BANK Dunia memberi peringatan untuk negara-negara berkembang, yang terancam jatuh dalam krisis utang pada publikasi terkini International Debt Report 2023. Dalam laporan tersebut, Bank Dunia mengkhawatirkan nasib negara-negara yang dibebani utang di tengah kondisi ekonomi yang tidak menentu.

Kementerian Keuangan pada Buletin APBN KiTA edisi Desember 2023 merilis posisi utang pemerintah per 30 November 2023 sebesar Rp8.041,01 triliun. Angka itu setara dengan 236% kekayaan bersih negara posisi per 31 Desember 2022.

Kendati performa utang sebesar 38% dari produk domestik bruto (PDB) di bawah batas maksimal 60% PDB, sebagaimana diperkenankan UU Nomor 17/2003 tentang Keuangan Negara, kondisi ekonomi serta dinamika politik Indonesia memengaruhi pengelolaan utang pemerintah. Tekanan tersebut memengaruhi kemampuan Indonesia dalam memenuhi kewajiban pelunasan utang dan pembayaran bunga pinjaman.

Menyempitnya ruang fiskal

Ambisi memacu pembangunan infrastruktur harus dibarengi dengan menciptakan ruang fiskal yang memadai. Faktanya, sejak 2019 belanja modal yang direalisasikan dan dialokasikan dari belanja APBN ternyata lebih rendah jika dibandingkan dengan belanja bunga.

Besaran dan porsi belanja modal terhadap total APBN pada periode kedua Jokowi ialah 2019 sebesar Rp177,84 miliar atau 7,7%, 2020 sebesar Rp190,92 miliar atau 7,36%. Lalu, 2021 sebesar Rp239,63 miliar atau 8,6%, 2022 sebesar Rp240,57 miliar atau 7,77%, dan 2023 sebesar Rp210,32 miliar atau 9,36%.

Sementara itu, porsi belanja bunga terhadap total belanja masing-masing 2019 sebesar 11,93%, 2020 sebesar 12,1%, 2021 sebesar 12,33%, 2022 sebesar 12,48%, dan 2023 sebesar 19,47%.

Penggunaan utang yang berlebihan memberi tekanan keras terhadap ruang fiskal 2024. Peningkatan posisi pinjaman setiap tahunnya, menyebabkan kenaikan belanja bunga yang signifikan. Hal itu terbukti pada APBN 2024, untuk pertama kali porsi pembayaran bunga utang sebesar Rp497,3 triliun merupakan pengeluaran belanja APBN yang tertinggi di atas jenis belanja lainnya melebihi belanja pegawai sebesar Rp276,3 triliun, belanja barang sebesar Rp409,2 triliun, dan belanja modal sebesar Rp239,4 triliun.

Pemenuhan kewajiban utang, antara lain dapat diukur dari perbandingan antara kewajiban pembayaran utang jatuh tempo ditambah bunga dan kenaikan pendapatan pada tahun yang sama. Kenaikan pendapatan dari tahun sebelumnya pada periode yang sama ialah 2019 sebesar Rp16,96 miliar, 2020 sebesar minus Rp312,85 miliar, 2021 sebesar Rp363,56 miliar. Selanjutnya, 2022 sebesar Rp624,5 miliar, 2023 sebesar minus Rp172,82 miliar, dan 2024 sebesar Rp339,27 miliar. Angka tersebut jauh lebih kecil dari kebutuhan dana pemenuhan kewajiban utang.

Pemenuhan kewajiban utang hanya dapat dilakukan apabila realisasi APBN mengalami surplus atau keseimbangan primernya tidak negatif. Data Laporan Keuangan Pemerintah Pusat menunjukkan realisasi defisit APBN 2019 sebesar Rp348,65 miliar, 2020 sebesar Rp947,7 miliar, 2021 sebesar Rp775,06 miliar, 2022 sebesar Rp460,42 miliar, serta anggaran defisit APBN 2023 sebesar Rp598,15 miliar.

Sementara itu, selama empat tahun terakhir, angka keseimbangan primer selalu minus, yaitu 2019 sebesar Rp73,13 miliar, 2020 sebesar Rp633,61 miliar, 2021 sebesar Rp431,57 miliar, dan 2022 sebesar Rp74,08 miliar. Untuk 2023 diperkirakan keseimbangan primernya sebesar minus Rp160,75 miliar.

