PEMILIHAN kepala daerah (pilkada) serentak di 270 daerah yang berlangsung 2020 ini sepatutnya menjadi momen krusial untuk melakukan evaluasi penyelenggaraan otonomi pembangaunan. Dalam perjalanannya, pelaksanaan otonomi daerah masih menyisakan segenap tantangan dalam meningkatkan taraf kemandirian daerah itu sendiri. Tingginya tingkat ketergantungan pemerintah daerah terhadap sokongan pemerintah pusat tak ubahnya era sentralisasi yang mengesankan pemerintahan daerah masih sekadar agen pelaksana pemerintah pusat. Hal ini diidentifikasi dari kebijakan-kebijakan daerah yang masih didominasi oleh sumber daya pemerintah pusat. Yaitu transfer anggaran berupa dana perimbangan yang merupakan sumber dana andalan dan terbesar, rerata memenuhi 75% dari postur anggaran pemerintah daerah. Kesan lain, dalam pembuatan peraturan daerah misalnya, regulasi yang dikeluarkan acapkali copy-paste dari ketentuan pemerintah pusat.

Program legislasi daerah yang digulirkan sebatas berfokus pada urusan pendirian kelembagaan, retribusi, dan pajak daerah, serta  regulasi-regulasi turunan standar yang dibuat atas dasar instruksi pemerintah pusat. Sedangkan masih minim inisiatif dalam mendorong politik hukum strategis yang autentik berdasarkan lokalitas pembangunan daerah. Faktor penyebab lemahnya inisiatif dan kreativitas daerah tersebut antara lain karena kurangnya daya dukung inovasi yang dihasilkan dari kegiatan penelitian dan pengembangan (litbang). Sejauh ini, program kelitbangan di daerah masih belum dipandang sebagai urgensi. Pemerintah daerah kurang memiliki sistem inovasi yang dapat membantu dalam pengembangan peluang dan potensi daerah. Minimnya basis riset dalam perumusan kebijakan menyebabkan pemerintah lokal layaknya gugup dan gagap dalam menyelenggarakan pembangunan daerah. Kegagalan mengidentifikasi arah pembangunan ini, pada gilirannya membuat jalannya pemerintahan daerah menjadi stagnan.

Stagnasi tersebut turut pula dibelenggu oleh banyaknya pembuat kebijakan yang tidak terlalu senang dengan hal-hal yang bersifat akademis, dan menganggap pengetahuan mereka sudah cukup untuk membuat sebuah kebijakan publik karena pengalaman yang sudah bertahun-tahun. Realitas ini dibebani pula oleh masih pekatnya budaya birokrat yang bermental abdi dalem, priyayi, dan pangreh praja. Sehingga tak jarang dalam kultur tersebut penyusunan kebijakan publik berpotensi disertai praktik KKN. Lemahnya budaya intelektual dan kontrol akademis, telah mendistorsi desentralisasi politik menjadi lahan feodalistik bagi oligarki-oligarki lokal. Kebijakan politik kepala daerah cenderung dilihat sebagai proyek, bukan sebagai bagian dari pembuatan kebijakan publik yang semestinya. Dewasa ini, keberadaan sebuah badan penelitian dan pengembangan (balitbang) sudah selayaknya menjadi fitur yang tidak bisa dinihilkan. Pasalnya, kemajuan suatu daerah amat ditentukan oleh sejauh mana langkah-langkah inovasi dilakukan. Keberadaan sebuah gudang pakar (brain trust) memiliki arti penting dalam usaha mendorong percepatan pembangunan daerah. Hadirnya kelompok ilmuwan berperan sebagai kelompok penjaga (sounding board) yang mampu mengkritisi situasi yang berkembang secara lebih objektif. Kontribusinya diharapkan dapat meningkatkan transparansi dan akuntabilitas kinerja birokrasi, melalui kerja pemantauan, penilai dan evaluasi terhadap kebijakan strategis daerah.

Urgensi lembaga riset di daerah menjadi semakin relevan menimbang era disrupsi telah menciptakan perubahan di banyak sektor, bahkan hingga basis akar rumput. Progresifitas dan fleksibilitas dalam merumuskan kebijakan publik menjadi kebutuhan yang aktual, di mana penyelesaian masalah hari ini tidak bisa lagi hanya didasarkan pada subjektifitas kekuasaan atau tradisi semata. Kenyataan telah memaksa pemerintah daerah untuk memahami dan menyelasaikan masalah yang kompleks tersebut secara ilmiah. Yakni didasarkan pada hasil penelitian atau telaahan strategis yang dapat dipertanggungjawabkan (knowledge-based policy). Dengan harapan, pemerintahan daerah mampu lebih responsif terhadap dinamika pembangunan mutakhir.   Sebagai contoh, tantangan teknikalitas yang aktual dihadapi daerah adalah peluang kerja sama melalui skema public-private partnership (PPP), sebagai sebuah alternatif pembiayaan pembangunan daerah. Meski Kementerian Keuangan telah merekomendasikannya sebagai pilihan sumber keuangan, namun kebanyakan daerah belum mampu mengaplikasikan skema kebijakan ini lantaran kurangya keahlian teknis dari SDM lokal, baik lemahnya kapasitas institusi, maupun ketidaksiapan pranata hukum lokal dalam mengelaborasi kerjasama antara pemerintah daerah dan swasta.

