Pertanian Indonesia sedang mengalami krisis dengan jumlah talenta muda yang terus menyusut. Pandangan dan stigma yang tidak menarik dari praktik pertanian saat ini telah berkontribusi pada rendahnya minat generasi muda – sebuah ironi di tengah-tengah bonus demografi yang dirasakan.

Seiring dengan berlangsungnya sensus pertanian yang sedang berlangsung, momentum untuk refleksi kebijakan ini harus difokuskan pada penciptaan ekosistem tani yang dapat mendukung dan mengem­bangkan potensi petani muda di masa depan.

Pendahuluan

Permintaan yang tidak pernah berhenti akan nutrisi yang perlu kita konsumsi telah menjadikan pertanian dan sektor pangan sebagai salah satu industri yang paling penting di dunia. Seiring dengan terus bertam­bah­nya populasi, dengan prediksi mencapai puncak­nya pada 9,7 miliar jiwa di tahun 2050, semakin banyak orang yang harus diberi makan. Oleh karena itu, segala bentuk gangguan pada rantai pasokan makanan akan berisiko terhadap ketersediaannya di masa depan.

Kasus ini mungkin menjadi sangat menarik ketika kita berbicara tentang Indonesia, negara dengan populasi terbesar keempat di dunia. Negara tropis ini dianugerahi dengan lahan subur yang sangat luas, membentang hingga 26.300.000 hektare di seluruh nusantara.

Baca Juga: Mengatur Dual Use Technology untuk Kepentingan Ekonomi

Hal ini juga didukung oleh posisi geografisnya yang unik. Dikelilingi oleh cincin api vulkanik, Indonesia memiliki keistimewaan tersendiri dalam memberikan kesuburan pada sebagian besar tanahnya. Sebagai negara khatulistiwa, Indonesia dikaruniai suhu yang relatif konstan dan curah hujan yang cukup yang cocok untuk pertanian.

Sayangnya, potensi besar ini berada di tengah-tengah ironi karena negara ini menghadapi krisis talenta pertanian. Sektor pertanian dan perkebunan merupakan kontributor tertinggi dalam penyerapan tenaga kerja nasional, yaitu 29,9% dari total populasi produktif Indonesia.

Namun, demografi petani saat ini sebagian besar didominasi oleh kelompok usia 40 hingga 60 tahun, dengan jumlah petani yang berusia 20 hingga 30 tahun terus menyusut. Fenomena ini menyoroti menuanya masyarakat agraris Indonesia.

Hal ini cukup mengejutkan di tengah-tengah bonus demografis yang dinikmati Indonesia saat ini. Kondisi tersebut harus menjadi perhatian karena berkurangnya talenta muda di bidang ini akan membahayakan ketersediaan tenaga kerja dan berkurangnya inovasi-inovasi baru yang dibutuhkan untuk mempertahankan produksi dan ketahanan pangan jangka panjang dari negara dengan jumlah penduduk terbesar keempat di dunia ini.

Dengan sensus pertanian yang sedang berlangsung saat ini, sudah saatnya untuk merefleksikan kembali kebijakan pertanian Indonesia untuk meniadakan dampak jangka panjang dari krisis regenerasi.

Prospek Petani Indonesia yang Tidak Menarik

Ada beberapa alasan yang menyebabkan generasi muda saat ini kehilangan minat di bidang pertanian. Di antara semuanya, ada tiga stigma yang tumpang tindih di sektor ini yang perlu diperhatikan: rendahnya keterampilan dan padat karya, kurang berkembang, dan tidak stabil.

Pertanian sering dikaitkan dengan pekerjaan manual yang menuntut fisik. Hal ini mungkin benar di beberapa daerah di Indonesia. Meskipun ada pengenalan tekno­logi pertanian yang canggih, mekanisasi dan adopsi teknologi masih cukup rendah, dengan 87,59% rumah tangga petani masih memilih untuk menggunakan metode konvensional dalam bertani.

Hal yang sama berlaku untuk digitalisasi. Temuan ini mungkin berkorelasi dengan rendahnya literasi tekno­logi di kalangan petani karena kesenjangan usia dan pendidikan, karena banyak petani yang hanya lulus sekolah dasar.

Stagnasi ini kemudian menjadikan lebih sedikitnya ruang untuk perbaikan dan inovasi di dalam komunitas petani. Memang, perusahaan rintisan / startup tekno­logi pertanian telah bermunculan dalam beberapa tahun terakhir untuk mengatasi masalah ini.

Namun, pengembangan tersebut sebagian besar terkonsentrasi dan hanya terlihat di sisi hilir rantai pasokan; berfokus pada akses pasar, investasi modal, dan distribusi. Permasalahan di bagian hulu, dimana produksi barang pertanian berawal, membutuhkan perhatian yang sama dari para inovator dan petani muda untuk membuatnya lebih efisien, menciptakan produk berkualitas tinggi, dan dengan demikian menjadi kompetitif.

