GLOBAL sebagai kata sifat melukiskan hubungan lintas batas antarnegara atau bangsa yang seakan tanpa batas (borderless), keadaan yang merupakan berkat dari kemajuan teknologi informasi. Dalam bidang ekonomi misalnya, globalisasi atau era baru pascaindustri [(new post industrial age) (Bourn, 2018)] dicirikan dengan perubahan organisasi kerja dari bentuk fordist ke post-fordist, meningkatnya pola konsumsi dan advertensi internasional, berkurangnya hambatan terhadap arus barang, tenaga kerja, dan investasi, munculnya tekanan baru tentang peran pekerja dan konsumen dalam masyarakat (Burbulus dan Torres:2000).

Dalam pendidikan, globalisasi memberi pengaruh kuat terhadap kebijakan, praktik, dan kelembagaan pendidikan. Pendidikan diarahkan untuk menyiapkan orang dalam dunia kerja. Kebijakan nasional pendidikan dirancang untuk merespons tuntutan pasar bebas (neoliberal market) dan lembaga pendidikan mempunyai misi memberikan keterampilan-keterampilan baru (Steger: 2001; Sholte: 2000). Kegiatan pembelajaran hendaknya memberi peserta didik bekal yang diperlukan untuk hidup berdampingan dengan mereka yang berlatar belakang sosio-kultural, politik, ideologi dan agama yang beragam. Pada sisi lain, pembelajaran membantu mengukuhkan sense of identity dalam keragaman afi liasi pandangan, paham, atau ideologi (Burbules dan Torres: 2000). Kesemuanya muncul sebagai dorongan baru bagi dunia pendidikan untuk membenahi konsep, sistem, dan mutu pendidikan sehingga lembaga pendidikan (sekolah/perguruan tinggi), termasuk pendidik (guru/dosen), dituntut meningkatkan kemampuan untuk melahirkan lulusan yang dapat berperan dalam era global (Carnoy: 1999).

Keterampilan global Apa yang dimaksud dengan keterampilan global? Secara umum, skill acap kali diartikan kemampuan untuk melaksanakan kegiatan. Namun, dalam interpretasi yang lebih luas tentang kompetensi, skill dimaknai dengan keterampilan khusus atau terkait dengan pekerjaan yang berhubungan dengan efisiensi. Meskipun skill juga berkaitan dengan isu ‘bekerja dengan orang’/social skills seperti ‘kerja sama, empati, percaya, dan menghargai orang lain’.

Menurut Douglas Bourn (2018), terdapat beberapa keterampilan global; pertama, mampu melihat hubungan antara apa yang ada dalam komunitas kecil dan masyarakat lebih luas dalam konsep global village. Dengan konsep tersebut, seseorang perlu memahami relasinya dengan orang lain, termasuk kesamaan dan perbedaan gaya hidup. Kedua, memahami apa yang dimaksud dengan hidup dan bekerja dalam masyarakat global dan memiliki pandangan global, yakni menghargai, mendengar, dan mengapresiasi perspektif orang lain. MI/Duta Ilustrasi MI   Hal ini berarti berkomunikasi dengan orang-orang yang beragam latar belakang budaya dan tidak mereduksi orang lain dengan stereotip. Ketiga, kemampuan memahami dampak dari kekuatan global terhadap kehidupan dirinya dan orang banyak, serta apa yang dimaksud merasa betah di dunia ini (sense of place). Keempat, memahami arti dan bagaimana sebaiknya ICT digunakan dalam pengertian melakukan self-reflexive dan kritis, mempertanyakan, melakukan seleksi, dan melihat lebih jauh di balik informasi yang disampaikan melalui berbagai media. Kelima, terbuka untuk terus-menerus melakukan swarefleksi, dialog secara kritis, mempertanyakan asumsi; self-doubt dan menanyakan cara pandang seseorang tentang dunia (Buorn: 2018). Kumar (2008) menunjuk kosep dialogic learning dan melalui interaksi dapat mengetahui banyak hal tentang orang lain yang bisa menjadi panduan dalam reinterpretasi, pemaknaan, dan mengkreasi pengetahuan. Keenam, mampu bekerja dengan orang lain yang memiliki pandangan dan perspektif berbeda, siap mengubah pendapat dirinya sebagai bagian kerja sama dengan orang lain, mengusahakan kerja sama dan partisipatori dalam bekerja, (mengembangkan kemampuan untuk masuk dan terlibat secara imajinatif, kognitif, efektif, dan sikap dalam budaya orang lain). Ketujuh, percaya diri, yakin, dan siap mengusahakan dunia yang lebih nyaman dan lestari, yang merupakan kebutuhan untuk menghubungkan pengembangan skill partisipasi dalam masyarakat dengan membangun masyarakat yang lebih demokratis dan partisipatori (Buorn: 2018). Globally-minded Ide tentang globally-minded teacher muncul dalam tulisan Cogan dan Grossman (2009) yang menyebutkan seorang guru harus memiliki; pertama, kemampuan bekerja secara kooperatif dengan orang lain dan mengambil tanggung jawab terhadap peran dan tugasnya dalam masyarakat. Kedua, mampu memahami, menerima, dan toleran terhadap perbedaan budaya. Ketiga, bersedia menyelesaikan konflik tanpa kekerasan. Keempat, kemampuan berpikir kritis dan sistematis. Kelima, memiliki pengetahuan pemecahan masalah yang dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Keenam, kesedia an mengubah gaya hidup dan kebiasaan konsumsi untuk melindungi lingkungan. Ketujuh, kemampuan melihat dan mendekati masalah dan isu sebagai anggota masyarakat global (Bourn: 2018). Andreotti (2012), seorang teoris terkemuka dalam pembelajaran global, menyebutkan seorang global teacher perlu mampu melakukan refleksi secara kritis isu sosial global.

