Pemerintah Daerah Provinsi Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta akhirnya memberlakukan kebijakan work from home (WFH) bagi separuh aparatur sipil negara (ASN), guna memperbaiki kualitas udara di ibu kota yang terlampau tinggi kadar polutannya. Meskipun bisa dikatakan agak terlambat, tetapi kebijakan itu bisa bermakna ganda, yaitu memperbaiki kualitas udara sekaligus melindungi para pekerja.

Kemacetan lalu lintas memang menjadi biang kerok pertama yang ditunjuk sebagai penyebab buruknya kualitas udara Jakarta. Maka meskipun belum ada data pendukung yang menunjukkan efektif tidaknya kebijakan WFH untuk mengurangi polusi udara, kebijakan itu patut diapresiasi untuk mengu­rangi produksi gas emisi kendaraan bermotor.

Data hasil uji polutan di beberapa Pos Uji Emisi Kementerian LHK sejak awal Agustus 2023 dan rapid analysis kualitas udara indoor dan outdoor independen, secara seragam menunjukkan sektor transportasi menyumbang 50%-60% dari total polusi udara yang mengancam kesehatan manusia.

Data itu diperkuat Jurnal Environmental Science and Technology yang dipublikasikan 2022, yang secara sistematis membuktikan peningkatan jumlah kendaraan bermotor menjadi penyebab utama polusi udara yang sangat tinggi di sejumlah kota besar di dunia termasuk Jakarta.

Kendaraan bermotor menghasilkan emisi gas seperti karbon monoksida (CO), nitrogen oksida (NOx) serta gas hidrokarbon dan partikel-partikel halus (PM 10 dan PM 2,5) yang menjadi parameter polutan udara yang sangat berbahaya.

Baca Juga: Dampak Kekeringan: Rawan Pangan, Sosial, dan Kesehatan

Hal lain yang harus mendapat perhatian adalah tingginya aktivitas industri di kawasan penyangga Jakarta yang juga menyumbang polutan udara. Asap yang dikeluarkan melalui cerobong-cerobong pabrik berbahan bakar batubara menambah jumlah polutan berbentuk gas toksik seperti hidrokarbon dan karbon monoksida.

Kesehatan Pekerja

Kebijakan WFH yang diberlakukan Pemprov DKI Jakarta seharusnya tidak berdiri sendiri tetapi harus diikuti perkantoran milik pemerintah lainnya, industri, dan perusahaan swasta, tanpa mengurangi produktivitas. Hal tersebut perlu dilakukan sebagai bentuk perlindungan pada para pekerja.

Kajian literatur Arden Pope yang diterbitkan dalam jurnal Environmental Health Perspectives (2018) secara meyakinkan menyimpulkan, kelompok pekerja memiliki risiko sangat tinggi terkena penyakit kardiovaskular, kanker paru-paru, dan penyakit pernapasan kronis.

Secara jangka panjang, penelitian kohort lanjutan menunjukkan, kejadian penyakit keganasan akibat paparan polusi udara pada pekerja menjadi berlipat kali lebih berisiko. Risiko ini semakin tinggi pada pekerja yang melakukan aktivitas luar ruang.

Mekanisme biokimiawinya sangat jelas. Gas dan partikel halus polusi udara dapat memicu terjadinya reaksi stres oksidatif, yaitu kondisi di mana sejumlah radikal bebas di dalam tubuh melebihi kapasitas kemampuan untuk menetralisasinya.

Akibatnya, proses sel dan organ tubuh manusia menjadi jauh lebih aktif dan tidak terkendali hingga mengalami kerusakan parah. Secara medis, fenomena stres oksidatif ini menjadi penyebab utama penuaan dini dan terjadinya penyakit kronis seperti kanker, penyakit jantung, dan Alzheimer.

Studi lain yang diterbitkan jurnal Occupational and Environmental Medicine (2020) menemukan, pekerja yang terpapar polusi udara memiliki risiko lebih tinggi mengalami stres psikis, kelelahan, gangguan tidur, kecemasan hingga berujung depresi. Hal itu membuat produktivitas kerja terganggu.

Bahkan penelitian terbaru yang dipublikasikan Frontiers in Psychology (2022) memberi bukti kuat paparan polusi udara juga mempengaruhi kapasitas kerja karyawan sehingga berdampak pada kinerja organisasi secara keseluruhan. Disebutkan pada penelitian ini, kenaikan indeks polusi udara di pagi hari berpotensi menurunkan kinerja pekerja sebesar 0,35% setiap harinya.

