simpang jalan. Pemerintah merencanakan program penguatan jaminan usaha pada 350 korporatisasi petani dan nelayan dengan anggaran Rp226,4 triliun. Anggaran tersebut berasal dari anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) sebesar Rp200,9 triliun dan dari investasi sektor swasta Rp25,5 triliun. Indikator keberhasilan yang dituliskan dalam RPJM itu terlalu ambisius.

Misalnya, terjadi peningkatan pendapatan petani 5% dan pendapatan nelayan 10% per tahun dan peningkatan produktivitas 5% per tahun hingga 2024. Target-target tersebut tentu tidak mudah untuk dicapai mengingat dampak pandemi covid-19 yang sangat dahsyat sehingga belum mampu kembali pada kondisi sebelum pandemi.

Artikel ini menganalisis kondisi korporatisasi petani dan nelayan, prinsip kemitraan dalam Undang-Undang No 6 Tahun 2023 tentang Cipta Kerja, dan menyampaikan rekomendasi kebijakan ke depan.   Problem struktural korporatisasi Beberapa problem struktural dari korporatisasi petani dan nelayan dapat diikhtisarakan sebagai berikut.

Pertama, korporatisasi petani dan nelayan itu secara konsep sebenarnya cukup abstrak sehingga sulit dipahami oleh jajaran birokrasi yang mencoba menerjemahkan amanat dalam RPJM menjadi kegiatan aksi, atau program pengembangan di lapangan. Kedua, landasan teori ekonomi, pembangunan pertanian atau ekonomi pembangunan tentang korporasi tidak cukup solid, atau sedikit terbukti secara empiris di tingkat lapangan.

Hal itu menyulitkan para praktisi pembangunan untuk mewujudkan atau mengadaptasinya pada kondisi masyarakat Indonesia yang amat beragam. Ketiga, prasyarat adaptasi dan implementasi korporatisasi petani dan nelayan menghadapi suatu perubahan kelem­bagaan, atau transformasi sistem sosial-ekonomi-politik dan kemasyarakatan yang rumit. Akibat dari problem struktural tersebut, penerapan konsep korporatisasi petani dan nelayan di lapangan masih memerlukan perubahan aransemen kelembagaan yang signifikan.

Baca Juga: Mengelola Cyberloafing di Sekolah

Bentuk korporatisasi petani dapat berupa koperasi, BUMP (badan usaha milik petani), usaha dagang (UD), atau lainnya. Korporatisasi dapat mengarah pada diversifikasi produksi, diversifikasi ekonomi, peningkatan nilai tambah, bahkan perluasan pasar komoditas.

Beberapa inisiatif korporatisasi petani telah dilakukan, walau hasil akhirnya (outcome) tidak terlalu menonjol. Misalnya, kawasan pertanian berbasis korporatisasi di Lebak untuk komoditas jagung, Subang (sapi potong), Malang (bawang merah), Kolaka Timur (kakao), Tanggamus (pisang), Karanganyar (padi), Mojokerto (itik), Tasikmalaya (kedelai), Halmahera Utara (kelapa), Tana Toraja (kopi), Bangka Selatan (lada), Minahasa Utara (pala), dan lain-lain.

Prinsip kemitraan dalam UUCK Beberapa prinsip penting kemitraan bidang pertanian dalam Undang-Undang No 6/2023 tentang Cipta Kerja (UUCK) dapat diikhtisarkan sebagai berikut: Pemerintah pusat menetapkan batasan luas maksimum dan luas minimum penggunaan lahan untuk usaha perkebunan. Perusahaan perkebunan yang melakukan kegiatan kemitraan dilarang me­mindahkan hak atas tanah usaha perkebunan yang mengakibatkan terjadinya satuan usaha yang kurang dari luas minimum.

Perusahaan perke­bunan yang mendapatkan perizinan berusaha untuk budi daya yang seluruh atau sebagian lahannya berasal dari 1) area penggunaan lain (APL) yang berada di luar hak guna usaha, dan/atau 2) area yang berasal dari pelepasan kawasan hutan, wajib memfasilitasi pembangunan kebun masyarakat sekitar seluas 20% dari luas lahan tersebut.

