Tak terasa bulan Ramadan tahun ini telah datang. Kehadiran bulan yang sangat dinantikan oleh muslimin di seluruh penjuru dunia pada tahun ini terasa spesial. Betapa tidak, terjadinya pandemi membuat beberapa aktivitas ibadah pada dua periode bulan Ramadan ke belakang cukup terbatas.

Tahun ini, seiring dengan mulai membaiknya kondisi pandemi, pemerintah memberikan kelonggaran dalam pelaksanaan aktivitas ibadah Ramadan.

Tentu dengan penerapan protokol kesehatan yang tetap harus dijaga. Dari sisi ekonomi, perkiraan kembali semaraknya Ramadhan juga diperkirakan semakin menggerakkan sektor riil.

Kehadiran para pedagang kaki lima di berbagai titik di kota yang menyediakan beragam panganan untuk berbuka puasa serta berbagai barang lainnya tentu menjadi indikator utamanya.

Kehadiran para pedagang kaki lima tersebut tentunya sejalan dengan meningkatnya kebutuhan di masyarakat.

Baca Juga: Memahami Manajemen Pengelolaan Dana BOS

Budaya menyajikan hidangan berbuka yang terbaik bagi keluarganya di tengah terbatasnya waktu karena kesibukan bekerja membuat kebanyakan orang lebih memilih untuk melirik alternatif hidangan siap saji.

Pun, hampir setiap masjid juga menyediakan takjil terbaik untuk berbuka puasa dengan ragam aneka hidangan dalam jumlah yang umumnya cukup banyak. Berbagai fenomena tersebut menjadi contoh nyata adanya peningkatan permintaan di masyarakat, terutama bahan makanan, yang akan terus berlangsung hingga Idulfitri bulan depan.

Dalam sudut pandang teori ekonomi, peningkatan permintaan di masyarakat sudah pasti akan direspon oleh peningkatan harga. Meningkatnya harga dapat terjadi karena jumlah stok komoditas yang tidak sebanding dengan permintaan, atau dapat juga terjadi akibat meningkatnya ekspektasi masyarakat yang berpengaruh pada harga barang dan jasa.

Gejolak harga bahan makanan pada bulan Ramadan tersebut lazimnya turut berdampak pada tingginya inflasi harga barang dan jasa secara keseluruhan pada bulan masehi yang terdapat periode Ramadan-Idulfitri di dalamnya.

Sebagai contoh, mari kita lihat gambaran inflasi pada periode Ramadan-Idulfitri 2019 lalu. Tahun 2019 dipilih karena memiliki karakteristik periode Ramadan-Idulfitri yang mirip dengan tahun ini. Ramadan tahun 2019 dimulai pada awal bulan (6 Mei 2019), mirip dengan Ramadan tahun ini yang diperkirakan akan dimulai pada 2 April 2022.

Dengan demikian, hampir keseluruhan hari pada bulan Mei 2019 maupun April 2022 merupakan bulan Ramadan sehingga kita dapat memperkirakan dampak inflasinya secara lebih berimbang di antara kedua tahun tersebut.

Selain itu, memperhatikan adanya pelonggaran dalam pelaksanaan aktivitas di bulan Ramadan tahun ini, maka diperkirakan kondisi Ramadan tahun ini akan lebih mirip dengan tahun 2019 ketimbang tahun 2020 dan 2021 yang terdampak pandemi cukup berat.

Berdasarkan data BPS Provinsi Maluku, inflasi bulanan Maluku pada bulan Mei 2019 (tanggal awal Ramadan pada 6 Mei) dan Juni 2019 (tanggal Idulfitri pada 6 Juni) masing-masing tercatat sebesar 1,27% (mtm) dan 0,47% (mtm). Dari angka inflasi tersebut, kelompok komoditas makanan, minuman dan tembakau memberikan sumbangan masing-masing sebesar 0,83% dan 0,23% terhadap inflasi yang terjadi pada bulan Mei dan Juni 2019. Dengan kata lain, pada bulan Mei dan Juni 2019, sekitar 65% dan hampir 50% inflasi yang terjadi disebabkan oleh kelompok komoditas tersebut.

Mencermati fenomena tersebut, lantas bagaimana dengan prospek inflasi di Maluku pada periode Ramadan di tahun 2022 ini? Untuk memperkirakannya, tentunya kita harus melihat pergerakan tingkat harga barang dan jasa saat ini terlebih dahulu, khususnya komoditas yang masuk dalam kelompok makanan, minuman dan tembakau.

Berdasarkan data inflasi yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS), pada Maret 2022 lalu Maluku mencatatkan inflasi sebesar 0,44% (month to month/mtm). Angka ini meningkat dari bulan Februari 2022 yang mencatatkan deflasi -0,48% (mtm).

Meningkatnya inflasi pada Maret 2022 ini tidak lepas dari kenaikan harga pada sejumlah komoditas, antara lain tarif angkutan udara, cabai rawit, bawang merah, tahu mentah dan emas perhiasan.