Warisan untuk pemerintahan baru

Apakah utang yang digenjot pemerintahan ini memberikan kesejahteraan atau kesengsaraan kepada anak negeri pemegang kedaulatan rakyat? Berapa rupiah utang yang digunakan untuk menangani bayi stunting dan kemiskinan ekstrem. Pemerintah harus dapat memberikan data-data itu secara transparan. Namun, sepanjang periode kedua Jokowi, praktis utang tersebut dihabiskan untuk membayar bunga dan pokok utang yang jatuh tempo.

Penerimaan pinjaman selama empat tahun ini berasal dari 2019 sebesar Rp999,94 triliun, 2020 sebesar Rp1.686,13 triliun, 2021 sebesar Rp1.429,42 triliun, dan 2022 sebesar Rp1.215,87 triliun. Penerimaan utang itu sebagian besar digunakan untuk membayar bunga dan pokok utang yang jatuh tempo, yakni 2019 sebesar Rp837,92 triliun (83,8%), 2020 sebesar Rp770,59 triliun (45,7%), 2021 sebesar Rp902,38 triliun (63,13%), dan 2022 sebesar Rp906,19 triliun (74,53%) atau rata-rata sebesar 64,09%. Sisa penerimaan pinjaman setelah dikurangi pelunasan pinjaman dan bunga utang tahunan digunakan untuk menutup defisit.

Selama periode pertama kepemimpinan Jokowi, rasio utang terhadap PDB relatif rendah, yaitu 2014 sebesar 24,68%, 2015 sebesar 27,46%, 2016 sebesar 27,94%, 2017 sebesar 29,40%, dan 2018 sebesar 29,98%. Selanjutnya, pada periode kedua terjadi lonjakan utang dan rasio utang terhadap PDB menjadi 2019 sebesar Rp4.779 triliun dengan rasio 30,18%, 2020 sebesar Rp6.162 triliun dengan rasio 37,6%, 2021 sebesar Rp6.908 triliun dengan rasio 41 %, 2022 sebesar Rp7.733 triliun dengan rasio 39,57%, dan 2023 sebesar Rp8.041 triliun dengan rasio 38,11%.

Selanjutnya, pada APBN 2024, pemerintah melakukan penambahan utang neto sebesar Rp648,1 triliun. Apabila tidak ada realisasi penambahan utang pada Desember 2023, utang pemerintah pada akhir periode kedua Jokowi mencapai Rp8.689,1 triliun. Selama satu dasawarsa pemerintahannya, Jokowi menambah utang pemerintah sebesar Rp6.081,1 triliun dan merupakan jumlah utang terbesar sepanjang sejarah republik ini.

Mengingat sisa pemerintahan ini tinggal 10 bulan, pemerintah harus melakukan mitigasi perhitungan potensi utang yang timbul dari proyek infrastruktur prioritas dan proyek strategis nasional. Utang pemerintah kepada BUMN terjadi ketika BUMN tersebut diberi penugasan mengerjakan infrastruktur di antara kedua proyek dimaksud, tidak didanai dari DIPA APBN kementerian/lembaga. Kewajiban itu bisa berupa pengalokasian penyertaan modal negara setelah BUMN tersebut dalam proses mengerjakan konstruksi dimaksud.

Selain itu, masih terdapat utang pemerintah yang belum tercatat yang berasal dari kerja sama proyek infrastruktur dengan Tiongkok. Berdasarkan data penelitian Center of Economic and Law Studies, utang luar negeri Indonesia dari ‘Negeri Tirai Bambu’ itu pada 2022 mencapai Rp315,1 triliun. Angka itu belum termasuk potensi tambahan utang pemerintah yang timbul akibat dukungan pendanaan APBN untuk pembiayaan proyek kereta api cepat baik rute Jakarta-Bandung saat ini maupun Jakarta-Surabaya yang direncanakan.

Kelemahan pengelolaan utang terjadi karena penggunaan utang tidak terkait dengan aset atau infrastruktur yang dibiayai. Besaran utang yang diperoleh tergantung jumlah defisit APBN dan pembayaran pokok dan cicilan utang. Ironisnya, kenaikan belanja selalu lebih besar dari kenaikan pendapatan yang menyumbang defisit APBN dan keseimbangan primer negatif. Jebakan utang akan menghadang Indonesia ketika penggunaan selisih lebih perhitungan anggaran dan tambahan utang tidak mampu lagi menutup defisit dan cicilan utang. (*)