BEBERAPA kali lagi bencana yang harus terjadi untuk mengingatkan kita akan pentingnya mitigasi bencana? Berapa puluh ribu lagi nyawa yang harus melayang karena kita tidak dapat merespons bencana dengan baik? Pendidikan mitigasi idealnya harus memiliki ruang di dalam sistem pendidikan nasional Indonesia. Bagaimana tidak, sudah menjadi pengeta­huan umum bahwa posisi geografis Indonesia berada pada cincin api Pasifik yang rawan akan bencana gempa bumi dan gunung meletus.

Pengetahuan itu seharusnya diikuti kesadaran kita untuk memiliki pengetahuan dan pemahaman yang baik mengenai mitigasi bencana. Faktor utama yang membunuh pada saat bencana bukan hanya karena bencana itu sendiri, tetapi efek yang ditimbulkan ketika dan setelah bencana terjadi. Rendahnya pendidikan mitigasi bencana, ditambah lagi terbatasnya alat berteknologi tinggi, menambah jumlah korban jiwa ketika bencana terjadi.

Belajar dari Jepang

Kita bisa berkaca bagaimana Jepang–negara rawan bencana–dapat mengurangi efek kehancuran dan jumlah korban jiwa dengan kemampuan mitigasi bencana yang baik. Ini bukan hanya karena mereka maju secara teknologi, tetapi karena warganya juga melek mitigasi bencana. Warga Jepang semenjak dini dididik untuk peka dan bersiap menghadapi bencana yang bisa terjadi sewaktu-waktu. Sejak TK mereka su­dah berlatih secara rutin dan berkala bagaimana bersiap dan merespons bencana. Me­reka juga mengembang­kan teknologi yang dapat mendeteksi bencana. Mereka pun selalu mendapatkan pe­ringatan setiap bencana terjadi melalui telepon seluler.

Dengan adanya simulasi bencana yang berkala, mas­yarakat Jepang dapat me­ngelola dampak bencana dengan baik. Mereka sangat mudah dikelola saat bencana terjadi sehingga mengerti harus melakukan apa, juga tahu tanggung jawab masing-masing. Pemerintah dapat memobilisasi korban bencana sesuai dengan panduan kese­lamatan yang sudah disosia­lisasikan dan dilatih semenjak dini di sekolah.

Baca Juga: Buru Hotong dan Ketahanan Pangan

Mereka mengerti bagai­mana merespons masa-masa darurat pascabencana sehi­ngga penanganan tanggap darurat berjalan maksimal. Mereka tahu bahwa otoritas resmi sedang bekerja maksi­mal untuk memulihkan keadaan. Tak ada ketakutan berlebihan akan kehabisan stok bahan makanan, kehabisan bahan bakar, atau bahkan penjarahan. Ini hanya masalah waktu sampai otoritas resmi dapat mendistribusikan kebutuhan pada masa tanggap darurat dengan maksimal.

Tentu pengalaman Jepang merespons bencana dapat menjadi acuan kita dalam mengembangkan pengeta­huan mitigasi bencana. Jepang menjadikan penge­tahuan kebencanaan menjadi hal yang wajib diajarkan di sekolah-sekolah dan terintegrasi dalam kurikulum pendidikannya.

Pendidikan mitigasi bencana

Penguatan kemampuan mitigasi bencana melalui pendidikan formal merupakan salah satu penguatan karakter dan revolusi mental yang ada dalam Nawacita Presiden Jokowi. Melalui pendidikan, mental siaga bencana dapat kita kembangkan dalam diri anak-anak kita sehingga mereka tumbuh menjadi manusia-manusia yang siap dan siaga hidup di Indonesia. Salah satu tujuan utama pendidikan mitigasi bencana ialah penguatan pengetahuan dan pemahaman anak-anak untuk dapat mengerti dan memahami kemungkinan bencana yang terjadi di wilayah tempat mereka tinggal.

