BILA saat ini—tulis Doni Kusuma (Media Indonesia, 21/6)—di hadapan kita hadir Bapak Pendidikan Nasional Ki Hadjar Dewantara, dan kita bertanya prioritas apa yang harus dilakukan untuk menyelamatkan pendidikan anak-anak ini, jawab beliau pasti tegas dan jelas; pendidikan adalah tuntunan di dalam hidup dan tumbuhnya anak-anak. Bagi Ki Hadjar—tulis Doni Kusuma lebih lanjut—keselamatan anak-anak lebih utama karena inilah tujuan pendidikan. Pada saat ini, dunia pendidikan dihadapkan pada situasi dilematis, yaitu tuntutan pentingnya menjaga keselamatan/kesehatan siswa dan ‘ancaman’ akan kehilangan kesempatan belajar (learning loss), yang akan berdampak pada kehidupan dan masa depan siswa secara lebih luas. Meskipun sebenarnya apabila proses switching mentality/mindset di kalangan pengambil kebijakan, guru, dan pemangku pendidikan lainnya sudah terjadi selama satu setengah tahun terakhir ini, kecemasan itu sebenarnya tidak mesti dilihat sebagai hitam putih, yang sayangnya terus dikapitalisasi, sehingga pembelajaran tatap muka (PTM) pada tahun ajaran baru pada pertengahan Juli 2021 ini sepertinya merupakan satu-satunya pilihan. Namun, dengan merebaknya kasus baru covid-19, PTM tampaknya harus ditunda.

Belajar dari pengalaman selama satu setengah tahun terakhir ini, pilihan yang bijak Kemendik­budristek saat ini ialah menerima (embrace) pandemi sebagai sebuah keniscayaan. Sembari terus membantu guru dan manajemen sekolah memperbaiki pola komunikasi dengan orangtua dan siswa, serta mendorong perbaikan sarana, strategi, dan pendekatan pembelajaran yang tersedia dan digunakan selama ini. Karena pandemi sebenarnya tidak harus selalu dilihat dari sisi negatif yang telah membatasi ruang gerak fisik masyarakat dan mengganggu proses pembelajaran.

Pandemi kenyataannya juga sudah berhasil menghadirkan beberapa dorongan akselerasi bagi munculnya berbagai inovasi pendidikan, baik yang diinisiasi oleh pemerintah berupa akselerasi pembelajaran daring, modul pembelajaran, inovasi kurikulum, dan lainnya. Inisiatif yang muncul dan berserak di masyarakat juga terus tumbuh dan berkembang jumlahnya, seperti gerakan relawan pendidikan, berbagai donasi pandemi untuk pendidikan.” (Media Indonesia, 28/6).

Komunitas daring  Berkaca dari pengalaman belajar Gaurav Bhogale yang cukup inspiratif, sebagaimana ia tuangkan dalam MBA Blog, Harvard Business School (2021), guru kita juga dapat melakukan aktivitas serupa, yakni membangun komunitas daring (online community). Pandemi telah memisahkan guru dan guru juga dengan siswa secara fisik, bahkan untuk sebagian dari mereka sudah berlangsung selama lebih dari satu tahun. Dengan komunitas daring akan dapat membawa hubungan guru lebih dekat secara emosional dan menciptakan rasa kebersamaan dalam menghadapi tantangan pendidikan di masa pandemi ini. Dari pengalaman Sekolah Sukma Bangsa (Aceh), banyak guru meskipun harus tersandung selama berdiskusi dalam forum penguatan (capacity building) melalui Zoom, khususnya pada bulan-bulan pertama–banyak di antaranya masih bisu (muted) ketika harus membuat komentar. Namun, guru mulai saling membantu bersamaan dengan kemajuan yang mereka ciptakan sendiri.

Selain hubungan bersifat profesional, hubungan emosional juga banyak terbantu. Pembatasan ruang gerak fisik bukan hanya berdampak secara ekonomi, tapi telah menyebabkan gangguan emosional pada sebagian masyarakat, termasuk guru dan siswa. Komunitas daring tentunya akan dapat menjadi sarana bagi guru untuk saling membantu dan meringankan beban psikologi yang mereka alami selama ini. Selain itu, pembelajaran berbasis proyek, yang beberapa di antaranya dikerjakan secara terintegrasi dengan melibatkan beberapa disiplin ilmu, akan dapat menumbuhkan kemampuan kerja sama dan berbagi pengetahuan dan informasi baru di kalangan guru dalam mendesain dan menyampaikan (delivery) pembelajaran kepada siswa. Sebagaimana dipahami bahwa pembelajaran berbasis proyek ini mengajarkan siswa untuk dapat bereksplorasi pada hal yang belum diketahui sebelumnya. Mereka harus membuat keputusan yang tepat sambil menghadapi kendala sumber daya dan waktu yang terbatas. Kebaikan pembelajaran berbasis proyek ini adalah ia akan melatih siswa memecahkan masalah rumit menjadi terperinci. Selain itu, melatih mereka setiap hari untuk mengembangkan kerangka kerja mental yang ketat guna menangani dan memecahkan masalah.

