“BAKAT itu seperti tunas, perlu disirami, diberi pupuk, dan dijaga agar menjadi pohon yang besar dan kuat. Jadikan anda dan rumah sebagai tempat yang subur untuk mengembangkan bakat anak dengan pendekatan praktis dan manusiwi”.  Itu merupakan dua kalimat Munif Chatib (konsultan pendidikan) dalam bukunya yang berjudul Orang Tuanya Manusia (2015), menyimpulkan bahwa untuk mengembangkan bakat anak membutuhkan dukungan dari lingkungan. Ada hubungan erat antara bakat dan cita-cita. Pada 2019, dikutip dari CNBC, perusahaan produksi mainan Lego, melakukan survei kepada 3.000 anak berusia antara 8-12 tahun dari AS dan Tiongkok.

Survei juga melibatkan 326 orang tua yang memiliki anak berusia antara 5-12 tahun. Hampir sepertiga dari anak-anak dalam survei mengatakan mereka ingin menjadi YouTuber ketika tumbuh dewasa.  Dari penelitian tersebut dapat disimpulkan bahwa terdapat cita-cita ‘baru’ dan tidak menutup kemungkinan juga hal tersebut terdapat di Indonesia. Namun, kebanyakan orang tua di Indonesia mengarahkan cita-cita sesuai dengan keinginannya atau profesi yang saat ini digeluti orang tua. Padahal, belum tentu sang anak juga memiliki keinginan yang sama. Hal ini tanda disadari dapat membunuh bakat anak.  Pada akhir 2015, murid kami mendapatkan surat dari Kemendikbud yang berisi pemberitahuan sebagai finalis lomba. Ia berhasil masuk sepuluh besar lomba menulis cerpen (LMC) nasional yang diikuti ribuan siswa SMP di Indonesia, dan diundang mengikuti grand final di Bogor, Jawa Barat. Kesan bahagia tentu mendominasi, tapi kesan tak menyangka yang waktu itu saya rasakan pertama kali.

Prestasi tersebut begitu mengesankan, lantaran murid kami tersebut sebelumnya tidak memiliki jejak prestasi sama sekali. Sebelumnya, kami hanya mendapati bahwa ia hobi membaca dan menulis. Menyadari hal tersebut, ia kami arahkan untuk mengikuti kelas menulis. Pertama kali ia mengikuti lomba dan hasilnya di luar dugaan. Pada 2016, saya menjadi ketua festival bahasa tingkat SD/sederajat se Jawa-Bali. Kompetisi tersebut bertujuan untuk menggali bakat anak terutama dari aspek public speaking bahasa Indonesia, Inggris, dan Arab (ada lima cabang lomba). Dari kompetisi yang diikuti oleh ratusan peserta tersebut munculah 15 nama-nama juara. Saya sempat berbincang-bincang dengan beberapa guru pendamping siswa-siswa peraih juara tersebut.

Dari situ terungkaplah fakta bahwa ada siswa yang memang sudah kesekian kali meraih tangga juara pada kompetisi yang sama. Namun, ada pula siswa yang baru pertama mengukirkan namanya. Saat itu, saya simpulkan bahwa siswa yang kerap menjadi juara merupakan siswa yang sudah menemukan bakatnya dan terus diasah. Sedangkan yang baru mendapatkan juara merupakan awal penemuan bakatnya. Mengenali bakat anak Dalam bukunya, Munif Chatib menjelaskan bahwa awalmya rasa ingin tahu anak membuatnya melakukan aktivitas yang diulang-ulang.

Dari aktivitas itulah akan muncul rasa suka. Rasa suka itulah yang dapat diartikan sebagai ‘kemungkinan bakat’, sebab tidak semua aktivitas yang disukai anak adalah bakatnya. Mungkin dia hanya mengikuti temannya, lalu hanya dalam beberapa saat dia meninggalkan aktivitas tersebut. Ada beberapa hal yang dapat dijadikan tanda bahwa anak memiliki bakat pada bidang tertentu, yaitu bakat itu fast learner, bakat terus mencari jalan keluar, bakat menghasilkan karya. Pertama, bakat itu fast learner, disebut demikian, ketika seorang anak yang memiliki bakat akan belajar sesuatu dengan cepat. Hal tersebut bisa dilihat dari kisah Joey Alexander yang berhasil meraih penghargaan di Grammy Award pada Februari 2016. Pianis muda yang saat itu masih berusia 12 tahun mendapat keahlian bermain piano secara otodidak pada umur 6 tahun.

Baca Juga: DJPb KEBANGGAANKU

Bakatnya bermain musik menurun dari kedua orang tuanya dan terus diasah di lingkungan yang mendukung. Kedua, bakat terus mencari jalan keluar. Ketika seorang anak menyukai suatu aktivitas tapi memiliki kendala, ia akan mencari pemecahan terhadap masalah tersebut. Semisal, seperti yang saya contohkan pada awal tulisan ini. Walaupun di sekolah boarding/asrama yang di situ banyak sekali kegiatan setiap harinya, tapi murid kami yang menjadi salah satu juara LMC tersebut selalu berhasil memanfaatkan waktunya untuk membaca dan menulis. Ketiga, bakat menghasilkan karya.

 

Salah seorang murid saya sering sekali menggambar di bukunya. Mengetahui hal tersebut, kami membimbingnya untuk mengembangkan bakatnya dan mengikutsertakan pada lomba kaligrafi. Pada kesempatan pertama memang ia belum juara. Akan tetapi, pada kesempatan selanjutnya, ia berhasil menjadi juara. Di tengah pendemi saat ini mengakibatkan pembelajaran beralih ke daring. Alhasil, waktu anak 24 jam berada di rumah bersama orang tua. Ini merupakan kesempatan emas. Mari perhatikan apa yang dilakukan anak-anak kita selama di rumah. Aktivitas apa yang tetap mereka lakukan meskipun keadaannya tidak mendukung.       Kenali bakat anak-anak kita sejak dini. Perhatikan secara menyeluruh minat apa yang mereka sering geluti. Perlu kita pahamkan pada diri kita masing-masing bahwa setiap anak memiliki bakat dan mereka merupakan juara.

Dukungan orang tualah yang menuntun mereka menuju gerbang kesuksesan. Mari bantu mereka membuka gerbang itu.( Wildan Pradistya Putra, Pendidik di Tazkia International Islamic Boarding School (IIBS) Malang)