SUDAH hampir setahun kasus SARS-CoV-2 atau Covid-19 masuk ke Indonesia sejak kasus pertama diumumkan pada awal Maret 2020. Hingga kini, pandemi masih saja belum menunjukkan tanda mereda, malah justru semakin menggila.

Upaya ini itu pun dilakukan pemerintah demi menghambat laju kasus Covid-19, mulai dari sosialisasi protocol kesehatan, adaptasi kebiasaan baru, sampai membuat kebijakan pembatasan sosial berskala besar (PSBB). Sejak pemberlakuan PSBB pada April tahun lalu, jumlah kasus Covid-19 seakan tidak terdampak. Kenaikan kasus terus terjadi seperti anak tangga. PSBB ketat ataupun transisi bak hanya aturan tegas di atas kertas.

Pun demikian saat pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) disahkan awal Januari ini. Angka kasus tetap segitu-gitu saja, jalanan Ibu Kota tetap ramai layaknya masa sebelum pandemi dan terus menjadi provinsi dengan jumlah kasus tertinggi. PPKM sepertinya hanya berganti nama saja dari PSBB. Seolah tidak ada masyarakat yang peduli terhadapnya, dianggap angin lalu.

Bosan

Sebuah tulisan di Harper’s Bazaar: Why are people breaking the Covid rules? The psychology explained (14/1/2021) mengulas sebab orang untuk melanggar aturan aturan pembatasan sosial terkait Covid-19 di Inggris. Banyak faktornya, tetapi yang utama, yaitu adanya rasa jengah, ketidakjelasan hasil lockdown terhadap kasus Covid-19, dan keterdesakan untuk meneruskan hidup. Pada lockdown pertama, saat awal pandemi dan “momok” Covid-19 masih hangat, masyarakat masih menaruh harapan meredanya wabah virus tersebut. Kepatuhan masih tinggi. Namun, tak terelakkan, kasus Covid-19 di sana masih juga tinggi seiring waktu. Akhirnya ketika diberlakukan lockdown kedua (dan kini ketiga) di negara itu, dikabarkan semakin banyak ditemukan pelanggaran. Warga masih tetap sering berkumpul dan jalanan masih ramai.

Baca Juga: Peta Kemiskinan Indonesia

Psikolog setempat, Audrey Tang mengemukakan bahwa masyarakat sudah bosan dengan kondisi pandemi yang berlarut-larut. Lockdown dirasa tidak berdampak signifikan untuk menurunkan kasus Covid-19. Justru sebaliknya, hanya berdampak negatif untuk diri mereka, keterasingan social  kesulitan ekonomi. Pada ujungnya, mereka berangsur “terbiasa” dengan adanya Covid-19, tidak peduli dengan ancaman kesehatannya. Mereka dihadapkan pada dua pilihan, yaitu risiko terkena Covid-19 atau tidak bekerja.

Belum lagi kesehatan mental terancam imbas isolasi social akibat lockdown.

Hal ini diperparah pula dengan efek domino pelanggaran yang terjadi. Pelanggaran oleh warga yang membandel sangat berpotensi menjadi “motivasi” warga lain untuk

mengikuti hal serupa. Mereka merasa percuma saja mengisolasi diri di rumah, sementara orang lain bisa bebas melanglang ke sana kemari. Perlahan, semakin banyak orang yang menyerah dan akhirnya lockdown tidak lagi efektif.

Dalam pandangan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) fenomena itu dikatakan sebagai Covid Fatigue. Ini sebagairespons alamiah masyarakat terhadap krisis  kesehatan global yang belum juga usai dan berdampak pada demotivasi untuk mengadopsi perilaku kesehatan yang dianjurkan.

Masih menurut WHO, ada berbagai alasan sikap antipasti warga terhadap ancaman virus Covid-19. Pertama, persepsi ancaman secara gradual menurun karena masyarakat sudah diberi jeda waktu lama untuk mulai “pasrah” dengan keberadaan virus tersebut, meskipun sudut pandang medis berpendapat sebaliknya.

Kedua, masyarakat mulai melihat kerugian ekonomi akibat pembatasan sosial berangsur-angsur lebih berdampak besar untuk kelangsungan hidup daripada risiko terjangkit Covid-19. Akibatnya, warga perlahan akan mulai acuh tak acuh terhadap pembatasan yang dilakukan pemerintah.PPKM?

Situasi demikian tampaknya sangat mungkin menjadi penjelasan untuk apa yang terjadi di Tanah Air. Masyarakat sudah jengah dengan pembatasan sosial yang diberlakukan berlama-lama. Masyarakat melihat angka kasus tidak membaik, meskipun PSBB diberlakukan. Sudah terlalu lama mereka menunggu. Ditambah lagi, perut mereka semakin mendesak untuk diisi sesuap nasi, yang sangat terhalang sejak PSBB pertama berlaku. Belum lagi melihat semakin banyak orang yang mulai melanggar dan membebaskan diri pergi ke sana-sini, meskipun masih dalam masa PSBB. Jika  seperti ini, sedikit cara yang bisa dilakukan untuk membuat masyarakat tidak berkerumun di masa PPKM ini.

