DALAM dua pekan terakhir Agustus 2023, Jakarta berada di peringkat pertama sebagai kota dengan polusi udara terburuk di dunia berdasarkan data IQAir. Pada musim kemarau seperti ini, juga bertiup angin timur yang kering serta membawa debu dan partikel ber­bahaya yang lebih banyak. Apa yang mencemaskan?

Polusi udara akan meningkatkan risiko anak mengalami pneumonia atau radang paru-paru. Ini adalah satu-satunya penyebab kematian oleh penyakit infeksi terbesar pada pasien dewasa dan anak, termasuk saat pandemi covid-19 yang lalu. Tidak ada infeksi lain yang menyebabkan beban kematian setinggi ini sehingga pneumonia bahkan disebut sebagai pem­bu­nuh terlupakan selama COP 26, Konferensi Perubahan Iklim PBB yang juga dihadiri oleh Presiden Joko Widodo di Glasgow, Skotlandia. Konferensi tersebut adalah momen penting untuk menyatukan komunitas kesehatan global memperbaiki kualitas udara dan iklim dalam mengatasi pneumonia sebagai pembunuh menular terbesar di planet ini.

Polusi udara adalah faktor risiko utama kematian akibat pneumonia di semua kelompok umur. Hampir sepertiga dari semua kematian akibat pneumonia disebabkan oleh udara yang tercemar, yang mene­waskan sekitar 749.200 pada tahun 2019. Polusi udara rumah tangga berkontribusi pada 423.000 kematian ini, sementara polusi udara luar ruangan berkontribusi terhadap 326.000 kematian lainnya.

Bayi atau yang paling muda dan lansia, atau yang sangat tua, adalah kelompok usia yang paling berisiko. Bayi dan anak lebih rentan terhadap polusi udara rumah tangga, terutama yang tinggal di rumah yang secara teratur menggunakan bahan bakar dan teknologi yang berpolusi untuk memasak, memanaskan, dan pene­rangan. Adapun polusi udara luar ruangan, terutama dari polutan yang dikeluarkan oleh industri dan asap knalpot mobil, secara tidak proporsional memengaruhi kesehatan organ pernapasan di antara orang dewasa yang lebih tua.

Sebanyak 90% kematian terkait polusi udara terkonsentrasi di 40 negara berpenghasilan rendah dan menengah. Di banyak negara Afrika, polusi udara menyumbang lebih dari 50% dari semua kematian akibat pneumonia. Untuk sementara kematian pneumonia akibat polusi udara dalam rumah tangga menurun di Afrika. Namun, di saat yang bersamaan, secara tragis justru meningkat sebagai akibat dari polusi udara luar ruangan. Hal serupa juga berlaku untuk Asia, termasuk Indonesia.

Baca Juga: Dampak Kekeringan: Rawan Pangan, Sosial, dan Kesehatan

Pneumonia tidak hanya berdampak pada individu anak, tetapi juga saudara kandung yang mungkin tidak lagi dapat bersekolah. Karena orangtua mereka merawat anak yang sakit, atau sumber keuangan yang sudah semakin langka, harus dialihkan dari biaya sekolah menjadi untuk membayar biaya pengobatan. Itulah mengapa sangat penting untuk mempromosikan serangkaian praktik kesehatan demi menghindari pneumonia sejak awal kehidupan anak, yakni dengan ASI eksklusif selama 6 bulan pertama kehidupan, nutrisi yang cukup, dan suplementasi vitamin A.

Pemberian ASI eksklusif selama 6 bulan pertama kehidupan merupakan komponen kunci untuk mem­perkuat sistem kekebalan bayi. Bayi yang disusui secara eksklusif memiliki risiko infeksi dan penyakit parah, termasuk pnemonia, yang lebih rendah daripada mereka yang kekurangan sumber antibodi penting ini dari ibu. ASI eksklusif dapat menyebabkan penurunan 23% kejadian pneumonia. Bayi usia 0-5 bulan yang tidak disusui sama sekali menghadapi risiko kematian akibat pneumonia yang sangat besar, bahkan mencapai 15 kali lebih mungkin meninggal karena pneumonia jika dibandingkan dengan bayi yang disusui secara eksklusif.

