FENOMENA pembagian uang, terutama pada masyarakat kurang mampu dari kalangan petani, nelayan, pedagang kecil, dan lain-lain, yang dilakukan para peserta pemilu baik pimpinan partai politik maupun calon anggota legislatif, calon presiden, calon wakil presiden, atau tim suksesnya masing-masing, sudah dianggap lumrah. Bahkan, ada yang mengeklaim sebagai bentuk keder­mawanan yang tidak patut dipersoalkan. Ini ironis, di tengah upaya-upaya yang serius dari para penegak hukum melakukan pemberantasan korupsi, politik uang justru marak terjadi. Padahal, politik uang ialah bagian yang tak terpisahkan dari korupsi. Maraknya korupsi yang dilakukan pejabat negara, terutama yang berasal dari partai politik, disinyalir sebagai bagian dari upaya mengembalikan atau bahkan mengambil keuntungan, dari modal (politik uang) yang sebelumnya sudah dibagi-bagikan pada sebagian masyarakat. Hari ini publik sedang dihadapkan dengan masa sosialisasi dan pendidikan politik di internal partai politik yang kondisinya sudah layaknya seperti kampanye pemilu. APK (alat peraga kampanye) terasa sesak memenuhi ruang publik.

Segala macam kegiatan dikerahkan untuk mampu menarik simpati dukungan elektoral ke depan. Fenomena politik uang masih sangat pelik untuk dapat ditindak. Perilaku membagikan uang sangat erat kaitannya dengan korupsi politik. Hasil Corruption Perception Index (CPI) 2022 menunjukkan penurunan indeks, yang skornya turun menjadi 34/100 dan berada di peringkat ke-110 dari 180 negara yang disurvei. KPK dalam rilisnya (14/7/2023) menegaskan mengenai “Hajar Serangan Fajar” untuk menyerukan kepada seluruh masyarakat untuk menolak, menghindari, dan membentengi diri dari praktik politik uang dalam menghadapi Pemilu 2024.   Lemahnya penegakan hukum Jerat tindak pidana praktik politik uang akan sangat berkaitan dengan waktu dan siapa yang bisa ditindak. UU 7/2017 mengenai Pemilu Pasal 280 ayat (1) huruf j mengatakan bahwa,

“Pelaksana, peserta dan tim kampanye dilarang menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya kepada peserta kampanye.” Pasal 284 juga memberikan penegasan bahwa dalam hal terbukti “pihak di atas memberikan uang atau materi lainnya sebagai bentuk imbalan kepada peserta kampanye pemilu secara langsung atau tidak langsung untuk tidak menggunakan hak pilihnya, menggunakan hak pilihnya dengan memilih peserta pemilu dengan cara tertentu sehingga suaranya tidak sah, memilih pasangan calon tertentu, memilih partai politik peserta pemilu tertentu dan/atau memilih calon anggota DPD tertentu.” Kemudian juga mendapatkan ancaman pidana Pasal 515, yakni “Setiap orang yang dengan sengaja pada saat pemungutan suara menjanjikan, atau memberikan uang atau materi lain tidak menggunakan hak pilihnya…” Melansir gatra.com (29/5/19), Lambang Purnomo, caleg DPRD II Kabupaten Wonogiri, mendapatkan vonis hukuman 1,5 bulan penjara juga denda uang senilai Rp6 juta subsider satu bulan karena melakukan kampanye 2019 dengan membagikan amplop berisi uang Rp50 ribu kepada 30 peserta kegiatan yang dibagikan di rumah salah satu warga. Kemudian, Hamsir, caleg DPRD Kota Palu juga mendapatkan hukuman 4 bulan penjara juga denda uang senilai Rp10 juta subsider satu karena membagikan barang berupa dua karung beras kemasan 5 kg pada masa tenang di salah satu panti asuhan. Melihat dua kasus di atas dapat dianalisis waktu penanganan politik uang sangat terbatas, yakni pada masa kampanye, masa tenang, dan pemungutan dan penghitungan suara.