Sekadar “menggeruduk” dan menutup area pusat keramaian tidak akan banyak membantu, apalagi hanya getol menyosialisasikan bahaya Covid-19 dan selalu pakai masker. Masyarakat sudah kebal dengan itu.

Di negara seperti Inggris dan Australia, baru-baru ini mulai diterapkan kebijakan denda tinggi untuk mencegah terbentuknya kerumunan di ruang-ruang publik. Denda

USD200 dolar (sekitar Rp2 juta) siap menanti jika ketahuan tidak memakai masker di Australia. Di Inggris lebih tidak tanggung-tanggung lagi, denda 800 poundsterling (sekitar Rp15 juta) jika tertangkap melakukan pesta pora. Belum diketahui dampaknya seperti apa karena masih kebijakan itu masih baru. Namun, barangkali denda besar serupa juga bisa diterapkan di Indonesia, tidak seperti selama ini terlalu kecil, hanya Rp250.000. Bagi sebagian orang terutama yang berduit, angka ini mungkin tidak akan memberi efek jera dan tidak akan berdampak besar untuk menekan laju kasus Covid-19.

Terpenting, penegakan denda harus konsisten dan tidaktebang pilih. Siapapun yang tertangkap basah harus dendanya. Hal itu perlu agar masyarakat melihat pemerintah serius dan adil untuk menanggulangi persebaran Covid-19 sehingga tidak lagi berani berkumpul atau keluar tanpa memakai masker. Aparat penegak hukum yang bertugas mendenda pun harus kuat iman dan tidak bisa disogok. Tanpa integritas aparat, masyarakat tidak akan menganggap penting kepatuhan karena merasa tinggal membayar saja saat tertangkap.

Selain mekanisme denda, aturan PSBB atau PPKM juga memberi sanksi kerja sosial. Sanksi ini juga tidak begitu berguna. Aturan kerja sosial perlu diganti, bahkan jika kalau perlu ditambah dengan sanksi kurungan yang lebih memberi efek menakutkan. Misalnya, satu bulan penjara minimal disertai sanksi kerja sosial setiap harinya dan harus benar menjalani hukuman jika tidak ingin hukuman diperpanjang.

Ini juga bisa diterapkan untuk yang tidak mampu/mau membayar denda tinggi. Mereka harus memilih, denda tinggi atau penjara dan kerja sosial.

Penerapan sanksi-sanksi seperti ini mungkin terkesan  sangat represif dan angker. Sebagian yang tidak suka mungkin bisa saja berkata hal itu sangat kejam dan melanggar hak asasi. Terkait itu, perlu dipikirkan kebalikannya: adakah solusi yang lebih baik daripada memaksa, pada saat masyarakat sudah jenuh dan membandel, namun kasus Covid-19 justru terus meningkat dan layanan kesehatan terancam kolaps? Tidakkah lebih kejam sikap yang tak mengacuhkan jerih payah tenaga kesehatan yang sudah mati-matian (bahkan banyak yang meninggal) saat merawat para penderita Covid-19?

Vaksin

Tidak cukup dengan memaksa warga negara untuk patuh, pemerintah sebagai pelaksana negara juga harus serius\ mengupayakan vaksin bisa secepat mungkin diberikan kepada sebanyak mungkin penduduk. Kelambanan vaksinasi berarti semakin lama masa risiko terpapar dan terjangkit Covid-19 yang harus dilalui masyarakat. Wacana untuk memberi swasta peran dalam pengadaan dan distribusi vaksin kini sedang dibahas pemerintah. Menurut saya, hal itu lebih baik ketimbang hanya berharap dari satu jalur saja. Ada banyak masyarakat cukup mampu untuk membayar vaksinnya, namun belum juga mendapatnya karena masih menunggu giliran kelompok prioritas sesuai yang diputuskan pemerintah sebelumnya. Target pencapaian imunitas nasional dapat lebih cepat terwujud jika vaksin tersedia melalui banyak jalur swasta.

Pada akhirnya, urgensi untuk membuat kebijakan memaksa ada kalanya dapat dibenarkan pada saat keadaan sudah sedemikian genting dan sulit terkendali dengan caracara biasa demi kebaikan berbagai pihak. Terkontrolnya laju penularan Covid-19 akan memberi rasa aman bagi masyarakat, menjaga layanan kesehatan tetap bernapas, dan sekaligus juga mengurangi beban anggaran Negara (pemerintah) untuk mengelola pandemi yang masih juga belum jelas kapan berakhirnya ini.(Cipta Mahendra, Dokter dan Pengajar di Fakultas Kedokteran Unika Atma Jaya)