PEMERINTAH bersama dengan DPR sepakat untuk tidak mewajibkan implementasi kurikulum Merdeka Belajar di sekolah pada 2023/2024. Hal itu disampaikan Ketua Komisi X DPR Syaiful Huda. Saat ini sekolah diberikan kebebasan memilih apakah masih menggunakan Kurikulum 2013 atau menerapkan Kurikulum Merdeka Belajar. Pemilihan tersebut bisa didasarkan kesiapan tiap-tiap sekolah. Ada sejumlah alasan mengapa pemerintah dan DPR belum mewajibkan Kurikulum Merdeka Belajar itu diterapkan pada semua satuan pendidikan, baik PAUD, pendidikan dasar, maupun pendidikan menengah pada tahun ajaran baru 2023/2024 ini. Salah satunya ialah pihak legislatif masih perlu melihat sejauh mana efektivitas penerapan kurikulum tersebut. Apakah kurikulum baru memberi ruang yang lebih kepada guru. Apakah kurikulum baru memberikan pembelajaran yang fokus kepada siswa sesuai minat dan bakatnya? Semuanya perlu dievaluasi. Ihwal kesepakatan ‘tidak mewajibkan’ penerapan Kurikulum Merdeka Belajar pada tahun ajaran baru sebenarnya memberi pengakuan bahwa saat ini Indonesia sedang memberlakukan double curriculum atau kurikulum ganda.

Bagi sejumlah sekolah, sebanyak 3.200 satuan pendidikan dari PAUD, SD, SMP, SMA, hingga SMK sesuai dengan target Kemdikbud-Ristek pada 2021 melaksanakan Kurikulum Merdeka. Kepala sekolah dan gurunya memperoleh pelatihan yang memadai. Sekolah tersebut dikenal dengan nama sekolah penggerak. Gurunya dibekali berbagai kemampuan dan keterampilan mengajar sesuai dengan tuntutan kurikulum baru. Mereka dikenal dengan nama guru penggerak. Sementara itu, satuan pendidikan lainnya, yakni PAUD, SD, SMP, SMA, dan SMK, yang secara nasional sebanyak lebih dari 265.250 satuan pendidikan masih menggunakan kurikulum lama atau Kurikulum 2013 (BPS, 2021). Bagi sistem pendidikan nasional, pelaksanaan double curriculum bukan hal baru. Pada 2014, melalui SK Mendikbud Nomor 160 Tahun 2014, dinyatakan pemberlakuan Kurikulum 2013 pada satuan pendidikan yang telah melaksanakan selama tiga semester. Sekolah itu dipandang sebagai rintisan penerapan Kurikulum 2013. Sementara itu, satuan pendidikan yang baru menerapkan satu semester kembali ke Kurikulum 2006. Saat itulah telah berlaku kurikulum ganda. Sejumlah kecil satuan pendidikan melaksanakan Kurikulum 2013 dengan sistem pelatihan dan pendampingan guru yang cukup efektif.

Sementara itu, sebagian besar satuan pendidikan, termasuk sekolah yang sudah melaksanakan Kurikulum 2013 selama satu semester, dengan terpaksa ‘balik kanan’ kembali ke Kurikulum 2006. Sembilan tahun kemudian, siklus kurikulum transisi terulang. Pada akhir 2022, pemerintah bersama DPR bersepakat mengambil sikap Kurikulum Merdeka Belajar diberlakukan bagi satuan pendidikan tertentu, yaitu sekolah penggerak yang gurunya sudah mendapat sistem pelatihan seksama. Sementara itu, satuan pendidikan lainnya, sekolah tersebut tetap menggunakan Kurikulum 2013. Seraya pemerintah melalui Kemdikbud-Ristek melakukan pendampingan, monitoring, dan asesmen terhadap efektivitas kurikulum yang baru. Dalam masa transisi kurikulum ini, sebenarnya Kemdikbud-Ristek telah melakukan antisipasi melalui kebijakan kesiapan implementasi Kurikulum Merdeka. Ada tiga pilihan implementasi Kurikulum Merdeka Jalur mandiri, yaitu mandiri belajar, mandiri berubah, dan mandiri berbagi. Pilihan mandiri belajar, diberikan pada satuan pendidikan untuk mulai ‘noong’ dan menerapkan beberapa bagian dan prinsip Kurikulum Merdeka dengan tetap sekolah yang bersangkutan menggunakan Kurikulum 2013. Pilihan mandiri berubah diberikan kepada satuan pendidikan saat menerapkan Kurikulum Merdeka dengan perangkat ajar yang sudah disediakan. Sementara itu, pilihan mandiri berbagi diperuntukkan bagi satuan pendidikan yang menerapkan Kurikulum Merdeka dengan sendiri berbagai bahan ajar.

Dualisme kebijakan Diterapkannya double curriculum pada satuan pendidikan merupakan risiko atas perubahan kurikulum yang berlaku. Pada periode transisi perubahan kurikulum lama ke kurikulum baru, pilihan diberlakukan kurikulum ganda itu menjadi pilihan arif ketimbang diberlaku­kan perubahan kurikulum secara drastis, serempak pada suatu periode tertentu. Sebagai pembanding, di Amerika Serikat yang menganut sistem peme­rintah federal, setiap negara bagian (states) terkena efek transisi kurikulum ganda itu. Walaupun setiap negara bagian memiliki kurikulum sendiri, dampak transisi kebijakan kurikulum di sekolah atau antarsekolah sangat terasa. Terbitnya Undang-Undang Pemerintah Federal tentang No Child Left Behind (2001) memberi pengaruh pada sistem kebijakan kurikulum di setiap negara bagian. Hal itu juga berdampak pada kebijakan kurikulum di setiap sekolah di seluruh penjuru negeri. Demikian juga di Tiongkok, melalui kebijakan pemerintah Tiongkok yang melaksanakan ‘double reduction’ policy in education (2021) memberi pengaruh pada kebijakan pemerintahan setempat dan sekolah dalam menata ulang sistem kurikulum yang berlaku.

