ASEAN Matters: Epicentrum of Growth (ASEAN Penting: Episentrum Pertumbuhan). Indonesia menetapkan tema tersebut untuk keketuaannya di ASEAN pada 2023 melalui dua KTT (ke-42 dan ke-43); pertama di Labuan Bajo-NTT (9-11 Mei 2023) dan kedua di Jakarta (5-7 September 2023).

Ya, ASEAN tentu penting. Pusat pertumbuhan? Faktanya, ekonomi di kawasan ini bertumbuh cukup baik. Namun, wilayah ini tengah menjadi episentrum duel di antara dua kekuatan; blok Barat/Amerika versus blok Timur/Tiongkok, bahkan mengarah ke blok NATO versus BRICS. NATO dipimpin AS. BRICS dipimpin Tiongkok.

Sebagian pengamat menyebut duel ini sebagai ‘Perang Dingin Baru’ (Neo-Cold War). Di hadapan duel itu, ASEAN memang penting. Namun, harapan menjadi episentrum pertumbuhan bisa kandas dan layu sebab zona sekitar pertengkaran dan perkelahian besar pastilah berantakan karena dihantam oleh benturan-benturan keras. Sukar dihindari, ASEAN kini menjadi zona bahaya itu. Jika tak mau kandas, bagaimana seharusnya ASEAN bersikap?

ASEAN: zona baru perlombaan senjata?

Kini makin nyata, duel ekonomi AS/Barat/NATO versus Tiongkok/Timur/BRICS berujung pada perlombaan senjata. Carl von Clausewitz bisa jadi benar, mengatakan, perang hanyalah kelanjutan dari kebijakan (ekonomi-politik) dengan cara lain (Clausewitz, On War). Kondisinya, Tiongkok sedang memenangi duel ekonomi. Sebaliknya, AS turun dari takhta hegemoni. Sketsa perselisihannya jelas; AS-NATO/Barat tak rela kehilangan dominasi atas politik-ekonomi dunia. Sementara itu, Tiongkok tak akan membiarkan laju kemajuannya dihambat oleh pihak mana pun.

Baca Juga: Mitigasi Darurat Polusi Udara di Tempat Kerja Sudah Mendesak

Menghadapi Tiongkok, AS masih memainkan politik Perang Dingin. Kartunya antara lain AUKUS, Quad, bahkan SEATO yang disinyalir coba dinapasi kembali oleh Barat. Sokongan kapal selam ofensif bertenaga nuklir dari AS untuk Australia menjadi indikasi serius dimulainya Perang Dingin Kedua melawan Tiongkok. Terkait SEATO, AS pada KTT ASEAN di Kamboja (November 2022) secara terselubung mengingingkan terbentuknya pakta ASEAN-AS.

Agenda kerja sama trilateral negara-negara AUKUS juga menarik untuk diteliti. Selain kemitraan ekonomi, London dan Washington memutuskan untuk meningkatkan kekuatan militer mereka di Asia Pasifik. Wujudnya, Australia didukung penuh oleh dua rekannya dalam menyediakan kapan-kapal selam ofensif bertenaga nuklir. Dari sisi AUKUS, seperti dikatakan Will Nankervis (Dubes Australia untuk ASEAN) dan Owen Jenkins (Dubes Inggris untuk Indonesia dan Timor Leste), selain kepentingan trilateral AUKUS, aliansi ini sangat mungkin membantu menjaga keamanan dan stabilitas di kawasan ASEAN. Benarkah demikian?

Pergerakan AUKUS, entah untuk tujuan penguatan pertahanan trilateral atau mengonfrontasi Tiongkok, tetap saja berimplikasi buruk pada ASEAN. Tak hanya hanya implikasi keamanan, tetapi juga implikasi ekonomi-sosial. ASEAN tampaknya dibikin tidak nyaman dan dipaksa membangun kemitraan pertahanan, entah kemitraan ASEAN atau ikut bergabung di salah satu blok; blok Barat (AUKUS-NATO) atau blok Tiongkok. Pilihan ASEAN pada salah satu blok tampaknya akan menjadi awal kehancurannya. Lalu, bagaimana?

Coba periksa reaksi Tiongkok. Dalam menanggapi pergerakan AS-NATO, Tiongkok justru terus fokus pada kerja sama ekonomi, khususnya dengan ASEAN. Tiongkok malah menilai politik tipe Perang Dingin sudah tidak relevan. Wang Wenbin, juru bicara Kemenlu Tiongkok, bahkan menganggap politik model itu sebagai politik usang dengan kualitas mental rendah karena berwatak konfrontasi militer. Bagi Tiongkok, blok Barat memprovokasi perlombaan senjata.

Dua keretakan, tiga pertimbangan

Sukar dimungkiri, jika perang ekonomi sudah dimulai dan perlombaan senjata sudah di depan pintu ASEAN, ada dua keretakan besar bagi ASEAN: independensi kawasan terancam goyah dan kandasnya pertumbuhan ekonomi. Goyangan utama ialah blok Barat memanfaatkan konflik Laut China Selatan. Tujuannya membujuk ASEAN menentang Tiongkok. Bujukan itu tampaknya sukar tercapai sebab relasi ekonomi Tiongkok-ASEAN sudah mengakar karang. Daya tarik Tiongkok adalah godaan ekonomi.

ASEAN sesungguhnya tak sulit menilai. Ikut terseret konflik kedua blok berarti pertumbuhan ASEAN dalam semua bidang bisa kandas sebab perlombaan senjata pasti memeras SDM dan SDA negara-negara di kawasan. ASEAN yang seharusnya fokus mengurus ‘kebutuhan perut’ justru akan dipaksa terseret ke urusan ‘kebutuhan senjata’.

ASEAN masih bisa menimbang plus-minus sebelum memutuskan harus berbuat apa. Pertama, tak ada perlombaan senjata yang menyejahterakan, selain kehancuran di semua dimensi. Perang Afghanistan, Libia, Irak, dan lainnya menjadi contoh. Bahkan, perang dengan misi penumpasan terorisme sekalipun tidak pernah membawa kedamaian di wilayah- wilayah itu, selain menghasilkan kerusakan masif pada ekonomi, politik, sosial, dan budaya. Yang dihasilkan dari konflik itu hanyalah politik pecah belah domestik bagi negara-negara terkait.

Kedua, hanya relasi ekonomi yang membawa negara-negara pada kesejahteraan. Ketimbang aliansi militer, negara-negara ASEAN sebaiknya tetap kokoh mempertahankan aliansi ekonomi, baik dengan Tiongkok maupun dengan AS, dan baik dengan blok ekonomi Barat maupun dengan BRICS. Pertumbuhan negara-negara ASEAN dalam dua dekade belakangan ditentukan oleh fokus mereka pada pembangunan ekonomi melalui penguatan infrastruktur-infrastruktur dasar.

Ketiga, memilih salah satu blok akan kontraproduktif bagi ASEAN, yang berisiko kehilangan segalanya. Mungkin baik bagi ASEAN, khususnya bagi Indonesia, untuk konsisten berdiri pada doktrin politik non-blok Soekarno, tetapi diperkuat dengan doktrin active-defense (pertahanan aktif) ala Tiongkok dan prinsip NFU (no first use: bukan pemakaian pertama) dalam kebijakan senjata nuklir.

Jika digabung, intinya begini: ASEAN tak harus terseret ke blok apa pun, tetapi tetap aktif memperkuat pertahanan-keamanan kawasan dan domestik, dan bersiap menghadapi ancaman dengan segala cara. Oleh: Eduardus Lemanto Program Doktor, Departemen Filsafat
Sosial, PFUR-Moskow.(*)