Kenaikan tarif angkutan udara dan emas perhiasan terjadi akibat tekanan pada sisi permintaan, sementara kenaikan ketiga komoditas lainnya lebih disebabkan oleh tekanan pada sisi penawarannya.

Kenaikan terhadap ketiga komoditas tersebut juga masih berpeluang besar untuk berlanjut seiring dengan potensi kenaikan permintaannya pada periode Ramadan hingga Idulfitri tahun ini.

Memasuki bulan April 2022, di luar fenomena Ramadan, juga telah terdapat sejumlah potensi tekanan harga yang menanti. Mulai dari kenaikan yang berlaku nasional seperti pada harga bahan bakar minyak (BBM) jenis Pertalite maupun bahan bakar rumah tangga (BBRT) jenis Liquid Petroleum Gas (LPG) non subsidi, hingga tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 11%.

Pada lingkup Maluku sendiri, mulai April 2022 juga akan diberlakukan penyesuaian tarif penyeberangan laut pada rute Hunimua-Waipirit dan Galala-Namlea. Selain itu, kenaikan harga pada komoditas minyak goreng yang terjadi pada pertengahan Maret 2022 lalu diperkirakan baru akan terlihat dampaknya terhadap inflasi pada April 2021 ini.

Semua potensi gejolak harga yang dapat muncul pada periode Ramadan tahun 2022 ini sekaligus kembali menjadi test case bagi kinerja Tim Pengendalian Inflasi Daerah (TPID), baik pada level provinsi hingga kabupaten/kota. Khusus di tingkat provinsi, TPID telah menyusun Roadmap Pengendalian Inflasi 2022-2024 yang bertumpu pada strategi 4K (Keterjangkauan Harga, Ketersediaan Pasokan, Kelancaran Distribusi dan Komunikasi Efektif).

Tidak berlebihan rasanya jika untuk meredam gejolak inflasi yang berpotensi besar terjadi pada bulan April 2022 sekaligus bulan Ramadan tahun ini TPID harus mengerahkan program-program kerjanya yang telah disusun berdasar strategi 4K tersebut secara optimal.

Beberapa program kerja TPID yang rutin dilakukan pada saat bulan Ramadan maupun hari-hari besar keagamaan lainnya antara lain turun langsung ke pasar maupun ke gudang-gudang distributor bersama Satgas Pangan untuk memantau distribusi maupun pergerakan harga bahan makanan pokok. Selain itu juga dilakukan berbagai program lainnya seperti pasar murah, operasi pasar hingga sosialisasi ‘bijak berbelanja’.

Khusus terkait sosialisasi ‘bijak berbelanja’, kiranya perlu upaya persuasif untuk menanamkan hal tersebut kepada umat muslim (serta masyarakat umum) sebagai bagian dari inti ibadah puasa Ramadan, yakni pentingnya melakukan pengendalian diri termasuk dalam urusan konsumsi.

Peran pemuka agama sangat diperlukan untuk memberikan materi-materi ceramah terkait hal ini agar dapat diterima dan dipahami oleh masyarakat luas. Informasi yang jelas terkait ketersediaan stok dan pergerakan harga komoditas juga diperlukan sebagai bagian dari upaya persuasi kepada masyarakat terkait ‘bijak berbelanja’ ini.

Tanpa bermaksud membatasi kemeriahan Ramadan sebagai salah satu budaya positif yang sudah mengakar di tengah kita, tentu ada baiknya bila kemeriahan tersebut tetap disertai sikap kritis dalam ruang diri kita pribadi untuk dapat lebih mengendalikan aspek yang bersifat konsumtif.

Di luar kebutuhan untuk beramal, rasanya kita cukup mampu memilah dan memilih kebutuhan bahan makanan yang diperlukan guna konsumsi pribadi, khususnya untuk sahur dan berbuka puasa. Dengan demikian, kita juga dapat lebih memfokuskan diri kepada aspek ibadah guna memperoleh keberkahan optimal dari hadirnya Ramadan.

Dalam lingkup yang lain, pengendalian diri dalam mengatasi konsumsi yang berlebihan juga menjadi kontribusi nyata kita semua dalam mendukung upaya pengendalian inflasi di Maluku, khususnya pada Ramadan tahun ini. Terkendalinya inflasi pada periode Ramadan-Idulfitri akan menjadi modal yang sangat berharga untuk menjaga arah pencapaian target inflasi tahun ini pada rentang 3,0+1% (yoy).

Akhirnya, selamat menjalankan ibadah puasa Ramadan, semoga kita bisa menjadikan bulan suci ini sebagai sarana melatih pengendalian diri menjadi semakin baik lagi. Tulisan merupakan opini pribadi Riski Ekonomi Bank Indonesia dan tidak mewakili pendapat lembaga.