Fasilitasi pembangunan kebun masyarakat tersebut dapat dilakukan melalui pola kredit, bagi hasil, bentuk kemitraan lain atau bentuk pendanaan lain yang sesuai peraturan perundang-undangan (Klaster UU Perkebunan – Pasal 58). Usaha hortikultura dapat dilakukan dengan pola kemitraan, melibatkan pelaku usaha mikro, kecil, menengah, dan besar, misalnya dalam pola 1) inti-plasma, 2) subkontrak, 3) waralaba, 4) perdagangan umum, 5) distribusi dan keagenan, dan 6) kemitraan lainnya, yang diatur dalam Peraturan Pemerintah (Klaster UU Hortikultura – Pasal 56). Implemen­tasinya di lapangan ternyata sangat dinamis.

Dari total luas area kelapa sawit 15,4 juta hektare terdapat 6,4 juta hektare (41%) kelapa sawit rakyat, 4,4 juta hektare (55%) swasta besar, dan 0,64 juta hektare (4%) perkebunan negara. Kemitraan yang terbangun juga bermacam-macam, dari perkebunan inti rakyat (PIR), kemitraan semis­wadaya yang melibatkan lembaga swadaya masyarakat (LSM), hingga skema kemitraan insidental dengan petani sawit swadaya berupa penjualan tandan buah segar (TBS). Sementara itu, dari total luas area 1,26 juta hektare perkebunan teh, 1,24 juta hektare (98%) ialah perkebunan rakyat dan hanya 14 ribu hektare kebun negara dan 9,5 ribu kebun swasta.

Skema kemitraan dalam perkebunan sawit dan kopi sangat dibutuhkan untuk mendobrak pasar internasional. Kemitraan sawit menjadi prasyarat bagi implementasi peremajaan sawit rakyat (PSR). Sawit berkelanjutan lebih bersifat inklusif dan komprehensif menuju tingkat kebersaingan lebih bertanggung jawab. Indonesia mengadopsi sertifikasi berkelanjutan tingkat global melalui Roundtable Sustainable Palm Oil (RSPO) dan International Sustainability and Carbon Certification (ISCC), serta Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO) untuk tingkat nasional. Indonesia juga telah menerapkan beberapa model sertifikasi dan standar berkelanjutan dalam industri kopi yang melibatkan pihak ketiga seperti Fairtrade, Rainforest Alliance, USDA Organic, Utz, dan 4C.

Kemitraan bidang perikanan sedikit berbeda karena sektor ini memiliki misi khusus untuk mening­katkan konsumsi ikan nasional hingga 61,02 kg per kapita. Angka konsumsi ikan (AKI) pada periode 2015-2022 telah mencatat pertumbuhan 5,13% per tahun untuk berkontribusi pada percepatan penurunan stunting. Indonesia memiliki Peraturan Pemerintah (PP) No 11/2023 tentang Pembagian Zona Penangkapan Ikan Terukur, yang secara umum terbagi ke dalam 6 zona dengan fokus berbeda pada setiap zona, dan 1 zona peningkatan ikan terbatas. Kemitraan perikanan budi daya antara tambak tradisional dan pelaku usaha besar dan sektor ekonomi lain untuk mampu menghasilkan produksi lebih tinggi dan daya saing di pasar global.

Rekomendasi kebijakan Berikut ini adalah rekomendasi kebijakan ke depan. Pertama, desain pemberian insentif program perlu memperhatikan kondisi lokal dan ‘langkah pragmatisme’ bisnis dan politik di tingkat lapangan. Pelibatan kelompok tani dan gabungan kelompok tani (gapoktan) dibangun berdasarkan rasa saling percaya (trust level) dan aktivitas usaha yang saling membutuhkan. Kedua, penyelesaian payung hukum korporatisasi petani dan nelayan melalui suatu peraturan presiden (perpres) sebagai panduan bagi kementerian/lembaga (K/L) untuk mempercepat korporatisasi petani atau kemitraan yang lebih efisien dan dinamis.

Ketiga, pendampingan petani sejak proses awal pembentukan kelembagaan korporatisasi petani dan nelayan. Pendampingan ini juga perlu melibatkan perguruan tinggi dan lembaga akademik lain yang mampu meningkatkan jejaring dengan perbankan dan lembaga keuangan lain, khususnya dalam peningkatan jangkauan pembiayaan di sektor pertanian dan perikanan. Keempat, pelibatan sektor usaha swasta dan badan usaha milik negara (BUMN) dan badan usaha milik daerah (BUMD) dalam skema pembiayaan, yang sekaligus menjadi bapak angkat pengasuh dari korporatisasi petani dan nelayan.Oleh: Bustanul Arifin Guru Besar Unila, Ekonom Senior Indef, Ketum Perhepi. (*)