Pada akhirnya, semua masalah ini menciptakan persepsi bahwa menjadi petani tidak layak untuk diinvestasikan karena selalu menghadapi ketidakpas­tian dan tidak ada jaminan kesejahteraan dibandingkan dengan profesi lain. Sifatnya yang padat modal, baik secara fisik seperti yang telah disebutkan sebelumnya maupun secara finansial, tidak selalu membuahkan hasil seperti yang diharapkan.

Tantangan iklim dan cuaca, seperti gelombang panas El Nino yang melanda Indonesia saat ini dan kenaikan suhu yang tidak biasa, seringkali menyebabkan hasil panen sulit untuk diperkirakan. Gangguan rantai pasokan juga dapat menyebabkan harga komoditas anjlok sehingga petani sulit mencapai titik impas.

Belum lagi menyusutnya lahan pertanian karena perubahan tata guna lahan dan peran maladaptif teng­kulak yang telah mengurangi kepercayaan terhadap pasar pertanian.

Menciptakan Ekosistem yang Mengayomi Petani Muda Masa Depan

Kondisi-kondisi di atas membuat pertanian dan perkebunan menjadi tidak menarik bagi generasi muda. Ironi ini semakin menjadi ketika para lulusan sarjana pertanian sering kali beralih ke karier lain, seperti akuntansi dan perbankan, yang dianggap lebih meng­untungkan.

Oleh karena itu, jelaslah bahwa jalan untuk men­dorong regenerasi terletak pada revitalisasi status quo ekosistem pertanian saat ini. Revitalisasi sistem harus dibuat ramah terhadap generasi muda; memenuhi tuntutan dan kebutuhan generasi muda saat ini untuk bertahan dan berkembang di dalam sektor pertanian.

Hal ini dapat dilakukan dengan mempertimbangkan beberapa ciri utama generasi muda saat ini-para Gen Z, yaitu: work-life balance, generasi digital, dan empati sosial global.

Terlahir di tengah gejolak ekonomi, Gen Z atau Zoomers mendambakan keamanan dalam karier mereka. Mereka tidak hanya ingin mencapai kepuasan, tetapi juga stabilitas dalam pekerjaan mereka.

Namun, dalam melakukannya, mereka juga perlu memegang kendali, tidak dibatasi, dan diberikan fleksibilitas untuk memaksimalkan potensi mereka. Dengan kata lain, keseimbangan antara pekerjaan dan kehidupan pribadi atau work-life balance merupakan hal yang penting bagi Gen Z.

Oleh karena itu, transformasi ekosistem pertanian saat ini perlu memperhatikan lebih banyak insentif dan kesejahteraan bagi para petani yang masih menjadi masalah saat ini, serta tidak terlalu padat karya dalam prosesnya. Untungnya, peluang untuk menyelesaikan masalah ini terletak pada karakteristik kedua dari

Zoomers.

Sama seperti generasi Milenial, Gen Z adalah penduduk asli dari era teknologi dan digitalisasi yang berkembang pesat. Penguasaan teknologi telah menjadi suatu keharusan bagi mereka untuk berkembang di dunia saat ini.

Hal ini kemudian memunculkan pemikiran bahwa memilih berkarier di bidang pertanian yang stagnan, “tidak berpendidikan”, dan “berketerampilan rendah” merupakan tindakan yang regresif di zaman ini. Hal ini mungkin tidak akan terjadi jika Sains, Teknologi, Teknik, dan Matematika (STEM) benar-benar diterapkan pada sektor pertanian, seperti di Jepang; bagaimana negara ini berhasil mengintensifkan industri pertaniannya dengan lahan yang terbatas.

Oleh karena itu, regenerasi yang sukses juga ber­gantung pada mengakomodasi bakat-bakat pertanian dengan pelatihan yang tepat dan insentif untuk penerapan teknologi. Hasilnya tidak hanya membuat pertanian tidak terlalu menuntut fisik, tetapi juga meningkatkan kualitas hasil panen; sehingga produk yang dihasilkan lebih kompetitif di pasar.

Tumbuh di era informasi juga membuat Gen Z lebih mudah menerima isu-isu etika di seluruh dunia. Krisis iklim dan ketidaksetaraan yang meluas membuat Zoomers lebih berhati-hati dalam bertindak.

Segala perilaku, baik konsumsi atau pilihan karier, harus mengarah pada keberlanjutan; termasuk dalam memilih makanan. Kesadaran ini adalah modalitas yang dapat dimanfaatkan untuk memulai praktik pertanian berkelanjutan di Indonesia.

Lantas, insentif yang lebih besar dalam penggunaan input pertanian organik dan promosi praktik produksi ramah lingkungan, serta praktik-praktik yang tahan terhadap perubahan iklim dapat menambah faktor daya tarik generasi muda terhadap sektor pertanian.

