SABAN tahun, soal pengakhiran kontrak tenaga honorer di banyak daerah menjadi isu panas. Baik bagi yang baru bekerja setahun maupun yang sudah berpuluh tahun di pemerintahan, akhir masa kontrak tentu menjadi momok tersendiri. Sebagian diputuskan hubungan kerjanya, sebagian lagi diperbarui dan lalu berstatus ‘karyawan’ baru. Keberadaan honorer memang membawa dilema kebijakan. Instansi pemerintahan jelas amat membutuhkan honorer lantaran niscaya tak realistis (pembiayaan, pola karier, dan lain-lain) jika sejumlah posisi diisi ASN. Faktanya, jutaan honorer itu ada. Fakta pula, kita memerlukan jasa mereka! Namun, pada sisi lain, pola respons atas ragam masalah yang mengitarinya belum kunjung menghadirkan kerangka penyelesaian menyeluruh. Bagai mengurai benang kusut, memang tak lagi ada pembiaran seperti masa silam, tapi tetap saja titik pencarian exit strategy belum ditemukan.   Malaadministrasi berlapis Kinerja pemerintahan, termasuk ihwal pelayanan publik, jelas ditentukan kapasitas mesin produksi (service manufacturing), yakni birokrasi.

Terhadap kualitas sebagian aparatur birokrasi yang lemah, UU No 5/2014 membuat terobosan lewat pengadaan pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja (P3K). Sayangnya, inkonsistensi di lapangan membuat ruang baru ini tak banyak berisi para game changer (kaum profesional, akademisi, aktivis, dan lain-lain), sebagai injeksi darah segar dalam sektor publik. Alih-alih, malah sejak awal ruang tersebut direduksi menjadi tempat tampungan para pemburu kerja yang berkapasitas medioker, bahkan rendah. Sementara itu, terhadap kuantitas aparatur yang minim, pengisian melalui pengadaan tenaga honorer menjadi pilihan utama sejak awal reformasi. Sebagian formasi yang lowong baik di pusat maupun lebih-lebih di daerah diisi tenaga kontrak, pegawai tak tetap (PTTPK), pegawai pemerintah nonpegawai negeri (PPNPN), dan varian predikat lainnya.

Di sejumlah tempat, tidak saja jumlah honorer itu lebih banyak daripada ASN, bahkan beban kerja terkadang lebih berat tanpa diimbangi kesetimpalan hak. Kondisi demikian terbukti tidak saja memengaruhi ekosistem kerja birokrasi, tetapi juga turut menentukan derajat mutu keluaran dan capaian hasil yang diterima masyarakat. Dalam merespons berbagai aduan masalah yang ada, belum lama ini Ombudsman RI menerbitkan telaah sistemis perihal tata kelola honorer di sejumlah kementerian dan pemda, yang menunjukkan temuan malaadministrasi berlapis.

Dengan batu ujinya ialah ketentuan hukum, keutamaan moral dan prinsip tata pemerintahan (good governance), wujud malaadminis­trasi yang terjadi berupa perlakuan tak adil dan layak dalam hubungan kerja (Pasal 28D ayat 2 UUD 1945), pelanggaran prosedur, pengabaian kewajiban, perlakuan diskriminatif, dan lain-lain (UU No 37/2008). Pertama, titik awal dari rantai proses pengelolaan honorer ialah status yang serbatak jelas (nonstatus): bukan pegawai (sektor publik), bukan pula pekerja (sektor privat). Padahal, tanpa mendudukkan jenis profesi pada suatu status, derivasi pengaturan hak, kewajiban, dan berbagai turunan lainnya niscaya menjadi lebih absurd. Entah pernah diakui keberadaannya (PP No 48/2005), entah berganti regulasi lain soal peniadaan dan larangan (PP No 49/2018), honorer tetap saja menjadi profesi nonstatus.

Dari dulu hingga hari ini! Terbitnya UU No 5/2014 yang hanya mengenal status PNS dan P3K dalam profesi ASN menghadirkan sikap ambigu atas honorer: ada sebagai fakta administrasi (de facto), tetapi tiada sebagai subjek hukum (de jure). Dalam mata anggaran APBN/D, kita tak akan pernah menemukan pos pengeluaran untuk honorer lantaran mereka hanya menyelip sebagai salah satu jenis pengadaan dalam belanja barang/jasa kegiatan. Dengan semua itu, harapan akan perlindungan kerja dan jaminan hak hingga kepastian nasib post-employment bak menggantang asap. Puncaknya, agar keluar dari jebakan ambiguitas yang ada, berjuang menjadi ASN lalu dilihat sebagai satu-satunya jalan keluar. Kedua, terkait dengan remunerasi, hak-hak yang diterima honorer secara telak memunggungi makna honor: suatu ekspresi rasa hormat berupa imbal balik jasa (kontraprestasi) yang layak. Instansi pusat dan sejumlah daerah seperti Kota Semarang, Surabaya, dan Provinsi Jawa Timur telah membayar honor setara upah minimum setempat. Namun, sebagian besar daerah membayar di bawah standar upah swasta, bahkan tak sedikit yang hanya mengalokasikan Rp300 ribu hingga Rp500 ribu per bulan dengan termin pembayaran tak tentu (sering dirapel triwulan sekaligus). Jangan membayangkan adanya jaminan sosial, fasilitas/tunjangan lain, apalagi slot tabungan bagi ‘pensiun’ pascakerja.