Sementara itu, dengan problem regulasi hari ini, yakni Perppu Nomor 1/2022 yang menyebutkan dalam Pasal 276 “Kampanye pemilu sebagaimana dimaksud dalam pasal 267 dan 275 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, huruf h, huruf i dilaksanakan sejak 25 (dua puluh lima) hari setelah ditetapkan daftar calon tetap anggota….” Aturan yang termaktub menegaskan bahwa hari ini belum memasuki masa kampanye. Tidak ada calon yang bisa dikenai sanksi. Pengaturan politik uang sangat longgar, seseorang yang memberikan uang di luar masa kampanye apalagi yang bersangkutan bukan pelaksana, peserta, ataupun tim kampanye tidak mendapatkan hukuman. Kasus ketua umum salah satu peserta pemilu tersebut menjadi sangat kontradiktif.

Yang bersangkutan juga ialah menteri sehingga sangat mungkin anggaran negara yang basisnya ialah ditujukan kepada masyarakat, menuai risiko menjadi anggaran yang dibagi-bagikan secara pribadi. Kontrol secara kelembagaan kementerian harus efektif dan tepat guna untuk memantau pejabat negara baik tingkatan nasional maupun pejabat daerah. Kajian Fitriani, Karyadi, dkk (2019) mengungkapkan bahwa sebagai mekanisme untuk mendekatkan kepada pemilih, perilaku ini jika pada kasus-kasus serupa sebelumnya tidak didahului dengan hukuman yang setimpal, justru akan memungkinkan pengulangan dari aktor politik yang lain, mereka menganggap enteng dalam melihat model hukuman yang akan diterima.   Upaya menarik pemilih   Tindakan politik uang, menurut kajian Birch dalam Gaffar (2020), dapat dikatakan sebagai salah satu upaya manipulasi terhadap pilihan pemilih, yakni mengarahkan atau mengubah pilihan pemilih dengan berbagai cara yang bersifat manipulatif-ilegal. Hal tersebut akan sering terjadi sejak awal tahapan pemilu sampai sebelum pemberian suara di TPS.

Baca Juga: Perubahan dan Pentingnya Paham Ekonomisme dalam Pilpres 2024

Survei LIPI terhadap politik uang pada pelaksanaan Pemilu 2019, menyebutkan bahwa 40% menerima uang, tetapi tidak mempertimbangkan untuk memilih, sedangkan 30% lagi mengaku menerima pemberian uang dan mempertimbangkan si pemberi untuk dipilih. Indonesia sebagai negara bangsa masih rawan dengan pemberian iming-iming ala hadiah dalam bentuk fresh money. Masyarakat menganggap pemberian uang ialah bagian dari rezeki yang tidak boleh ditolak sehingga tidak semua merasa hal tersebut sebagai upaya intimidasi ataupun membeli suara pemilih. Mendapatkan uang bagian dari rezeki tak terduga. Bawaslu RI (16/4/19) pada temuan masa tenang (14 April-16 April 2019) menyebutkan bahwa ditemukan 25 kasus politik uang yang dilakukan peserta pemilu dan tim pemenangannya. Barang bukti yang ditemukan cukup beragam, yakni uang tunai, detergen, hingga sembako. Hal Itu membuktikan bahwa perilaku masyarakat pemilih cenderung pemisif terhadap pemberian sesuatu. Harjanto (2021) menyebutkan bahwa partai politik sebagai entitas demokrasi justru rapuh akibat lemahnya ikatan antara parpol, kandidat, dan pemilih, sosok individu yang menjadi kandidat akhirnya jauh lebih menjadi incaran pemilih jika dibandingkan dengan performa parpol yang tidak tampak. Besarnya pembiayaan atas kompetisi elektoral mendorong partai politik untuk melakukan politik uang.

Indonesia masih berpusat pada candidacy-centered. Sistem pemilu memberikan insentif yang kuat bahwa dana yang bersumber dari pribadi menjadi sesuatu yang dilegalkan, maka politik uang menjadi salah satu mekanisme yang paling mungkin dilakukan untuk meraup suara pemilih. Sistem tersebut ialah proporsio­nal terbuka, yakni rakyat dapat langsung menentukan pilihan. Demokrasi sebagai sebuah pilihan sistem menghadirkan pemilihan umum yang bebas dan kompetitif.

