MENTERI adalah sebuah jabatan politik yang berperan penting dalam menentukan arah kebijakan publik soal program kerja kementerian terkait. Sebagai bagian dari pemerintahan, tugas pokok Kementerian Kesehatan ialah merealisasikan Pasal 28 H ayat 1 UUD 1945, yaitu ‘setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin… serta berhak memperoleh layanan kesehatan’.

Selanjutnya, pada Pasal 34 ayat 3 dinyatakan bahwa negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak. Tugas lain yang juga telah diratifikasi negara ialah Deklarasi Universal HAM Pasal 25 yang berbunyi ‘setiap orang berhak atas taraf kehidupan yang memadai untuk kesehatan, kesejahteraan dirinya sendiri, dan keluarganya’.

Landasan berpikir yang menjadi dasar dari semua kebijakan kesehatan sudah seharusnya mengutamakan kepentingan rakyat banyak, bukan kepentingan lain yang seolah-olah mengatasnamakan rakyat banyak. Kebijakan kesehatan yang salah dan menimbulkan kontroversi paling sering disebabkan oleh landasan berpikir yang sesat atau logical fallacy seorang menteri kesehatan.

Logical fallacy terkait tenaga kesehatan WNA

Saat seorang pasien datang dengan keluhan nyeri boyok, sebagai dokter saya tidak akan langsung meminta dilakukan foto rontgen atau bahkan MRI tulang belakang. Pertama-tama saya akan lakukan anamnesis (kumpulan pertanyaan yang terarah terkait anatomi, fungsi, dan mekanisme kerja organ tubuh tertentu). Saya bertanya tentang kualitas nyeri yang dirasakan apakah terus-menerus atau hilang timbul, serta apakah nyeri terbatas pada pinggang atau merambat ke paha sampai kaki.

Baca Juga: NU dalam Dekapan Kekuasaan dan Politik Pemilu 2024

Dari akumulasi informasi awal itu, saya bisa menduga apakah penyebab nyeri pada pasien itu terkait batu ginjal, atau kerusakan sendi panggul, atau saraf terjepit di tulang belakang. Dari dugaan itu, saya akan meminta dilakukan satu pemeriksaan penunjang yang paling sesuai apakah itu foto rontgen, atau USG, atau MRI, bukan semuanya.

Pola pikir seperti di atas itu merupakan logika dasar terkait sains kedokteran, berlaku untuk semua penyakit pada semua organ tubuh manusia. Anamnesis yang baik ialah 70%-80% informasi untuk sampai pada diagnosis yang benar. Tanpa anamnesis yang baik, semakin besar risiko terjadinya salah dignosis dan salah pengobatan. Anamnesis yang baik hanya bisa dilakukan bila dokter dan pasien bisa berkomunikasi dalam bahasa yang sama.

Berangkat dari pikiran sesat bahwa semua penyakit akan bisa diketahui dengan kemajuan teknologi (genomik, foto MRI, dll) tanpa perlu anamnesis memunculkan PMK No 6/2023 tentang Dokter WNA. PMK itu bahkan tidak mengharuskan dokter WNA untuk bisa berbahasa Indonesia (Pasal 10 ayat 4: ‘…juga memiliki kemampuan berbahasa Indonesia yang dapat dipenuhi setelah TK-WNA didayagunakan’.

Selain itu, terkait kegiatan baksos (Pasal 24) ayat 7 menyebutkan ‘TK-WNA dikecualikan dari kewajiban mampu berbahasa Indonesia’ (https://kumparan.com/zainalmuttaqin/20BBVnLxKHB?).

Tanpa anamnesis yang baik, dokter akan cenderung memanfaatkan semua fasilitas pemeriksaan penunjang yang dimiliki RS yang tentu saja berakibat pada pemborosan sumber daya diagnostik, dan tentu saja keuangan. Pertanyaannya, kebijakan itu dibuat untuk apa dan untuk kepentingan siapa?

Logical fallacy terkait kompleksitas pendidikan dokter

Prinsip dasar ilmu kedokteran, yaitu ‘do no harm’ (tidak seorang pun boleh mengalami cedera saat berupaya mencari pertolongan medis), demikian menurut WHO. Pendidikan dokter dan dokter spesialis bertujuan menghasilkan manusia yang memiliki kompetensi berlandaskan pengetahuan kedokteran yang cukup (body of knowledge) serta memiliki landasan etika dan profesionalitas dalam menerapkan ilmunya.

Dokter harus selalu kompeten dengan selalu memperbarui pengetahuan dan keterampilannya demi penyelenggaraan praktik kedokteran yang mengutamakan patient safety. Untuk tujuan itu, disusunlah standar pendidikan dokter dan standar pendidikan dokter spesialis setiap bidang ilmu.

Tubuh manusia tersusun atas berbagai organ (paru, jantung, ginjal, otak, dll) dan sistem (sistem pencernaan, sistem pernafasan, sistem sirkulasi darah, dsb) yang bekerja terintegrasi dan terkoordinasi satu sama lain. Perubahan warna pada selaput luar mata (sklera) bisa menjadi petunjuk adanya gangguan fungsi hati, gangguan pendengaran bisa jadi petunjuk dosis antibiotika yang berlebih, sedangkan sakit perut yang terus berulang bisa jadi suatu bentuk gejala serangan epilepsi lobus temporalis.

Kompleksitas dan luasnya ilmu yang mesti dikuasai serta variasi berbagai macam gejala yang bisa berbeda dari penyakit yang sama atau sebaliknya gejala yang sama dari penyakit yang berbeda. Penguasaan pengetahuan serta iptekdok yang terus berkembang ini mengharuskan pengalaman dengan variasi kasus yang cukup. Karena itu, membuat setidaknya perlu 6 tahun untuk pendidikan dokter, 4-6 tahun untuk pendidikan dokter spesialis, dan 2 tahun pendidikan subspesialis.

