“Melihat perilaku pejabat yang menduduki kursi Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan juga kerap melakukan pengesahan regulasi secara tidak transparan dan tidak taat prosedur, akankah lebih baik jika pejabat yang berstatus sebagai anggota DPR tersebut rakyat ganti saja dengan Kecerdasan Buatan (Artificial Intelligence, AI)?,”

Melihat perkembangan zaman, timbul sebuah pertanyaan dapatkah pengalihan fungsi dan tanggung jawab anggota DPR ke AI mampu meminimalisir kekecewaan rakyat. Sehingga, perlu menjadi pertimbangan apakah dimungkinkan bila anggota DPR digantikan oleh AI.

Studi Kasus Penyelewengan Kekuasaan oleh Anggota DPR

Terdapat beberapa contoh adanya penyimpangan kekuasaan oleh DPR, baik secara individual maupun kolektif. Pada kasus yang bersifat individu, Ary Egahni seorang anggota DPR ditetapkan sebagai tersangka bersama dengan suaminya, seorang Bupati Kapuas pada Maret 2023 lalu. Keduanya ditetapkan sebagai tersangka kasus korupsi karena diduga memotong pembayaran pegawai negeri di Kabupaten Kapuas, Kalimantan Tengah.

Bukan hanya penyimpangan dalam kasus korupsi, di akhir tahun 2022, secara kolektif DPR bersama Presiden telah mengesahkan Perppu Cipta Kerja untuk menggantikan UU Cipta Kerja yang dinyatakan inkonstitusional bersyarat oleh Mahkamah Konstitusi (MK) akibat dipandang tidak memberikan ruang partisipasi bermakna pada masyarakat.

Baca Juga: Uji Coba Soal Uji Kemahiran Berbahasa Indonesia

Mengacu pada dua contoh di atas, anggota DPR idealnya diharapkan dapat menjalankan fungsi wakil rakyat secara amanah, dengan tentunya mendengar dan mengedepankan aspirasi rakyat. Harapan tersebut tercermin dari data yang diambil dari survei Litbang Kompas pada 10-12 Januari 2023, di mana penilaian publik terhadap kinerja DPR cenderung negatif, yaitu sebesar 63,4% responden menyatakan bahwa aspirasi mereka hanya sesekali saja didengar oleh DPR.

Implementasi Artificial Intelligence

AI sudah banyak digunakan oleh berbagai pihak. Bahkan, salah satu firma hukum global bernama Allen & Overy (A&O) telah menerapkan AI bernama “Harvey” yang bertugas untuk membantu pengacara mereka dalam mengerjakan tugas administratif, seperti melakukan uji tuntas dan membuat kontrak hukum.

Di sisi lain, AI juga telah diimplementasikan untuk mem­bantu pekerjaan-pekerjaan di bidang pemerin­tahan, salah satunya di India dengan “AI for All”-nya. Inisiatif India ini bertujuan untuk memaksimalkan potensi AI untuk menganalisis data sosial media, survei, dan laporan publik guna mengidentifikasi isu publik yang perlu diatasi oleh pemerintah.

Regulasi Artificial Intelligence dalam Hukum Indonesia

Hingga saat ini, Indonesia belum memiliki regulasi yang spesifik mengatur penggunaan AI. Meski demikian, terdapat beberapa peraturan yang mengarah pada pengembangan AI di Indonesia.

Pertama, pada tahun 2020 pemerintah telah menetapkan Rencana Aksi Nasional Teknologi Ke­cerdasan Buatan 2020-2045. Dokumen ini merupa­kan acuan kementerian, lembaga, dan pemangku ke­pentingan dalam mengembangkan AI di Indonesia.

Kedua, Menurut Peneliti Lembaga Kajian Hukum Teknologi Fakultas Hukum UI, dalam Pasal 1 angka 8 UU ITE, AI dapat dipersamakan dengan definisi “Agen Elektronik” mampu melakukan tindakan ter­hadap informasi elektronik tertentu secara “otomatis”.

Ketiga, terdapat Perpres SPBE yang spesifik mengatur penggunaan AI di bidang pemerintahan. Pasal 2 Perpres SPBE menjelaskan bahwa perpres ini mencakup arah kebijakan, kerangka arsitektur, referensi, domain, dan inisiatif strategi Nasional.

Manifestasi Jika Anggota DPR Tergantikan oleh AI

Penggunaan AI di bidang pemerintahan dapat diimplementasikan sejalan dengan konsep Government 4.0 yang menggabungkan teknologi digital dan inovasi untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas pemerintahan. AI digunakan untuk mempercepat transformasi digital di sektor publik dan mening­katkan keterlibatan rakyat dalam proses pengambilan keputusan.

Untuk melihat apakah wacana mengganti anggota DPR dengan AI ini dapat diterapkan atau tidak, maka kita perlu meninjau pada definisi dari anggota DPR itu sendiri. Pasal 76 ayat (1) UU MD3 pada dasarnya menyatakan bahwa jumlah anggota DPR ialah 560 “orang” dan bukan bentuk lain selain orang.