Di sini, ironi menyeruak. Pemerintah selalu keras mendorong pelaku usaha memenuhi upah minimum, sementara pekerja di sektor publik sendiri jauh dari standar perlindungan dan jaminan hak yang memadai. Bahkan, dalam kasus jaminan sosial, pelanggaran hukum terjadi: pengabaian atas kewajiban sebagai pemberi kerja mendaftar dan membayar iuran pekerja ke Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (Pasal 15 ayat [1] UU Nomor 24 Tahun 2011). Semua itu sungguh jauh dari sikap honor berupa imbal balik remunerasi yang layak atas jasa yang diberikan, serentak pula mencederai keadilan jika kita menakar kesetimpalannya dengan beban kerja honorer yang kadang lebih berat ketimbang pegawai ASN tertentu. Ketiga, malaadministrasi tidak saja terkait dengan status honorer yang bersifat temporer-kontraktual, tetapi juga pengadaannya, yang cenderung spontan ketimbang berbasis perencanaan solid. Jamak terlihat honorer dijadikan sebagai pengisi kekosongan formasi ASN, entah karena pensiun entah tak memiliki anggaran untuk pengadaan baru. Pada kasus tertentu, rekrutmen honorer tak terelakkan: pemda wajib mengisi kekosongan guru demi kelangsungan proses pembelajaran (PP No 19/2017). Tiadanya standar baku perencanaan untuk memenuhi kebutuhan pegawai telah melahirkan deretan masalah krusial berupa pola rekrutmen, mismatch kompetensi, analisis beban kerja, hingga berujung pada mutu layanan kepada masyarakat.

Opsi jalan tengah Pemerintah menargetkan keberadaan tenaga honorer berakhir 2023 (PP No 49/2018). Selain meniadakan honorer yang ada (existing), melarang PPK di pusat dan daerah merekrut tenaga baru. Dalam skenario Ombudsman, rencana pemerintah itu tergolong sebagai opsi ‘penghapusan bersyarat’. Disebut bersyarat lantaran perlu pengaturan transisi menuju peniadaan, sekaligus ketegasan dan sanksi (fiskal dan administratif) atas PPK yang masih merekrut honorer setelah 2023. Opsi lain, umumnya datang dari kalangan politik, berupa ‘peralihan bertahap’ menjadi ASN. Kebijakan afirmatif itu menyerupai solusi honorer K-satu beberapa tahun silam. Menimbang dua fakta (keberadaan dan kebutuhan) honorer, di tengah sulitnya pemerintah mengoptimalkan semua formasi diisi ASN semata, serta peliknya strategi peniadaan atas yang ada dan larangan merekrut yang baru, Ombudsman menawarkan jalan realistis, dengan perbaikan tata kelola menyeluruh.

Honorer diakui dan diperlakukan selayaknya karyawan, baik bermodel PPNPN maupun lewat alih daya ke pihak ketiga (outsourcing). Terkait dengan jaminan hak dan perlindungan sosial, pemerintah merumuskan standar, struktur, dan skala upah, serta terdaftar sebagai PPU dalam jamsos kesehatan dan ketenagakerjaan. Opsi itu mensyaratkan, pertama, secara politik, suatu rekognisi atas status profesi dalam jenis pegawai pemerintah tanpa harus merombak struktur ASN (PNS dan P3K). Kedua, secara teknokratik, suatu peta jalan pengadaan yang sistematis sejak pre-employmet hingga post-employment.

Dengan jalan tengah tersebut, aneka malaadministrasi yang banyak terkait dengan status dan kesejahteraan dapat teratasi. Honorer juga memiliki pilihan bebas untuk bertahan pada jenis profesi itu, atau beralih menjadi ASN dengan menempuh seleksi layaknya peserta dari jalur umum. Niat untuk otomatisasi berbungkus opsi ‘peralihan’ ataupun afirmasi setengah hati berbungkus opsi ‘penghapusan’, yang memunculkan kisruh saat ini kiranya bisa kian disempurnakan melalui jalan tengah tersebut, semoga. Oleh: Robert Na Endi Jaweng
Anggota Ombudsman RI.