DALAM sebuah laporan interaktif (baca: refleksi mengajar), guru Sekolah Sukma Bangsa Aceh menulis refleksi tentang siswa yang kurang termotivasi dalam pembelajaran yang dia lakukan. Dalam refleksinya, guru tersebut menuliskan bagaimana perasaannya ketika siswa dengan jujur menyatakan bahwa mereka tidak paham dengan apa yang diajarkannya. Manajemen sekolah (kepala sekolah dan konselor) yang membaca refleksi pembelajaran tersebut memberikan umpan balik, memotivasi, dan memberikan apresiasi kepada guru tersebut karena mampu menggugah siswa untuk berani berkata jujur, menunjukkan kepedulian dan perhatian kepada siswa yang belum bisa memahami pelajaran. Menulis refleksi terlihat sederhana, tetapi berdampak istimewa bagi perkembangan siswa dan guru itu sendiri. Dengan menuliskan refleksi memberikan ruang bagi guru untuk mengungkapkan apa yang mereka alami selama mengajar, mencari solusi permasalahan yang dihadapi, dan bisa belajar dari pengalaman guru yang lain.

Penelitian menunjukkan manfaat dari kegiatan refleksi diri. Guru yang melakukan refleksi diri, baik secara individu maupun berpasangan untuk memperbaiki kinerja, dapat meningkatkan kesadaran identitas dan kepercayaan diri profesional mereka agar menjadi guru yang lebih baik, dapat memberi pengaruh positif terhadap perkembangan perilaku dan kompetensi mereka. Dengan demikian, manajemen sekolah perlu mendorong, membangun kesadaran, dan memberikan wadah untuk memfasilitasi guru melakukan praktik-praktik menulis refleksi diri, tidak hanya sebagai upaya membantu pengembangan profesionalisme guru, tetapi juga untuk meningkatkan partisipasi guru dan respons manajemen sekolah terhadap kebijakan-kebijakan sekolah.   Refleksi diri Untuk meningkatkan kompe­tensi dan tanggung jawab dalam menjalankan profesinya, guru perlu melakukan refleksi diri. Refleksi diri membantu guru mendapatkan pemahaman yang lebih dalam tentang diri mereka sendiri, profesi mereka, dan bagaimana mereka bisa menjadi guru yang efektif, efisien, dan menjadikan siswa berhasil dalam pembelajaran.

Fuad Fachruddin (2022) menjelaskan bahwa mengembangkan kegiatan refleksi merupakan bagian penting untuk pengembangan kompetensi profesional guru sehingga memungkinkan guru memenuhi tantangan dan kompleksitas kelas pada abad ke-21. Melalui refleksi, guru dapat membuat keputusan yang efektif berdasarkan gagasan tentang bagaimana menerjemahkan pengetahuan pedagogis ke dalam kelas. Refleksi diri dapat menjadi referensi utama bagi guru mengembangkan strategi baru untuk mengatasi masalah proses belajar dan mengajar sehingga menjadi budaya dan acuan untuk pengembangan praktik profesional guru (Howard, 2003). Menurut Bowman (1989), profesionalisme dapat ditingkatkan melalui proses refleksi diri. Dengan refleksi diri, guru dapat menemukan potensi diri, memperbaiki kelemahan, dan menemukan solusi yang diperlukan untuk pengembangan profesionalnya.