Begitu pula dengan skema pembiayaan lain seperti municipal bond atau dikenal dengan obligasi daerah, serta beragam varian kebijakan investasi kontemporer, kerja sama lokal dan internasional yang menjadi strategi besar (big push) bagi pembangunan seharusnya dapat dieksplorasi melalui melalui riset/feasibility study yang dihasilkan dari aktivitas kelitbangan. Upaya revitalisasi UU No 23 Tahuh 2014 tentang Pemerintahan Daerah sebenarnya telah melandasi pembentukan lembaga kelitbangan daerah. Pada pasal 209 juncto pasal 219 menyebutkan bahwa pembentukan badan untuk melaksanakan fungsi penunjang urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah, meliputi perencanaan, keuangan, kepegawaian serta pendidikan dan pelatihan, penelitian dan pengembangan. Kemudian pasal 388 menyebutkan bahwa penelitian dan pengembangan berperan dalam penilaian inovasi daerah. Namun dalam implementasinya, fungsi litbang pada level pemerintahan daerah umumnya tidak dilakukan dengan membentuk institusi/organisasi perangkat daerah (OPD) tersendiri, yakni dengan mendirikan badan penelitian dan pengembangan daerah (balitbangda)

Baca Juga: Mengidealkan Guru

. Pada tingkat kabupaten dan kota misalnya, data Litbang Kemendagri 2017 menyebutkan bahwa 428 kabupaten/kota masih meleburkan fungsi kelitbangan dengan Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda), atau menempatkannya sebagai program sektoral di masing-masing kedinasan.  Di Bappeda, fungsi litbang hanya sebagai sub sistem dari proses penyusunan dokumen APBD yang bersifat administratif. Sementara tidak cukup memberikan hasil pengkajian, penelitian, dan pengembangan yang komprehensif dan berkualitas. Kerja kelitbangan baru memberikan dampak yang minor dan sekadar menjadi program formalitas yang tidak aplikatif. Hal ini disebabkan karena sebagai sub sistem, fungsi litbang dilaksanakan di tengah keterbatasan anggaran penelitian, minimnya peneliti berkualitas, sarana  dan prasarana, dan yang paling fundamental adalah lemahnya komitmen dari perumus kebijakan untuk menyertakan hasil penelitian dalam perumusan kebijakan itu sendiri. Karenanya, untuk menghasilkan litbang dan inovasi yang dapat memacu daya saing daerah daerah, sudah saatnya pemerintah daerah  melakukan pelembagaan litbang, dengan membentuk badan litbang yang mandiri, berupa balitbangda dengan tugas pokok dan fungsi (tupoksi)nya yang spesifik.

Format lain yang dapat menjadi pilihan dalam meningkatkan kualitas litbang dan inovasi daerah adalah dengan memprakarsai suatu lembaga independen yang disebut Dewan Riset Daerah (DRD). Pembentukan DRD disadur dari amanat Undang-Undang No 18 Tahun 2002 tentang Sistem Nasional Penelitian, di mana sebagai perwakilan masyarakat dari kelembagaan iptek di daerah, DRD mempunyai tugas pokok sebagai enabler yaitu memberi masukan kepada pemerintah daerah dalam penyusunan dan pelaksanaan kebijakan strategis daerah, iptek, dan sistem inovasi daerah sesuai dengan potensi lokal yang dimiliki. Sebagai upaya revitalisasi, kelitbangan perlu didukung oleh SDM baik struktural dan fungsional (peneliti) lintas sektoral yang memiliki kompetensi dan kredibilitas baik secara subtansi maupun metodologi. Kelitbangan merupakan kegiatan penyediaan data dan informasi. Sehingga proses kegiatan yang dilakukan melalui tahapan metodologis ini harus didukung oleh anggaran yang memadai. Keberpihakan anggaran penelitian mutlak diperlukan.

Untuk menghasilkan kualitas riset yang mumpuni dan terintegrasi, anggaran riset memerlukan minimal 1% dari APBD dan program kegiatan terpusat pada balitbangda atau DRD. Dengan demikian, pemerintah daerah dapat memosisikan think tank daerah sebagai lini terdepan dalam menciptakan terobosan percepatan pembangunan. Hal mana sofistikasi kebijakan publik merupakan kebutuhan mendesak mengingat daerah merupakan basis aktual (center of development) dari pelaksanaan pembangunan di era desentralisasi saat ini. (Firman Nugraha , Alumni Indef School of Political Economy)