Hal ini diperkuat dengan adanya Tata Tertib DPR, pada dasarnya mendefinisikan “anggota DPR” merupakan wakil rakyat yang telah bersumpah atau berjanji dalam melaksanakan tugasnya. Unsur “telah bersumpah atau berjanji” ini adalah hal yang sulit untuk dipenuhi, mengingat AI tidak mungkin bisa dianggap memiliki agama.

Atas dasar penjabaran di atas, dapat ditarik kesim­pulan bahwa regulasi di Indonesia secara tegas mengatur bahwa keanggotaan DPR haruslah terdiri atas orang-perorangan atau individu fisik. Dengan demikian, AI yang merupakan kecerdasan buatan pun masih belum dapat dikategorikan sebagai solusi alternatif untuk meningkatkan efektivitas DPR dan mengganti anggota DPR secara keseluruhan.

Adapun, apabila memang ingin diganti, maka perlu dilakukan upaya untuk mengubah ketentuan terkait keanggotaan DPR, seperti digantinya kata “orang” dalam Pasal 76 ayat (1) UU MD3 dan ketentuan beragama dalam Tatib DPR agar nantinya dapat mewadahi AI untuk menjadi anggota DPR.

Berdasarkan penelitian PwC, keputusan AI hanya bisa mencapai tingkat keakuratan sebesar 80%. Meskipun anggota DPR juga tidak dapat dimungkiri tidak pernah mengambil keputusan yang akurat 100% sesuai harapan rakyat, namun setidak-tidaknya anggota DPR memiliki sifat-sifat kemanusiaan dan nurani yang secara gamblang tidak dapat dikalkulasi secara angka.

Keterbatasan AI ini diperparah dengan adanya kekurangan lainnya, seperti minimnya pemahaman konteks, kreativitas, dan inisiatif. Terlebih, peran AI dalam aspek tanggung jawab moral dan etika juga akan dipertanyakan ketika ter­jadi kesalahan dalam pengam­bilan keputusan yang berdampak buruk bagi rakyat.

Meskipun peran AI dalam penyerapan aspirasi dinilai kurang efektif, namun AI dapat menjadi solusi ketika anggota DPR diharuskan untuk mengunjungi daerah pemilihan (dapil) guna menyerap aspirasi. Kini, terdapat permasalahan titik kunjungan anggota DPR yang tidak mencakup keseluruhan dapil dikarenakan tidak semuanya memiliki jalur ataupun akses transportasi yang mendukung.

Dengan demikian, AI sejatinya dapat membantu proses penyerapan aspirasi bagi anggota DPR pada daerah terkait melalui teknologi big data untuk menampung aspirasi dan keluhan masyarakat untuk nantinya dipergunakan ketika merumuskan kebijakan publik.

Mengutip dari data yang dijabarkan oleh PinterPolitik, setiap tahunnya, anggota DPR akan mendapat sekitar Rp 1,12 miliar untuk melaksanakan kunjungan ke dapil. Dengan demikian, setiap tahun DPR akan mengeluarkan anggaran kepada 575 anggotanya dengan besaran sekitar Rp 644 miliar untuk dana kunjungan dapil, tidak termasuk dana aspirasi sebesar 450 juta.

Dengan menggunakan AI untuk menyerap aspirasi di dapil, maka diharapkan dapat meningkatkan efisiensi proses penyerapan aspirasi dan bisa memangkas anggaran anggota DPR untuk melakukan kunjungan ke dapil.

Apabila memang anggota DPR ingin digantikan oleh AI, maka pemerintah Indonesia perlu untuk membuat suatu badan baru yang bertanggung jawab sebagai penyelenggara AI, agar dapat selaras dengan Pasal 1 angka 6 UU ITE. Hal ini bertujuan jika rakyat merasa dirugikan maka badan penyelenggara AI dapat dimintai pertanggungjawaban secara hukum.

Apakah Lebih Baik jika Anggota DPR Digantikan oleh AI?

Sebagai kesimpulan, meskipun terlampau banyak sekali blunder yang dilakukan oleh anggota DPR, Indonesia sebagai negara demokrasi tetap membutuhkan anggota DPR dalam bentuk fisik sebagai manusia.

Namun, AI tetaplah dipandang mampu membantu fungsi anggota DPR agar melakukan pembenahan dan penyempur­naan pengorganisasian sistem pemerintahan yang lebih efektif dan efisien di Indonesia, terlebih dalam lingkup lembaga legislatif.

Sehingga diperlukan adanya mekanisme untuk dapat saling mengkolaborasikan antara kelebihan sifat-sifat yang di miliki manusia dan juga kecerdasan yang dimiliki oleh teknologi kecerdasan buatan seperti AI. Oleh: Nino Nafan HudzaifiAsisten pengacara pada salah satu firma hukum tertua, terbesar, dan terbaik di Indonesia. Lulusan Fakultas Hukum Universitas Indonesia (*)