PADA waktu yang berurutan, masyarakat merayakan Hari Hutan Sedunia, Minggu (21/3), yang mengusung tema Hutan kota, dan Hari Air Sedunia, Senin (22/3), bertema Menghargai air. Dua hal yang saling berkaitan erat. Cara-cara konvensional tata kelola air harus ditinggalkan. Kota masih sepenuhnya bergantung pada pasokan air dari sumber air baku terdekat (mata air di hutan, situ/danau/embung/waduk (SDEW), dan sungai besar). Banjir menunjukkan ada limpasan air hujan dalam jumlah besar, yang jika dikelola dengan baik merupakan potensi sumber air baku yang melimpah. Air memiliki makna berbeda bagi setiap orang. Masyarakat harus diajak untuk menghargai air sebagai sumber kehidupan melalui pengelolaan air berkelanjutan di kenormalan baru.

Dengan melestarikan hutan, kita sekaligus menjaga keberlanjutan air sebagai wujud memuliakan air. Lalu, langkah apa yang harus dilakukan? Pertama, pemerintah harus menyusun peta jalan pembangunan tata kelola air berkelanjutan secara bertahap. Mulai tingkat kota penyedia air, kota yang mampu mengelola pembuangan air, kota yang memiliki sistem drainase tertata, kota yang bisa melindungi lingkungan air, kota yang mampu mendaur ulang air, hingga menjadi kota yang memuliakan air.

Kota harus mengelola air secara terintegrasi penuh, agar seluruh air bisa digunakan dan tidak langsung dibuang ke laut. Air disimpan dan digunakan secara optimal dalam bentuk apa pun, baik hujan, sungai, kanal, penampungan, air tanah, maupun air limbah selama masih di daratan. Kedua, pemerintah harus mengendalikan perubahan tata guna lahan dari hulu (konservasi hutan lindung), kota (hutan kota), hingga hilir (hutan mangrove). Mereka mengatasi masalah erosi, dan sedimentasi, pada bantaran sungai dan badan SDEW, menghentikan penyedotan air tanah, serta membangun infrastruktur jaringan saluran air baku, air bersih, dan limbah cair.

Pemerintah harus mewujudkan keseimbangan, antara permintaan dan ketersediaan air, meningkatkan kapasitas sumber daya manusia terkait dengan tata kelola air dan konservasi hutan, melibatkan partisipasi lembaga dan masyarakat, serta mereformasi sistem tata kelola air dan hutan. Ketiga, kota harus membangun daerah tangkapan, untuk ketersediaan air berupa konservasi/reboisasi hutan lindung (bukit, pegunungan), revitalisasi hutan kota (kawasan perkotaan), serta regenerasi hutan mangrove (pesisir pantai). Pemerintah harus melakukan optimalisasi sumber pasokan air, seperti air permukaan statis (SDEW), air permukaan dinamis (sungai), air hujan andalan, air tanah dangkal, air tanah dalam, air laut (desalinasi), dan air hasil pengolahan air bekas (IPAL dengan teknologi tepat guna). Pemerintah harus membangun infrastruktur air perkotaan, seperti jaringan layanan air bersih, sarana prasarana pengendalian terhadap banjir, serta upaya pencegahan pencemaran air. Seluruh sumber air harus dimanfaatkan optimal sehingga kota tahan terhadap tekanan perubahan iklim dan pertumbuhan penduduk. Keempat, pemerintah harus menjamin kualitas, kuantitas, dan kontinuitas ketersediaan air bersih.

Peningkatan kualitas air dilakukan dengan cara menghentikan pencemaran pada sumber air, mengolah limbah secara optimal di sumbernya, seperti kewajiban membangun instalasi pengolahan air limbah (IPAL) di gedung dan IPAL komunal di permukiman padat. Peningkatan kuantitas air dilakukan melalui gerakan memanen air (hujan) (sumur resapan, kolam penampung), menerapkan pertanian hemat air, merevitalisasi, dan memperbanyak SDEW (daerah penampung air) dan ruang terbuka hijau/RTH (daerah resapan air).

Baca Juga: Perkembangan Terkini Mutasi B117

Peningkatan kontinuitas air melalui tata kelola air, khususnya air tanah, secara terpadu dari hulu (hutan lindung), kawasan perkotaan (hutan kota), sampai hilir (hutan mangrove). Kelima, pemerintah menyusun strategi pengembangan hutan berkelanjutan. Pemerintah daerah bertugas melindungi seluruh hutan-hutan di wilayah pegunungan masing-masing dengan skema jasa ekologis. Kota dan kawasan perkotaan dikembangkan dari konsep hutan (di dalam) kota menjadi kota (di dalam) hutan.

Pembangunan kota hutan sebagai bagian strategi memitigasi perubahan iklim, mengimbangi pertumbuhan penduduk, meredam pemanasan kota, mendinginkan iklim mikro, serta menahan laju tekanan pembangunan fisik kota. Hutan kota ditingkatkan kesehatan tanaman dan pepohonan, kelembapan, dan kesuburan media tanam, ketersediaan dan kualitas air, keanekaragaman hayati pohon, serta pelibatan partisipasi masyarakat. Revitalisasi SDEW, dilakukan dengan pendekatan rekayasa ekologi hidraulis. SDEW difungsikan menurunkan rembesan horizontal, menahan tanah longsor, menurunkan suhu, menahan air, dan memperbaiki kualitas baku mutu air, serta meningkatkan kualitas ekosistem kota. Kawasan pesisir pantai selebar 500 meter ke arah daratan harus bebas dari bangunan dan permukiman.

Sepanjang pesisir pantai dibangun benteng alami hutan mangrove yang berfungsi meredam limpasan air laut, menghadang abrasi pantai, mengurangi daya terjang tsunami, memperbaiki kualitas air, memproduksi oksigen, serta memperkaya keanekaragaman hayati mangrove. oleh: Nirwono Joga Pusat Studi Perkotaan