Nutrisi yang cukup membantu memastikan sistem kekebalan berfungsi dengan baik untuk melindungi anak dari pneumonia serta penyakit lainnya. Anak yang kekurangan gizi menghadapi risiko penyakit yang lebih tinggi, durasi penyakit yang lebih lama, dan kemung­kinan kematian akibat penyakit yang lebih besar. Tanpa akses ke makronutrien yang cukup seperti protein, lemak, dan karbohidrat, juga mikronutrien seperti seng dan vitamin A, anak lebih rentan terhadap pneumonia. Dan, anak yang bergizi baik memiliki risiko lebih rendah untuk meninggal karena pneumonia.

Selain itu, penggunaan masker sangat penting pada saat ada polusi udara. Meskipun demikian, WHO dan UNICEF menyarankan anak balita (berusia 5 tahun ke bawah) tidak diwajibkan memakai masker. Hal itu didasarkan pada keselamatan, minat, dan kemampuan anak untuk menggunakan masker secara tepat dengan bantuan minimal. Di samping itu, WHO dan UNICEF menyarankan bahwa keputusan untuk mewajibkan penggunaan masker bagi anak berusia 6-11 tahun harus didasarkan pada beberapa faktor terkait, misalnya kemampuan anak untuk menggunakan masker secara aman dan tepat, akses mendapatkan masker, serta tersedianya fasilitas pencucian dan penggantian masker di tempat-tempat tertentu, seperti sekolah dan layanan penitipan anak.

Penggunaan masker untuk anak dari segala usia dengan gangguan perkembangan, difabel, atau kondisi kesehatan tertentu lainnya tidak boleh diwajibkan. Kendati begitu, sebaiknya dinilai berdasarkan kasus per kasus oleh orangtua, wali, guru, dan/atau tenaga medis. Bagaimanapun juga, anak dengan gangguan kognitif dengan kesulitan menoleransi masker seharusnya tidak diwajibkan memakai masker. Anak tidak boleh memakai masker saat berolahraga, atau melakukan aktivitas fisik seperti berlari, melompat, atau bermain di taman bermain, sehingga tidak mengganggu pernapasan mereka.

Vaksin adalah tindakan pencegahan pneumonia paling penting bagi anak agar juga membantu keluarga terhindar dari biaya pengobatan dan beban keuangan lain akibat sakit. Pneumonia memiliki banyak patogen penyebab, tetapi sebagian besar yang paling memati­kan sudah dapat dicegah dengan vaksin terhadap pato­gen ganas Streptococcus pneumoniae  (vaksin pneu­mo­­kokus), Haemophilus influenzae  tipe b (vaksin Hib), pertusis (vaksin DPT), dan campak (MR). Semua vasin tersebut sudah tersedia di Indonesia dan direko­mendasikan oleh Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), bahkan masuk dalam program imunisasi dasar nasional.

Obat antibiotik amoksisilin saat ini merupakan satu-satunya pengobatan lini pertama yang direkomen­dasikan untuk pneumonia. Obat ini dapat menyela­matkan nyawa dalam kasus infeksi yang disebabkan oleh bakteri, juga dapat mencegah sebagian besar kematian akibat pneumonia, dengan biaya hanya sekitar US$0,21-US$0,42 per paket pengobatan.

Harga tablet dispersi amoksisilin terjangkau dan sesuai untuk digunakan pada anak kecil. Namun, waktu adalah esensi karena pengobatan yang tertunda mungkin tidak memadai untuk mencegah dampak yang menghancurkan dari pneumonia, yakni kematian anak. Dalam perang melawan pneumonia harus dipertim­bangkan pula untuk memerangi resistensi antimikroba.

Pemberian antibiotik secara tepat untuk mengobati infeksi bakteri yang didiagnosis dengan benar dapat membantu mengatasi pneumonia yang menjadi masalah global ini. Faktanya ialah lebih banyak anak meninggal karena kurangnya akses ke antibiotik daripada karena resistensi antibiotik.

Polusi dan musim kemarau tidak hanya mengingatkan kita akan pentingnya memperbaiki kualitas udara dan iklim sesaui COP 26 Glasgow, tetapi juga dalam meningkatkan penggunaan masker secara tepat dan cakupan imunisasi pneumokokus, Hib, DPT, dan MR untuk melawan pneumonia sebagai pembunuh terlupakan. Sudahkah kita bijak mendampingi anak dari bahaya pneumonia? Oleh: FX Wikan Indrarto Dokter spesialis anak di RS Panti Rapih Yogyakarta, Lektor FK UKDW, Alumnus S-3 UGM (*)