Baca Juga: Covid-19, Konsumsi Sayur dan Buah

Guru reflektif dan evaluatif  Refleksi diri penting dan sangat membantu guru dalam merencanakan pembelajaran yang efektif. Refleksi berarti berpikir evaluatif terhadap hasil suatu pekerjaan. Evaluasi dilakukan mulai dari tahap perencanaan, pelaksanaan, dan hasil. Visible Learning Data Base, yang dimotori John Hattie (2020), telah berhasil mengindentifikasi pengaruh keberhasilan belajar siswa mulai dari yang tinggi hingga rendah. Mereka berhasil mengidentifikasi dua dimensi besar; keahlian guru dan berbagai strategi pembelajaran siswa. Ternyata, menurut Hattie (2020), “Dampak besar pada pembelajaran siswa lebih disebabkan bagaimana guru berpikir daripada apa yang dilakukan siswa, dan mereka telah menyelidiki secara spesifik cara berpikir itu disebut pemikiran evaluatif, yang melibatkan; (1) penalaran dan pemikiran kritis dalam menilai bukti (dari berbagai sumber) yang mengarah pada keputusan pengajaran, (2) menjaga konsistensi implementasi, (3) terus-menerus memeriksa konsekuensi yang tidak diinginkan, (4) menyelidiki kemungkinan bias dalam berpikir yang dapat mengarah pada kesimpulan yang salah, (5) menjelaskan kepada kolega guru dan siswa tentang apa yang dimaksud dengan ‘dampak’ dan terus berupaya untuk mengetahui ‘dampak’ itu, dan selanjutnya (6) memahami sudut pandang lain (guru dan siswa) tentang dampak yang mengarah pada penilaian nilai atau nilai. Pemikiran evaluatif ini, menurut Hattie (2020), mengarah pada keseimbangan permukaan (isi) dan kedalaman (hubungan, transfer) yang lebih dapat dipertahankan dalam pelajaran, tugas, dan umpan balik.

Sebuah praktik yang diinformasikan oleh pemikiran evaluatif juga membuat pembelajaran lebih mengundang siswa untuk bersedia berpartisipasi. Berfokus hanya pada apa yang dilakukan, berbagi sumber daya, dan hanya menonton orang lain mengajar akan berisiko kehilangan kedalaman pemikiran evaluatif ini. Gagasan sederhana yang banyak dikemukakan bahwa yang dibutuhkan hanyalah pelajaran yang hebat, dan bahkan seorang pemula dapat menjadi guru yang hebat dalam semalam (atau dalam 6 minggu), adalah penolakan total terhadap keterampilan dalam mengembangkan pemikiran evaluatif (Hattie: 2020). “Masalah utama yang kita hadapi saat ini, bagaimanapun, adalah bahwa begitu banyak pendidik menyangkal keahlian mereka sendiri. Mereka lebih memuji siswa karena termotivasi, berusaha keras, dan bertahan dengan tingkat ketabahan yang tinggi dalam menyelesaikan masalah rumit dan pola pikir yang berkembang untuk menyelesaikan tugas.” (Hattie, 2020). Padahal, menurut Hattie (2020), “Gurulah sebenarnya yang meningkatkan pembelajaran siswa– ya dengan mereka, mereka sering kali menjadi penyebab peningkatan pembelajaran. Sampai guru mampu meyakinkan bahwa mereka yang menyebabkan perbaikan kualitas belajar siswa, guru akan terus dilihat pihak lain hanya sebagai penjaga (care giver), pemberi pelajaran yang tugas dan fungsinya dapat digantikan oleh AI dan komputer, sehingga pantas mendapatkan gaji dan rasa hormat yang rendah.

Pembelajaran online terkait pandemi telah menunjukkan kepada orangtua dan wali siswa bahwa ada tingkat keahlian yang luar biasa dalam mengajar. Jadi, sekarang adalah waktu yang tepat untuk berbicara dan berinvestasi dalam keahlian pendidik.” (Hattie: 2020). Wallahu a’lam.( Syamsir Alam, Divisi Pengembangan Kurikulum dan Penilaian Yayasan Sukma)