Swing of pendulum merupakan sebuah evolusi manajemen strategi yang menggunakan metafora ayunan bandul pada aspek internal dan eksternal perusahaan (Hoskisson et al, 1999). Adapun double swings of pendulum, merupakan perkembangan selanjutnya dari manajemen strategi yang menggu­nakan dua pendulum. Pendulum yang pertama, masih mencerminkan faktor internal perusahaan dan lingkungan eksternal. Adapun pendulum yang kedua, mencerminkan tingkat analisis yang lebih makro, yaitu perusahaan dan lingkungannya, serta tingkat yang lebih mikro, yaitu individu dan hubungan mereka di dalam perusahaan (Guerras-Martín, 2014).

Pada awal perkembangan manajemen strategi tahun 1960-an, swing of pendulum bermula dari sisi internal dengan munculnya beberapa pemikiran yaitu Strategy and Structure (Chandler’s, 1962) yang mene­kankan pada perubahan struktur organisasi yang disesuaikan dengan strategi perusahaan. Kemudian Corporate Strategy (Ansoff’s, 1965) dan Business Policy (Learned, et al, 1965) terkait keputusan tentang jenis bisnis apa yang perlu perusahaan masuk didalamnya. Secara umum, mereka mendefinisikan sejumlah konsep penting dalam strategi, termasuk bagaimana strategi mempengaruhi kinerja, pentingnya peluang eksternal dan kapabilitas internal, gagasan struktur mengikuti strategi, serta peran aktif manajer dalam manajemen strategis.

Perkembangan pada tahun 1970-1980an disebut sebagai era Industrial Organizational dengan ayunan pen­dulum fokus ke arah eksternal eksternal perusa­haan. Porter memperkenalkan Structure-Conduct-Performance Framework yang menjelaskan struktur pasar dengan Porter’s Five Force Model, yaitu sebaik apa posisi perusahaan dalam industri dan bagaimana perusahaan menjadi berbeda dari yang lain. Porter juga memperkenalkan konsep generic strategies (low cost leadership, differentiation, and focus) untuk memba­ngun Competitive Advantage perusahaan, serta konsep Strategic Groups, yaitu fenomena kelompok perusa­haan dalam industri yang sama mengikuti strategi yang sama. Selain itu, muncul konsep Competitive Dynamics, sebagai tindakan yang dimulai oleh satu peru­sahaan dapat memicu serangkaian tindakan di antara perusahaan yang bersaing (Action – Reaction).

Kemudian muncul era Organizational Economics dengan ciri yang seimbang antara internal dan external perusahaan, sehingga pendulum berada di tengah. Konsep yang berkembang adalah Transaction Cost Economics (Williamson, 1975) yang fokus pada efisiensi biaya dengan cara multidivisional, hybrid, dan strategi internasional. Serta konsep Agency Theory (Fama, 1980; Jensen & Meckling, 1976), bahwa pemegang saham (principal) membe­rikan kewenangan kepada management (agent) untuk mengelola perusahaannya dengan asumsi bahwa manusia sangat rasional, mementingkan diri sendiri, dan oportunistik (Eisenhardt, 1989).

Setelah itu pendulum kembali ke arah internal perusahaan pada era Resource-Based View, dengan pandangan yang membahas pertanyaan mengapa perusahaan berbeda dan bagaimana perusahaan mencapai keunggulan kompetitif. Perusahaan tidak dapat membangun keunggulan kompetitif hanya dengan menggunakan sumber daya yang tersedia, namun memerlukan sumber daya VRIO (Valuate, Rareness, Immitability, Organized) (Barney, 1991).

Baca Juga: 1001 Jalan Menuju Net Zero Emision

Pada era ini, berkembang konsep Strategic Leadership and Strategic Decision Theory, yang menekankan pentingnya peran pimpinan dalam menentukan kinerja perusahaan. Selain itu, Knowledge-Based View yang mengkonseptualisasikan perusahaan sebagai entitas pengetahuan dan kompetensi yang dikembangkan melalui meta-learning atau pembelajaran secara terus menerus.

Pada tahun 2014, perkembangan manajemen stra­tegi menggunakan dua pendulum, yaitu internal-ekster­nal perusahaan dan makro-mikro. Pada pendulum inter­nal-eksternal, tercermin dalam analisis SWOT dan Stra­tegic Matrix, diantaranya dari BCG dan McKinsey. Pada pemdulum makro-mikro, berkem­bang konsep Agency Theory dan Transaction Cost Economics (TCE) yang terletak di titik tengah pada pendulum makro-mikro. Kemudian Resource-Based View yang menga­yun­kan momentum pendulum kembali ke pendekatan makro. Pergeseran pergerakan pendulum dari level mak­ro menuju mikro salah satunya strategi Austria yang menekankan orientasi kewirausahaan (Jacobson, 1992).

Proyeksi trend tahun 2023 di sektor energi adalah perkembangan terkait dengan kebijakan sustai­nability, pasar karbon, dan pengembangan teknologi hidrogen (Oxford, 2023). Trend ini masih diselimuti oleh adanya perubahan geopolitik dan pemulihan ekonomi global yang bersifat sementara, serta tantangan besar dari pengetatan moneter global dan perang Rusia-Ukraina.

Potensi risiko pun cukup banyak dan dapat berdampak signifikan, diantaranya adalah Eropa mungkin menghadapi krisis energi lain menjelang musim dingin tahun 2023/2024, suku bunga tinggi yang dapat mendorong ekonomi global ke dalam resesi, konflik Rusia-Ukraina dapat berubah menjadi perang global, konflik langsung terjadi antara China dan Taiwan, inflasi global yang tinggi memicu keresahan sosial, varian baru dari virus corona, pemberlakuan kembali pembatsan ketat di China, dan cuaca ekstrem yang dapat meningkatkan harga komoditas (EIU, 2023).

Dengan demikian, strategi pada sektor energi sebaiknya tidak hanya menggunakan kerangka tunggal, namun membutuhkan integrasi konsep yang lebih lengkap dan komprehensif sehingga pendulum bergerak secara dinamis yang tidak berada pada suatu titik tertentu dan tidak sesederhana sebagaimana permainan lato-lato. Strategi perusahaan membutuhkan integrasi konsep yang dapat menjelaskan sistem, sumber daya, dan pemangku kepentingan (Harrison, 2020).

Saat ini muncul Stakeholder Theory sebagai pengem­bangan dari Agency Theory yang sebelumnya fokus pada kepentingan jangka pendek, menjadi fokus pada kepentingan jangka panjang pada era pasca pandemi dan dunia yang non-ergodic, yaitu dunia dengan equilibrium baru setelah disrupsi besar yang terus berubah setelah disrupsi itu terjadi (Hitt, 2021). Fenomena ini dapat terlihat di beberapa perusahaan yang merevisi targetnya dalam waktu singkat, misalnya melakukan pengurangan ambisi iklim dan mengurangi rencana pemotongan produksi minyak dan gas. Namun demikian, sejatinya perubahan tersebut seharusnya tidak merubah komitmen jangka panjang untuk mencapai dunia yang lebih baik, dunia dengan kondisi net zero emision, bahkan negative emission.. Oleh : Adhitya Nugraha Senior Economist, Pertamina Energy Institute at PT.Pertamina (Persero). (*)