AKSI protes para kepala desa dan perangkat desa telah meramaikan polemik mengenai alokasi dana desa 2022 yang mencuat pada akhir 2021. Kita mestinya mengembangkan diskusi yang mengarah pada upaya keluar dan melampaui polemik tersebut.  Pokok-pokok pikiran yang dimiliki pemerintah pusat di balik alokasi dana desa 2022 yang diatur Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 104 Tahun 2021 tentang Rincian APBN Tahun Anggaran 2022 perlu disajikan terlebih dahulu. Tim Kantor Staf Presiden sudah melakukan asesmen terhadap polemik ini. Perpres ini memuat ketentuan mengenai rincian belanja negara termasuk dana desa tahun anggaran 2022. Pada Pasal 5 ayat (4) penggunaan dana desa diatur sebagai berikut: 1) Program perlindungan sosial berupa bantuan langsung tunai desa paling sedikit 40%, (2) Program ketahanan pangan dan hewani paling sedikit 20%, (3) Dukungan pendanaan penanganan covid-19 paling sedikit 8%, dari alokasi dana desa setiap desa, dan (4) Program sektor prioritas lainnya. Kebijakan ini lahir untuk merespons situasi darurat karena pandemi masih merebak. Covid-19 belum usai dengan berbagai varian barunya seperti omikron. Kita memahami desa adalah pihak yang paling paham situasi desa dan cara menanganinya.

Dalam hal ini, Perpres 104/2021 menjadi upaya pemerintah dalam mendukung desa untuk membantu prioritisasi penanganan covid-19, dan upaya pembangunan desa sesuai SDGs desa, misalnya penurunan angka stunting dan pemberdayaan ekonomi desa. Perlu diingat, penanganan covid-19 dan pemulihan ekonomi nasional merupakan agenda yang tidak terpisah dan saling berkaitan, sehingga penentuan batas minimal alokasi BLT desa sekaligus, merupakan upaya untuk mencegah dampak buruk pandemi pada perekonomian desa. Situasi beragam Kendati demikian, kita sadari situasi di desa sangat beragam dengan segala keunikan dan kearifan lokalnya. Oleh karena itu, perlu dukungan dari para kepala desa dan perangkat desanya untuk terus menjaga kualitas musyawarah desa, sehingga alokasi BLT desa yang diambil sudah sesuai dengan kebutuhan masyarakat desa. Tetap harus dijaga akuntabilitas penggunaan dana desa untuk menghindari masalah ke depannya. Kita tidak ingin para kades dan perangkat desa mendapatkan masalah terkait pertanggungjawaban keuangan. Kebijakan earmarking BLTD makin besar dan konsisten di tengah upaya pengentasan kemiskinan ekstrem yang menjadi tanggung jawab bersama pemerintah dan masyarakat. Proses bisnis pengambilan keputusan tertinggi di desa melalui musyawarah desa harus dihindarkan dari pengekangan dengan adanya earmarking pada Perpres 104/2021 ini.

Merujuk keterangan Kementerian Keuangan, pada tahun anggaran 2022; kebijakan umum Dana Desa diarahkan sebagai instrumen  untuk pemulihan ekonomi di desa melalui program perlindungan sosial, kegiatan penanganan covid-19, dan mendukung sektor prioritas. Sebagai upaya memberikan guidelines bagi semua pihak khususnya bagi pemerintah desa sekaligus untuk memenuhi amanat UU No. 6 Tahun 2021 tentang APBN TA 2022, maka pemerintah menetapkan Perpres 104/2021 tersebut.   Rincian kebijakan dana desa dimaksud, tujuan utamanya adalah dalam upaya penanganan kemiskinan dan penuntasan kemiskinan ekstrem di desa, sehingga dilakukan pengaturan lebih detail terhadap penggunaan dana desa, khususnya BLT Desa. Selama masa pandemi, program BLT Desa merupakan instrumen perlinsos yang efektif dalam menjaga daya beli masyarakat terdampak. Dana desa merupakan bagian transfer ke daerah dana dan desa (TKDD) yang bersumber dari APBN, sehingga pengaturan Dana Desa mengikuti aturan dalam APBN yang ditetapkan pemerintah. Kebijakan tersebut merupakan bagian dari kesepakatan Pemerintah dan DPR dalam rapat Panja APBN yang selanjutnya dituangkan dalam Perpres 104/2021. Aparatur desa  Perpres 104/2021 mendapat penolakan dari aparatur desa. Asosiasi Pemerintah Desa Seluruh Indonesia (Apdesi) melakukan aksi damai dan audiensi dengan KSP pada 16 Desember 2021.