Hasil refleksi penting bagi pengembangan kemampuan profesional (Bourn: 2018). Skill yang dibutuhkan global teacher lebih dari kemampuan untuk memberi pengetahuan atas isu global dan dampaknya kepada peserta didik. Global skills untuk para guru perlu dikaitkan dengan pendekatan pegagogi berbeda yang mempertanyakan nilai dominan, mempromosikan pendekatan kritis, dan mengenalkan frame ideologi (memahami pengaruh kekuasaan) dalam pembelajaran (lihat Freire: 1970, 2005; Giroux: 2005). Guru perlu memiliki skills melibatkan murid dalam proses refleksi yang kompleks, dialog, dan keterlibatan dalam pengertian lebih maju dari sekadar tranmisi pengetahuan, mengenalkan bahwa terdapat banyak ragam cara pandang dan dengan cara seperti itu subjek atau topik dapat dipahami. Mengajukan pertanyaan-pertanyaan tentang skills khusus, guru perlu membahas tema global dan memberi bekal kepada murid apa yang diperlukan untuk hidup dan bekerja dalam masyarakat global (Bourn: 2018; Merryfield: 2001).

Baca Juga: UU Ciptaker, Kembalinya Muruah Hukum Sipil

Keterampilan global perlu menjadi komponen terintegrasi dalam pelatihan dan pengembangan kemampuan profesional guru seluruh dunia. Masyarakat dan ekonomi tengah dipengaruhi kekuatan global. Anak-anak dan generasi muda tumbuh dalam dunia global. Untuk membuat mereka mampu memahami dunia kini, para guru perlu dibekali dengan skills yang mendorong anak-anak dan generasi muda untuk tidak hanya memahami masyarakat global secara pasif, tetapi juga terlibat secara kritis dalam situasi dan mampu mengidentifiksi dirinya dalam dunia yang mengglobal. Isu tentang peran profesi terutama dikaitkan dengan kebutuhan dan agenda masyarakat yang lebih luas perlu disuarakan. Jika tema-tema seperti kewarganegaraan global mempunyai pengaruh dalam profesi mengajar, perlu ada pengakuan bahwa pendidikan mempunyai tanggung jawab memberi bekal kepada para murid agar memahami pengaruh globalisasi terhadap masyarakat dan ekonomi. Untuk itu, diperlukan guruguru yang memahami apa arti globalisasi dan pembangunan berkesinambungan untuk menjamin masyarakat yang lebih adil (Bourn: 2018). Guru adalah cultural workers yang menantang ortodoksi dominan ‘pendekatan ala bank dalam pendidikan’ dan mengonstruksi pengetahuan melalui refleksi konstan, debat, invensi, dan reinvensi (Freire: 2005). Mengajar adalah praktik moral seperti diungkap Fullan (1993); ‘scratch a good teacher and you will find a moral purpose dan tujuan moral selanjutnya harus diaktualkan melalui skills of change agentry (Bourn: 2018). Wallahualam.(Fuad Fachruddin, Divisi Penjaminan Mutu Pendidikan Yayasan Sukma­)