Di atas itu semua, revitalisasi dan reformasi sektor pertanian harus dilakukan secara paralel dengan perubahan pola pikir masyarakat. Pertanian tidak boleh lagi digambarkan sebagai pekerjaan yang kotor, melelahkan, dan tidak memuaskan yang dilakukan oleh orang-orang yang tidak berpendidikan dan tua.

Narasi tersebut harus diubah untuk membingkai pertanian sebagai sektor yang penting untuk keberlanjutan; sebuah karier di mana inovasi disambut baik dan kesejahteraan terjamin. Dalam hal ini, institusi pendidikan memainkan peran penting untuk menghapus stigma negatif seputar pertanian.

Aksi Kolaboratif untuk Mencapai Regenerasi yang Berkelanjutan Mewujudkan ekosistem yang ideal tentu saja bukan hal yang mudah. Untungnya, beberapa langkah telah diambil untuk menuju ke arah tersebut.

Kementerian Pertanian telah terlibat dalam beberapa program untuk mendorong pertumbuhan petani muda, seperti melalui Youth Entrepreneurship and Employment Support Services (YeSS) dan turunannya seperti Young Ambassador Agriculture, yang memberikan pelatihan dan pendanaan yang tepat bagi calon petani untuk memulai usaha mereka.

Program-program tambahan untuk mendukung bagian lain dari ekosistem ini juga telah diberlakukan, seperti Taxi Alsistan, yang bertujuan untuk memperluas proses mekanisasi dengan mempermudah akses ke peralatan pertanian bagi para petani. Pinjaman yang disponsori negara tanpa bunga juga telah diberikan untuk membantu petani membiayai ladang mereka dengan inisiatif seperti Kredit Usaha Rakyat (KUR) Pertanian.

Namun, masih banyak yang harus dilakukan. Tindakan di masa depan harus bersifat kolaboratif untuk mengatasi masalah regenerasi yang memiliki banyak sisi, dengan melibatkan pembuat kebijakan, sektor swasta, dan masyarakat dalam prosesnya.

Dengan demikian, adanya kebijakan dan ruang yang dapat memungkinkan penciptaan sinergi dan komunikasi lintas-aktor menjadi langkah awal dalam pewujudan pertanian berkelanjutan. Sebagai contoh, terlepas dari peluang dan modalitas yang telah berkembang secara signifikan dalam beberapa tahun terakhir dengan munculnya perusahaan startup pertanian, jalan menuju pertanian yang intensif teknologi dan digital yang sangat dibutuhkan untuk partisipasi kaum muda tidak dapat dicapai tanpa kerangka kerja regulasi yang komprehensif.

Lantas, tidak dimasukkannya aspek digitalisasi dalam Rencana Strategis Kementerian Pertanian 2020-2024 merupakan sesuatu yang perlu dievaluasi untuk mendorong lebih banyak investasi swasta dalam inovasi pertanian. Stigma terhadap kesejahteraan petani akan dapat ditepis apabila terdapat akses terhadap permodalan yang lebih mumpuni.

Meski terdapat mekanisme KUR, sejumlah petani masih merasa kesulitan dalam membiayai praktik pertaniannya. Tidak jarang banyak dari mereka menjadi korban penipuan dan pemerasan dari para rentenir.

Untuk itu, penciptaan ekosistem permodalan tani bauran antara publik-privat perlu digalakan dengan diiringi upaya peningkatan kepercayaan investor terhadap pertanian. Mengubah stigma masyarakat tentang pertanian tidak dapat dilakukan hanya dengan mengandalkan institusi pendidikan saja.

Kolaborasi dengan media juga penting untuk menarasikan pertanian secara lebih positif kepada khalayak yang lebih luas. Penetrasi ide ke rumah tangga dan pendidikan dini juga sama mendesaknya, yang dapat dilakukan dengan memberdayakan komunitas dan pembuat perubahan lokal yang akan menyebarkan berita ke masyarakat luas.

Pada akhirnya, pertanian berkelanjutan hanya dapat terjadi jika regenerasi itu sendiri berkelanjutan. Memastikan aliran tenaga kerja yang stabil dan ketersediaan talenta yang aman lintas-generasi adalah kuncinya.

Dengan kata lain, membangun narasi dan ekosistem mumpuni untuk menjadikan pertanian sebagai pilihan karir yang bonafide, tidak hanya untuk Gen Z, tetapi juga untuk Generasi Alfa yang akan datang dan seterusnya.

Kondisi ideal seperti ini hanya dapat dibangun melalui tindakan kolaboratif dan terpadu yang ditujukan untuk secara kontinu menyesuaikan kondisi ekosistem pertanian dengan tuntutan dan kebutuhan masa depan yang terus berubah. Oleh Andy Fernanda Probotrianto Andy adalah Peneliti Kebijakan Publik di Pijar Foundation. (*)