KSP juga menerima aspirasi dan masukan Persatuan Aparatur Pemerintah Desa Seluruh Indonesia (Papdesi) serta menyampaikan keterbukaan untuk berdiskusi dan melakukan kajian lebih lanjut.  Keluhan dan tuntutan desa terkait Perpres 104/2021; 1) Perpres dinilai memangkas kewenangan desa dalam hal penganggaran dan bertentangan dengan UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa, di mana pemerintah desa berwenang mengatur dan mengurus dana desa sesuai hasil permusya­waratan di desa, 2) Perpres dianggap mem-bypass/mendisrupsi proses perencanaan dan penganggaran 2022 yang telah rampung di desa, dan 3) Apdesi menuntut dana desa kembali digunakan sesuai asas rekognisi, subsidiaritas dan permusyawaratan sebagaimana tercantum dalam UU 6/2014.

Arahan Perpres untuk memprioritaskan penggunaan dana desa pada aspek-aspek di atas tidak berten­tangan dengan semangat pembangunan desa. Permendes No. 7 Tahun 2021 tentang Prioritas Penggunaan Dana Desa Tahun 2022 menyebutkan Prioritas Penggunaan Dana Desa diarahkan untuk program dan/atau kegiatan percepatan pencapaian SDGs Desa (Pasal 5-6). SDGs Desa bisa dilakukan, melalui; 1) Pemulihan ekonomi nasional, khususnya terkait penanggulangan kemiskinan, untuk mewujudkan desa tanpa kemiskinan, (2) Program prioritas nasional, termasuk untuk penguatan ketahanan pangan nabati dan hewani, untuk mewujudkan desa tanpa kelaparan, dan 3) Mitigasi dan penanganan bencana alam dan nonalam, termasuk dalam rangka penanganan covid-19 dan mewujudkan desa tanpa kemiskinan melalui BLTD. Permendes 7/2021 Pasal 16 juga memberikan ruang intervensi bahwa dalam hal terdapat arahan kebijakan Pemerintah, prioritas penggunaan dana desa dilaksanakan oleh desa sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Baca Juga: Generasi Muda Sebagai Game Changer di Presidensi G-20

Di sisi lain, pengaturan alokasi dana desa oleh Perpres secara efektif dapat mengekang proses pengambilan keputusan yang seharusnya menjadi kewenangan desa sebagaimana dijamin oleh UU Desa. Pencairan dana desa juga berpotensi terhambat mengingat APBDes yang telah disusun perlu diubah untuk memenuhi alokasi yang diamanatkan Perpres. Keluar dari polemik Tim Kantor Staf Presiden menempatkan Perpres 104/2021 sebagai upaya perlindungan dan pemenuhan hak warga desa dalam konteks penanganan covid-19 dan PEN, khususnya melalui penyaluran BLTD, program ketahanan pangan, dan penanganan covid-19.

Hal-hal tersebut juga konsisten dengan SDGs Desa, terutama SDG #1 Desa Tanpa Kemiskinan, SDG #2 Desa Tanpa Kelaparan, dan SDG #3 Desa Sehat dan Sejahtera sehingga secara prinsip tidak bertentangan dengan tujuan-tujuan pembangu­nan desa. Sebaiknya kita segera keluar dari polemik ini. Desa memiliki posisi yang unik dan strategis dalam menjalankan fungsi peningkatan kesejahteraan karena kedekatannya dengan masyarakat. Hal ini menjadi semakin penting dalam konteks pandemi yang berdampak luas pada berbagai segmen masyarakat. Oleh karena itu, Perpres ini menjadi upaya pemerintah untuk membantu desa melakukan prioritisasi terhadap penanganan covid-19 dan PEN. Tujuan akhirnya tentu untuk menjamin kesejahteraan dan memberikan perlindungan pada rakyat yang miskin dan rentan.

Selain penanganan covid-19 dan PEN, Perpres juga memberikan koridor bagi dana desa untuk berkontribusi terhadap tujuan pencapaian kemiskinan ekstrem 0% pada 2024. BLTD merupakan program yang dapat menjangkau the last mile atau segmen-segmen penduduk yang selama ini belum tersentuh oleh program pengentasan kemiskinan lain.  Perangkat Desa diharapkan dapat mengalokasikan penggunaan dana desa dengan optimal sesuai kebutuhan masyarakat desa dan berdasarkan kerangka kebijakan yang ada. Terkait pandangan kritis dan sikap para perangkat desa, pemerintah pusat tentu terbuka untuk men­dengar aspirasi dan mencari solusi terbaik. Hendaknya dibuka peluang bagi pengaturan lebih lanjut Perpres 104/2021 dalam petunjuk teknis dan petunjuk pelaksanaan yang lebih fleksibel namun taat azas dan tepat sasaran. oleh: Usep Setiawan. Tenaga Ahli Utama di Kantor Staf Presiden Republik Indonesia