Pada masa transisi itu, tampaknya tak terhindar­kan lahirnya double curriculum, baik secara makro di tingkat provinsi/daerah maupun secara mikro pada satuan pendidikan atau pada sekolah antardaerah. Adanya dualisme kebijakan dalam implementasi kurikulum membuahkan tiga kon­sekuensi utama. Pertama, kurikulum ganda bisa meminimalkan ‘gejolak’, yaitu gejolak pro-kontra para pemangku kepentingan, terutama guru dan kepala sekolah. Bagi satuan pendidikan yang siap dengan perubahan dan inovasi, adanya kebijakan kurikulum baru akan disambut dengan sukacita. Mereka merupakan kelompok pertama sekolah sebagai kategori inovator. Mereka ialah kelompok pertama yang siap merespons inovasi dan pembaruan pendidi­kan. Sementara itu, satuan pendidikan lainnya merupakan kelompok yang dikategorikan sebagai kelompok early adopters (perintis/pelopor), sekolah early majority (pengikut dini) atau sekolah late majority (pengikut akhir), atau malahan mungkin kelompok laggard (kelompok kolot). Melalui kebijakan kuri­kulum ganda, satuan pendidikan (guru dan kepala sekolah) diberi pilihan sesuai kondisi masing-masing.

Baca Juga: Menakar Ulang Kecepatan Pemulihan Ekonomi Global

Seraya pihak pemerintah/Kemdikbud-Ristek memiliki jeda waktu yang cukup untuk mela­kukan difusi inovasi atas pem­berlakuan kurikulum baru. Pen­dampingan dan evaluasi imple­mentasi kurikulum baru bisa dilaksanakan secara sistemis dan optimal di sekolah ‘pilot project’. Sementara itu, sekolah reguler lainnya tanpa merasa ‘kehilangan muka’ masih bisa terus melaksanakan pembim­bingan dan pengkhidmatan bagi proses belajar mengajar di sekolah kendati melalui imple­mentasi kurikulum lama. Kedua, bila tak hati-hati, kurikulum ganda bisa melahirkan ‘kasta baru’ satuan pendidikan. Bagi sekolah yang diberi kesempatan awal sebagai satuan pendidikan yang melaksanakan Kurikulum Mer­deka, akan merasa sebagai se­kolah terbaik.

Sekolah terhormat karena telah diberi label ‘sekolah penggerak’ dan ‘guru penggerak’ dengan segala atribut dan kemudahan akademik dan kemudahan sosial lainnya. Sementara itu, sekolah yang masih melaksanakan Kurikulum 2013 dianggap sebagai sekolah ‘kuno’. Sekolah yang ku­rang tanggap terhadap perubahan. Padahal, dalam kadar tertentu, sekolah yang masih melaksana­kan kurikulum lama bisa juga dipandang sebagai sekolah yang baik. Sekolah dengan bapak ibu guru yang masih dicintai orangtua dan para siswanya. Proses belajar mengajar dilaksanakan dengan sepenuh hati. Para guru secara tulus dan berdedikasi tinggi untuk terus mendampingi siswanya kendati dengan label ‘kurikulum lama’. Inilah yang harus dian­tisipasi.

Dalam jeda fase transisi inilah dua kelompok satuan pendidikan bisa saling berbagi dan saling berempati. Keduanya berbakti untuk masa depan anak bangsa generasi muda. Ketiga, hati-hati kurikulum ganda bisa ‘merepot­kan’. Dalam dimensi perubahan kurikulum, transisi kurikulum merupakan jeda waktu untuk saling tatap (baku sapa) secara akademik dan sosial budaya. Kendati perubahan kurikulum itu tak pernah radikal, selalu ada irisan kesamaan, tetapi banyak juga perbedaannya. Hal itu bisa terlihat dalam aspek peren­canaan, sistem kalender akade­mik, proses pembelajaran, atau­pun sistem asesmen. Dua sistem kurikulum yang berbeda dengan kebijakan yang berbeda pula sudah barang tentu akan mela­hirkan sumber kerepotan dalam manajemen pelayanan di satuan pendidikan.

Kurikulum ganda dipilih sebagai opsi/pilihan terbaik, tetapi bisa merepotkan bila dilaksanakan secara tidak tepat atau mis­manajemen. Kurikulum ganda harus dipandang sebagai periode transisi saling belajar (learning together), saling introspeksi, dan saling proses refleksi. Diperlukan proses komunikasi yang kondusif antara para pelaksana kurikulum (guru dan kepala sekolah, peng­awas) di satu sisi dan para pengambil kebijakan (policy makers) di sisi lain. Guru ialah kelom­pok terdepan (the front providers) dalam pelaksanaan kurikulum. Bahagiakan mereka. Muliakan mereka. Hargai jerih payah mereka. Mereka sesungguhnya kelompok terdepan dalam setiap implementasi kurikulum. Di tangan guru yang berdedikasi, guru yang tulus, kurikulum dipertaruhkan. Oleh: Dinn WahyudinGuru Besar Universitas Pendidikan Indonesia dan Ketua Umum Himpunan Pengembang Kurikulum Indonesia (Hipkin Pusat)