Di Indonesia, kemajuan itu diperoleh dari praktik pilkada langsung yang sudah berlangsung sejak 2004. Namun, seiring perkembangan demokrasi yang dipraktikkan cenderung meng­hadirkan rezim yang korup. Berdasarkan data Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), sebanyak 176 pejabat daerah, 22 gubernur, dan 154 wali kota/bupati terjerat kasus korupsi sepanjang periode 2004-2022. MI/Seno   Munculkan sanksi sosial Pemilihan Umum 2024, yang akan digelar 14 Februari 2024 nanti telah menetapkan maskot dua burung jalak Bali yang mengandung makna suara rakyat (sura) dan suara pemilu (sulu). Itu menandakan bahwa rakyat seharusnya ialah pemenang kedaulatan tertinggi dalam peng­helatan regenerasi kekuasaan.

Kajian Burhanudin Muhtadi (2019) menegaskan akuntabilitas pemilu harus diselamatkan dari daulat uang. Bahkan pemilu, menurut Kerkvliet dalam Muhtadi (2019), menjadi peluang yang jarang orang biasa miliki untuk mampu “menghukum” dan mengambil kembali hak atau dana publik yang diambil politisi. Semakin mendekati jadwal pemilihan, semakin besar tekanan untuk membeli suara. Pemilih perempuan terdaftar di DPT sejumlah 102.588.719 jiwa sekitar 50,3% dari total 204.807.222 jiwa. Anak muda (gen Z dan millenial) yang jumlahnya hingga 56,4% dari DPT, yakni 113 juta jiwa. Jangan sampai politisi semakin melegal­kan pembagian uang berkedok sedekah, zakat, ataupun sum­bangan yang erat maknanya dengan praktik politik uang. Perempuan tentu menjadi kelompok sasaran yang rentan, juga anak muda yang cenderung labil dalam menentukan pilihan.

Perlu untuk menginisiasi langkah bersama. Politik uang hanya dapat dicegah dengan kesadaran bersama. Boleh jadi sebagian masyarakat pemilih mulai abai dengan siapa yang melakukan korupsi, yang penting dalam kontestasi, mereka mendapatkan ‘jatah preman’, seperti timses, calo pemilih, dan cash money. Perlu ‘juru selamat’ yang mengingatkan sekaligus sebagai pihak yang senantiasa konsisten berdiri tegak bersama para pemilih Indonesia. Kebe­ranian dan ketekunan untuk menjalin komunikasi intensif oleh para politikus ialah sesuatu yang harus dilakukan.

Bawaslu sebagai institusi peng­awas pemilu harus mem­buktikan kapasitas penanganan pada terjadinya tindak pidana politik uang. Perlu pendekatan teknis yang lebih taktis dalam PKPU 15 2023 mengenai Kam­panye. Pelaksanaan kampanye metode tatap muka di ruang tertutup dibolehkan dengan pemberian uang dengan alasan untuk keperluan transportasi sehingga akan lebih mudah diukur. Bawaslu, ketika hadir juga akan mudah untuk melihat sekaligus menerima salinan bukti transaksi antara kontestan dan peserta pemilu.

Perlu adanya kesepakatan pada masa kampanye yang akan berlangsung 28 November 2023-10 Februari 2024, utamanya pada saat kampanye rapat umum dengan panggung terbuka dilarang bagi-bagi atau melakukan penyebaran uang di ranah publik. Di sisi lain, penting untuk memulai kontrak politik sekaligus memberikan sanksi sosial menjadi pilihan yang harus ditegakkan. Kelemahan pemilih pascaritual pemilihan ialah tidak menjalin lagi komunikasi yang baik dengan para wakil rakyat. Akibatnya menjadi lalai sehingga fungsi kebijakan publik tidak mampu berjalan dengan baik.

Masih ada waktu untuk mela­kukan capaian kebijakan yang lebih baik. Memahami dengan cermat terkait dengan track record kapasitas calon anggota dewan, diperlukan sebagai sarana pencegahan terhadap anggota dewan yang tidak menjual gagasan, tetapi ber­modalkan finansial yang melim­pah. Perlu sistem aplikasi modern dengan model detektor yang bisa mendeteksi getaran politik uang. Pemberantasan politik uang menggunakan pendekatan TI juga menjadi salah satu solusi. Ayo berani tolak politik uang sebagai bagian dari gerakan dan kontrol publik terhadap cita pembangunan yang beradab dan substantif bagi masa depan Indonesia.Oleh : Nurlia Dian Paramita Koordinator Nasional Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat–JPPR, anggota Bidang Advokasi Majelis Hukum dan HAM PP Aisyiyah.(*)