Pendidikan mitigasi bencana harus dimulai dari kearifan lokal agar dapat memberikan gambaran konkret mengenai kondisi geografis wilayah tempat anak-anak tinggal dan kemungkinan-kemungkinan bencana yang bisa terjadi di wilayah tersebut. Sekolah-sekolah yang terletak di wilayah lereng gunung atau lereng bukit harus mengembangkan pendidikan bagaimana potensi tanah longsor bisa terjadi, tanda-tanda tanah longsor, dan langkah-langkah yang dapat diambil apabila tanah longsor terjadi. Pendidikan tersebut merupakan bagian dari upaya pencegahan, persiapan, dan respons terhadap bencana.

Potensi-potensi bencana dari Sabang sampai Merauke yang beragam dan rutin ini mengharuskan kita untuk segera mempersiapkan konsep pendidikan mitigasi bencana secara terintegrasi dalam kurikulum pendidikan kita. Penguatan aspek siaga bencana harus berjalan secara seimbang antara pemutakhiran alat teknologi kebencanaan dan penguatan mental siaga bencana masyarakat Indonesia.

Kritik terhadap kesiagaan Indonesia akan bencana selalu nyaring diteriakkan setiap terjadi bencana. Akan tetapi, respons konkret untuk menata kembali sistem persiapan dan penanganan kebencanaan kita belum berjalan secara maksimal. Apalagi jika melihat penga­laman bagaimana sekolah-sekolah menghadapi ben­cana, terlihat sekali ketidaksiapan sekolah menghadapi dampak saat dan pascakejadian.

Pengalaman Sekolah Sukma Bangsa

Sekolah Sukma Bangsa memiliki program belajar yang menghadirkan guru tamu. Setiap tahun sekolah rutin mengundang Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) setempat sebagai guru tamu untuk mengajarkan mitigasi bencana bersama-sama guru mata pelajaran yang berhubungan langsung dengan materi kebencanaan.

Sebelum pelaksanaan, tim BPBD berdiskusi dengan guru yang berkaitan dengan ke­bencanaan memformulasikan kegiatan dan pembelajaran berkenaan dengan mitigasi bencana, yaitu memetakan potensi-potensi bencana yang bisa terjadi di sekitar rumah siswa, menentukan jalur evakuasi, menghitung potensi kerugian bencana, serta mengevaluasi kebijakan dan kebutuhan perangkat ke­bencanaan yang tersedia.

Siswa disiapkan dalam kelompok-kelompok untuk berdiskusi secara kritis me­ngenai potensi kebencanaan di lingkungan rumah mereka. Kemudian mengembangkan pola-pola mitigasi bencana yang efektif dan efisien mulai dari persiapan perangkat kebencanaan sampai dengan mengalkulasikan potensi ke­rusakan dan kerugian akibat bencana tersebut.

Proses pembelajaran ber­basis masalah memberikan peluang bagi para siswa un­tuk mengasah pemikiran kritis mereka pada level mengevaluasi persiapan, pelaksanaan, dan kebijakan daerah dalam menanggulangi bencana di wilayahnya. Siswa diberikan ruang seluas-luasnya untuk mengembangkan solusi berdasarkan masalah yang disajikan dalam bentuk kasus potensi bencana di wilayahnya sendiri.

Dengan cara seperti itu, selain paham mitigasi bencana dengan baik dan bisa dipraktikkan di komunitas masing-masing, siswa juga bertanggung jawab untuk menjaga alam sekitarnya agar potensi bencana yang ada bisa diminimalkan. Dengan pengetahuan yang baik akan dampak negatif dari bencana tersebut, kesadaran untuk menjaga dan menjadi agen dalam pelestarian lingkungan hidup bisa dimaksimalkan dalam kehidupan mereka nanti.

Para siswa kita bekali dengan ilmu yang baik bagaimana menjaga lingkungan dan memitigasi bencana untuk kemudian bisa dikampanyekan di dalam masyarakat. Harapannya, pendidikan mitigasi bencana ini semakin sering dikampanyekan di sekolah agar siswa dapat menjadi promotor lingkungan hidup yang sehat dan aman, baik hari ini maupun di masa yang akan datang. Oleh: Nailul Authar Kepala SMP Sukma Bangsa Pidie (*)