JUDI online atau judi yang menggunakan sistem online sebagai suatu kegiatan ilegal dengan tujuan memperoleh keuntungan. Pertanyaan mengapa judi online dilarang, berhubungan dengan kepentingan siapa yang dilanggar merupakan pertanyaan dari aspek hukum yang teramat penting. Mengapa? Hal itu disebabkan oleh hukum bersinggungan dengan individu dalam masyarakat dan hukum baru relevan jika kepentingan individu bersinggungan dengan kepentingan masyarakat.

Apakah judi online merugikan kepentingan masyarakat? Judi dalam arti sebenarnya perbuatan seseorang yang tidak bersinggungan langsung dengan kepentingan lingkungan, tetapi dapat meresahkan masyarakat. Penggunaan sarana online justru tidak terjadi keresahan masyarakat karena dilakukan secara tertutup. Alasan satu-satunya, mengapa judi harus diberantas ialah judi merusak mental masyarakat, yaitu menjadi pemalas dan memperoleh keuntungan tanpa kerja keras.

Kejahatan kesusilaan

Perjudian diatur dalam KUHP di bawah titel kejahatan terhadap kesusilaan–Pasal 303 dan Pasal 303 bis. Dapat disimpulkan bahwa pembentuk KUHP beranggapan perjudian termasuk kejahatan kesusilaan, yaitu kejahatan yang berkaitan dengan pandangan kesusilaan masyarakat dengan rumusan norma delik formal, yaitu sengaja menawarkan atau memberikan kesempatan untuk permainan judi dan menjadikannya sebagai pencarian. Atau dengan sengaja turut serta dalam suatu perusahaan untuk itu. Dengan sengaja menawarkan atau memberikan kesempatan kepada khalayak umum untuk bermain judi, dengan tidak peduli, apakah menggunakan kesempatan adanya sesuatu syarat dipenuhinya sesuatu tata cara, menjadikan turut serta pada permainan judi sebagai pencarian.

Selain hal tersebut, patut dicermati bahwa syarat judi ilegal jika tidak ada izin baik pemerintah maupun pemerintah daerah. Jika dicermati aspek hukum dari perjudian termasuk judi online jelas bahwa pembentuk KUHP bertujuan memberantas siapa saja yang memberikan kesempatan atau mena­warkan tempat untuk berbuat judi; tidak ditujukan terhadap pelaku perjudian per-se.

Baca Juga: Merdeka dari Kultur Kekerasan Institusi

Praktik pemberantasan perjudian yang tampak ialah pelaku-pelaku judi online yang ditangkap dan ditahan bukan pemilik tempat perjudian atau judi online. Bahkan, yang selalu disoal masyarakat BOS judi online yang selalu luput dari penangkapan. KUHP mensyaratkan bahwa perjudian tanpa izin yang dipidana, sedangkan KUHP menyebut permainan judi, bukan judi dan dengan frasa ‘permainan’ tersebut, judi sama saja dengan permainan lainnya, hanya harus dilakukan dengan izin saja beda dengan permainan lain seperti sepak bola.

Merujuk pada norma tentang permainan judi tersebut, yang disebut permainan judi ialah tiap-tiap permainan, yakni pada umumnya kemungkinan mendapat untung bergantung pada peruntungan belaka. Itu juga karena pemainnya lebih terlatih atau lebih mahir. Di situ termasuk segala pertaruhan segala keputusan perlombaan atau permainan lain-lain, yang tidak diadakan di antara mereka yang turut berlomba atau bermain. Demikian juga segala pertaruhannya.

Dalam hal perjudian tanpa izin, pelaku dituntut hukuman penjara paling lama 10 tahun atau pidana denda dua puluh lima rupiah. Sementara itu, bagi siapa saja yang menggunakan kesempatan main judi dipidana penjara paling lama empat tahun. Merujuk pada ancaman hukuman tersebut, tampak bahwa permainan judi bukan kejahatan berat atau serius. Akan tetapi, secara moral hanya bertujuan pencegahan bukan pemberantasan dan ketentuan ancaman lebih tinggi terhadap setiap orang yang memberikan kesempatan atau sarana main judi daripada pelaku judi itu sendiri.

Pembiaran

Sebenarnya permainan judi online yang marak akhir-akhir ini dari aspek hukum, sama saja dengan pembiaran oleh pemerintah/pemerintah daerah atau dengan kata lain diizinkan secara diam-diam sehingga kesalahan pelaku judi dan bos judi letaknya di mana? Sehubungan dengan perkembangan teknologi, permainan judi telah berubah bentuk dan cara, yaitu menggunakan sistem online ic judi online.

Terhadap permainan judi online telah diatur dalam UU Nomor 11 Tahun 2008, yang diubah UU Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, khususnya Pasal 27 (2), setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan perjudian diancam dengan pidana paling lama 6 tahun dan/atau denda paling banyak Rp1 miliar–Pasal 45 ayat (1).

Di dalam literatur Kriminologi dan Viktimologi, perjudian termasuk jenis kejahatan tanpa korban atau victimless crimes. Kosakata yang berbeda dengan disiplin ilmu hukum pidana yang bertumpu pada disyaratkan adanya korban atau adanya kerugian terhadap kepentingan masyarakat. Jika dihubungkan dengan teori hukum pidana mengenai mens rea dan actus reus, perjudian sama dengan pertanggungjawaban pidana mutlak (strict liability crimes).

Dalam status hukum sedemikian menjadi pertanyaan, mengenai legals standing pihak kepolisian yang kini sangat gencarnya memberantas perjudian online, sedangkan masih banyak kejahatan lain yang terjadi di sekeliling kita. Mengapa tidak meng­gunakan pendekatan seperti Malaysia dengan Genting Higland Casino, yakni negara memperoleh pemasukan dengan syarat tidak dapat diikuti WNI.

Masalah kesusilaan, yang dijadikan alasan perjudian dipidana pembentuk KUHP tentu dikembalikan kepada pribadi individu masing-masing. Namun, masih terdapat cara lain–jika mengingat aspek teoretis hukum–untuk mencegah dan menghapus perjudian, seperti isolasi permainan judi seperti masa Gubernur Ali Sadikin, yakni banyak pejabat tertentu dan pelaku usaha terlibat di dalamnya, tetapi negara memperoleh pemasukan.

Permainan judi atau judi online yang merebak dan tengah dilakukan tindakan penangkapan dan penuntutan pidana, sudah seharusnya dipertim­bangkan keuntungan dan kerugiannya, bukan saja dari aspek moralitas masyarakat atau perorangan pelakunya, melainkan juga dari aspek kemanfaatan ekonomis yang didapat. Oleh: Romli AtmasasmitaGuru Besar Emeritus Universitas Padjadjaran (*)