Penelitian di Amerika Serikat mengonfirmasi dampak negatif yang sangat signifikan dari meningkatnya kadar partikel halus (PM 2.5) dan karbon monoksida (CO) di lingkungan kerja. Paparan polusi udara turut meningkatkan tindakan kesalahan kerja atau ketidakakuratan pelayanan publik karena gangguan konsentrasi selama jam kerja.

Sayangnya belum ada penelitian sedetil itu untuk populasi pekerja di Indonesia. Sekalipun demikian, bisa dipastikan mekanisme pengaruh polusi udara terhadap pekerja akan memiliki dampak yang sama bahayanya.

Itu sebabnya kebijakan kerja dari rumah memberi efek multi, yaitu menurunkan kadar gas dan partikel halus beracun di udara Jakarta, sekaligus melindungi kesehatan pekerja. Dengan tetap kerja dari rumah dan asumsi paparan polusi lebih minim, produktivitas pekerja tetap baik karena terhindar dari potensi gangguan konsentrasi, stres, dan gangguan emosional akibat pengaruh polutan.

Langkah Mitigasi

Pemerintah, industri, dan perusahaan swasta secara bersama-sama perlu melakukan langkah pencegahan dan mitigasi terstruktur untuk mengatasi kualitas udara kota Jakarta yang sangat buruk, terutama pada para pekerja yang harus tetap bekerja di luar rumah.

Dalam konteks Kedokteran Kerja, produktivitas dan kinerja organisasi harus dicapai bersamaan dengan kesehatan dan keselamatan pekerja, termasuk ketika kondisi lingkungan kerja di luar batas wajar seperti tingginya kadar polusi udara yang terjadi saat ini. Industri wajib melakukan langkah-langkah mitigasi dan pencegahan agar pekerja tidak mengalami efek buruk bagi kesehatannya akibat paparan polusi.

Aktivasi prosedur Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) menjadi sebuah keharusan yang tidak bisa dinegosiasikan. Penerapan kebijakan K3 diawali dengan identifikasi sumber polusi dan potensi paparan baik di dalam maupun di luar ruangan.

Prosedur hazard analysis yang sederhana telah menjadi standar kompetensi tenaga K3 bahkan dokter perusahaan di seluruh Indonesia. Prosedur tersebut semestinya secara otomatis go-live di seluruh kantor, pabrik, dan instansi pemerintah.

Setiap tempat kerja sepatutnya telah memiliki hasil evaluasi tingkat polusi udara di lingkungan kerja masing-masing karena rencana tindakan proteksi pekerja baru bisa dilakukan secara efektif setelah proses evaluasi. Hasil uji yang sudah dilakukan terhadap tingkat konsentrasi polutan dalam ruangan yang ternyata cukup tinggi harus menjadi alarm bagi perusahaan guna mengalokasikan anggaran untuk air purifier di dalam ruangan.

Demikian juga kewajiban bermasker harus kem­bali diimplementasikan seperti pada masa pandemi. Ini karena bukti ilmiah sangat akurat menunjukkan efektivitas pencegahan paparan polutan.

Perlindungan Mandiri

Secara mandiri, para pekerja wajib diedukasi untuk melindungi diri. Paling tidak tiga hal yang harus mendapat perhatian serius, yaitu menggunakan masker ketika berada di luar ruangan, memastikan asupan gizi seimbang, dan menjamin hidrasi terpenuhi.

Para pekerja wajib menggunakan masker, terutama tipe KN95 sebagai rekomendasi utama karena efektivitasnya dapat menyaring sekitar 95% partikel polutan halus. Asupan gizi sangat penting terutama untuk mensuplai cadangan antioksidan tubuh. Reaksi stres oksidatif akibat polutan dapat dicegah apabila tubuh memiliki cukup cadangan antioksidan yang bisa mengatur kemampuan organ melawan radikal bebas.

Tentu saja sumber gizi itu dapat diperoleh lewat asupan gizi seimbang, protein, karbohidrat cukup, dan konsumsi lebih banyak buah dan sayur. Tambahan suplemen atau multivitamin juga bisa memperkuat daya tahan tubuh dan menstabilkan respon imunitas termasuk pada saat tubuh terpapar gas polutan dan partikel beracun.

Hidrasi tidak boleh diabaikan terlebih di saat polusi udara sedang tinggi-tingginya. Menjaga frekuensi dan jumlah cairan atau air minum yang cukup dapat mencegah terjadinya radang dan tentu saja membantu menyegarkan tubuh di saat temperatur meningkat karena pengaruh polusi. Oleh: Ray Wagiu Basrowi Doktor (S3) dalam bidang Kedokteran Kerja dan Kedokteran Komunitas dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) (*)