Sebagai profesional, guru harus berupaya selalu meningkatkan diri dengan memahami diri sendiri sebagai guru sehingga percaya diri dalam mengajar dan menyadari perannya sebagai guru (Beijaard et al, 2004). Pengalaman sangat dibutuhkan guru untuk menumbuhkan profesionalismenya sebagai guru. Namun, pengalaman yang disertakan dengan refleksi membuat pengembangan profesional guru jauh lebih bermakna.   Identitas profesional guru Di Sekolah Sukma Bangsa Aceh dan Sulawesi Tengah, refleksi diri menjadi rutinitas harian guru. Seusai pembelajaran, guru menuliskan apa yang dialaminya; bagaimana guru mencari solusi atas permasalahan yang dihadapi dan memberikan masukan kepada manajemen sekolah. Bu Icha, guru bahasa Indonesia di Sekolah Sukma Bangsa Pidie, menuliskan pengalamannya terkait siswa berkebutuhan khusus. Dia merasa perlu meningkatkan kapasitas dirinya untuk menambah pengetahuan bagaimana menangani siswa berkebutuhan khusus di kelasnya. Sekolah telah mengeluarkan kebijakan untuk menyelenggarakan pendidikan inklusif, memberikan kesempatan kepada semua siswa yang mempunyai kelainan, tetapi memiliki potensi kecerdasan atau bakat istimewa untuk mendapatkan hak pendidikan yang sama dengan siswa lain. Atas dasar itu, Bu Icha memberikan masukan kepada manajemen sekolah untuk memfasilitasi pelatihan dasar-dasar pendidikan anak berkebutuhan khusus bagi guru.

Refleksi Bu Icha menunjukkan adanya pen­jelajahan identitas profesionalnya dari merefleksikan lingkungan, siswa dan apa yang terjadi di kelasnya, hingga merefleksikan identitas diri. Hal itu merujuk pada model yang diperkenalkan Korthagen dan Vasalos (2005), yaitu model ‘tingkat perubahan’. Menurut Korthagen, model tersebut sangat efektif digunakan bagi guru pemula dan guru berpenga­laman untuk membantu mengem­bangkan identitas profesionalnya. Ada enam aspek tingkat peruba­han yang dijelaskan model itu, yaitu: (1) lingkungan, bagaimana guru berupaya meman­faatkan lingkungan belajar untuk mengembangkan profesionalis­menya. (2) Perilaku, adanya respons positif dari guru terhadap perubahan atau inovasi. (3) Kemampuan, yaitu adanya keinginan guru meningkatkan kompetensi profesionalnya. (4) Kepercayaan, yaitu keyakinan guru terhadap profesinya. (5) Identitas, merujuk kepada guru seperti apa yang diinginkan atau peran seperti apa yang ingin diambil guru di kelas. (6) Misi, apa yang paling menginspirasi guru sebagai manusia, makna keberadaan guru itu sendiri. Keenam aspek tingkat perubahan tersebut dapat membantu guru mengidentifikasi kesadaran akan identitas dan kepercayaan profesional mereka untuk menjadi guru yang lebih baik (Hirano, 2020).

Baca Juga: Kurikulum Ganda

Konsep identitas profesional guru terkait dengan konsep diri atau gambaran diri sebagai seorang guru. Identitas profesional guru terjadi dari diri sendiri, berproses membentuk sisi pribadi seorang guru profesional secara berkelanjutan. Identitas bukanlah sesuatu yang dimiliki seseorang, tetapi sesuatu yang berkembang selama masa hidup seseorang (Beijaard, Meijer, dan Verloop, 2004). Dalam penelitian Satia Zen, Ropo, dan Kupila (2022) terhadap guru Sekolah Sukma Bangsa yang mengikuti program pendidikan guru di Finlandia, bahwa guru mengalami perubahan posisi identitas yang baru selama menjalani program pendidikan guru dan saat menjadi guru di sekolah. Melalui narasi yang disampaikan guru yang mengikuti program tersebut, mereka merasakan terjadinya perubahan mentalitas dan kepercayaan diri saat mengajar. Artinya, program tersebut memberikan kontribusi terhadap pengembangan identitas profesional guru. Memfasilitasi guru untuk mengembangkan identitas profesionalnya penting dilakukan. Tidak hanya meminta guru melakukan refleksi pem­belajaran, tetapi juga sekolah secara mandiri dapat melak­sanakan program-program terkait pengembangan kapasitas guru seperti Forum Guru Belajar Bersama (FGBB), kolaborasi mengajar, guru menulis, dan sebagainya. Dengan begitu, keyakinan untuk menjadi guru yang profesional semakin tumbuh dan berkelanjutan. Semoga.Oleh: Susan Sovia Wakil Direktur Kerja Sama Antarlembaga Yayasan Sukma. (*)