Tidak adanya pemahaman komprehensif terkait pendidikan profesi dokter serta nafsu jahat untuk mengambil alih peran organisasi profesi dalam menjaga kualitas luaran pendidikan profesi telah memunculkan banyak pikiran sesat di kalangan para pejabat penentu kebijakan kesehatan terkait pendidikan dokter dan praktik profesi dokter.

Terkait tingginya angka kematian akibat serangan jantung, Menkes membuat program unggulan untuk secepatnya menyediakan fasilitas pasang ring jantung (cathlab) untuk 514 RSUD kabupaten/kota (menurut informasi, tahun ini saja cathlab sudah akan tersedia pada setidaknya 200 RSUD). Tentu saja alat itu tidak mungkin dioperasionalkan tanpa kehadiran dokter jantung subspesialis intervensi.

Pengadaan cathlab untuk ke-514 RSUD ini saja dilakukan atas dasar pikiran sesat, bahwa kematian pada pasien jantung hanya bisa dicegah dengan pasang ring jantung. Padahal, rilis dari Papdi (Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia) (https://www.kompas.id/baca/opini/2023/06/25/rapor-kesehatan-kita) menjelaskan bahwa untuk 9,4 juta kasus jantung tersedia 169.000 dokter umum, 5380 spesialis penyakit dalam, dan 1500 spesialis dan subspesialis jantung.

Semua nakes, bahkan tenaga nonmedis, punya peran sesuai tingkatannya untuk menangani penyakit jantung. Pengobatan hipertensi oleh dokter umum di puskesmas dan pendidikan pola makan dan pola hidup sehat oleh semua nakes, ahli gizi, bahkan kader PKK, bukan cuma mencegah kematian, melainkan juga mencegah sakit jantung.

Bagi dokter spesialis jantung, untuk bisa dinyatakan kompeten melakukan tindakan intervensi (memasang ring jantung), perlu tambahan pendidikan 1 tahun dengan pemenuhan jumlah dan variasi kasus. Jadi, perlu waktu minimal 6 tahun setelah lulus dokter untuk dinyatakan kompe­ten memasang stent jantung. Ketentuan tentang standar pendidikan dokter spesialis dan subspesialis jantung itu sudah ada dalam Peraturan Konsil Kedokteran (Perkonsil).

Selain pikiran sesat tentang pengobatan penyakit jantung, tidak adanya pemahaman terkait kompleksitas keilmuan spesialis dan subspesialis, waktu 6 tahun setelah lulus dokter untuk dinyatakan kompeten pasang ring jantung dianggap terlalu lama. Karena itu, muncul usulan agar dokter umum dengan pelatihan selama 6 bulan bisa diberikan kompetensi untuk pasang ring jantung.

Betapa konyol dan berbahaya pikiran sesat yang menganggap pasang ring jantung cuma keterampilan teknik vokasi yang bisa diajarkan seperti pelatihan montir mobil di sebuah balai latihan kerja (BLK). Itu bukan sekadar keterampilan memasukkan kateter dan memasang ring jantung. Selain basic medical knowledge, di sini perlu body of knowledge terkait indikasi, kontraindikasi, dan potensi komplikasi yang hanya dimiliki oleh dokter spesialis/subspesialis jantung.

Tentu saja usulan konyol itu ditolak oleh Perki (Perhimpunan Spesialis Jantung) karena jelas tidak memenuhi standar pendidikan, standar kompetensi, dan standar praktik profesi.

Semua itu tentu sulit dipahami oleh siapa pun, bahkan presiden sekalipun, yang sama sekali tidak memiliki basic knowledge tentang kedokteran dan praktik profesi dokter. Apalagi bila memang ada kepentingan lain yang mengatasnamakan rakyat banyak di balik pengadaan alat cathlab untuk 514 RSUD tersebut.

Dari uraian di atas, jelas bahwa logical fallacy atau pikiran sesat seorang menkes amat berbahaya karena pada gilirannya akan memunculkan berbagai kebijakan dan peraturan yang bisa mengacaukan layanan kesehatan yang berkualitas dan terjangkau bagi semua orang (seperti PMK 6-2023 tentang TK-WNA dan banyak pasal-pasal dalam UU Kesehatan), bahkan berpotensi merusak sistem pendidikan spesialis dan subspesialis yang sudah baku dengan menguasai Konsil dan  Kolegium (https://m.mediaindonesia.com/opini/632977/peran-penting-kolegium-kedokteran-spesialis).

Jangan-jangan, karena tingginya kematian akibat kanker payudara, akan dibuka pendidikan bedah onkologi khusus payudara dengan waktu lebih pendek, dari sarjana kedokteran (SKed-4 tahun), tanpa harus jadi dokter umum, langsung hanya belajar tentang payudara saja selama setahun, dijamin pasti bisa jadi ‘tukang operasi’ dan menguasai teknik operasi payudara paling mutakhir.

Atau demi terpenuhinya jumlah spesialis mata yang mendesak, SKed ini dibolehkan langsung belajar khusus tentang mata saja selama 1 tahun untuk jadi ‘spe­-sialis mata’ (toh, nanti praktiknya hanya tentang ‘ata saja)? Na’udzubillahi min dzalik. Oleh: Zainal Muttaqin Dokter spesialis bedah saraf, praktisi pendidikan dokter, dan Guru Besar Fakultas Kedokteran Undip.(*)