MESKI sempat gamang, pemerintah akhirnya memutuskan pembelajaran tatap muka dibuka kembali. Mulai Juli 2021 nanti, siswa secara terbatas kembali belajar di sekolah. Keputusan pemerintah mengizinkan sekolah menyeleng­garakan pendidikan secara luring ini bukan hanya menggembirakan para siswa, tetapi juga guru. Setelah sekitar satu tahun siswa terpaksa belajar di rumah, wajar jika kesempatan untuk bertemu dan belajar bersama teman di sekolah itu memantik antusiasme siswa. Surat Keputusan Bersama (SKB) Empat Menteri tentang Panduan Penyelenggaraan Pembelajaran di Masa Pandemi Covid-19 yang disiarkan langsung lewat kanal Youtube Kemendikbud menjadi angin segar, baik bagi guru maupun siswa.

Dampak PJJ Ketika pandemi covid-19 tengah menggila, pelaksanaan PJJ (pembelajaran jarak jauh) memang menjadi pilihan yang tak terelakkan. Ketika di sekolah dikhawatirkan menjadi klaster yang berpotensi besar memicu penularan covid-19, maka menutup sekolah tidak bisa tidak harus dilakukan. Dalam batas-batas tertentu, meminta siswa belajar di rumah di satu sisi memang bermanfaat mencegah penyebar­luasan covid-19. Meski demikian, di balik berbagai manfaat yang dihasilkan, pelaksanaan PJJ ternyata juga melahirkan berbagai masalah baru. Pelaksanaan PJJ yang dimaksudkan untuk mengamankan siswa dari risiko tertular covid-19 ternyata membuat motivasi dan prestasi belajar siswa menurun. Tidak sedikit siswa dilanda kebo­sanan selama menjalani proses pembelajaran di rumah saja. Bahkan, tidak sedikit pula siswa yang mengalami dampak sosial lain selama pelak­sanaan PJJ.

Selama pandemi covid-19, siswa sering kali ditempatkan pada posisi dilematis (Campbell, 2020; Fegert et al., 2020). Menurut perkiraan Ikatan Dokter Anak Indonesia, jika dari sekitar 60 juta anak usia sekolah di Indonesia kembali bersekolah, ada kemungkinan sekitar 1 juta anak Indonesia terpapar covid-19 (Tirto.id, 18 Juni 2020). Survei yang dilakukan Unicef (2020) di 34 provinsi di Indonesia pada Juni 2020, yang melibatkan 4.018 responden, melaporkan bahwa 69% siswa Indonesia bosan di rumah. Kesenjangan digital dan keterbatasan literasi digital siswa dinilai menjadi salah satu faktor yang memengaruhi ketidakmampuan siswa merespons model pembelajaran online saat pandemi covid-19 di Indonesia (Unicef.org, 16 Juni 2020).

Hasil survei yang dilakukan oleh Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menemukan bahwa selama empat minggu kebijakan PJJ diberlakukan, ada 246 keluhan dari siswa. Salah satu masalah yang paling banyak dikeluhkan ialah banyaknya tugas dengan waktu kerja yang terlalu singkat. Kegiatan belajar di rumah, yang pada awalnya dianggap menyenangkan, tapi karena sudah berjalan lebih dari beberapa bulan, ternyata menimbulkan rasa jenuh dan kelelahan. Ketidaksiapan orangtua, serta tingkah laku anak yang bosan jika terlalu lama berada di rumah, berpotensi memicu tindak penelantaran dan kekerasan anak oleh orangtua. Seperti diakui Nadiem Makarim sebagai Mendikbud bahwa pelaksaan PJJ selama satu tahun terakhir meningkatkan risiko siswa putus sekolah karena anak terpaksa membantu keuangan keluarga di tengah krisis pandemi. Tak hanya itu.

Dampak lain yang timbul selama PPJ ialah terjadinya tindak kekerasan terhadap anak, juga meningkatnya angka pernikahan dini di kalangan siswa. Data dari Komnas Perempuan menyebutkan, selama 2020 angka perkawinan anak tercatat 64.211 kasus. Jumlah itu naik hampir tiga kali lipat jika dibandingkan dengan data perkawinan anak tahun 2019 yang hanya 23.126 kasus. Dengan melihat berbagai dampak negatif yang dialami anak-anak, atau siswa selama masa pandemi covid-19, wajar jika Mendikbud mendorong agar siswa dapat kembali belajar di sekolah.

Baca Juga: Memperkuat Holding Company BUMN

Memastikan Dampak negatif yang timbul selama pelaksanaan PJJ sebetulnya bukan hanya terjadi di Indonesia. Di berbagai negara lain, persoalan yang sama juga terjadi. Di Tiongkok, misalnya, studi yang dilakukan Dong et al. (2020), yang mewawancarai 3.275 orangtua seputar pembelajaran online anak-anak usia dini selama pandemi covid-19, mene­mukan bahwa mereka umumnya memiliki keyakinan negatif tentang nilai dan manfaat pembelajaran online, dan lebih memilih pembelajaran konvensional di pusat pembelajaran secara langsung. Para orangtua cenderung tidak menyetujui dan bahkan menolak pembelajaran online karena tiga alasan utama. Pertama, karena pembelajaran online tidak memungkinkan anak untuk terlibat dalam permainan dan kegiatan yang dilakukan di luar ruangan. Kedua, karena regulasi diri anak-anak yang tidak memadai. Ketiga, karena kurangnya waktu serta pengetahuan profesional orangtua dalam mendukung pembelaja­ran online anak-anak di rumah. Selain itu, kesulitan yang disebabkan oleh pandemi covid-19 membuat banyak orangtua menderita sehingga lebih resisten terhadap pembelajaran online di rumah. Hasil pene­litian menunjukkan bahwa penerapan pembelajaran online selama pandemi covid-19 memberikan berba­gai masalah dan menjadi tantangan bagi keluarga.

Dengan melihat berbagai dampak negatif yang ditimbulkan, pemerintah memang telah memastikan agar pelaksanaan PJJ dievaluasi, bahkan jika perlu dihentikan. Akan tetapi, untuk memastikan agar pembukaan kembali sekolah tidak menimbulkan efek samping yang tidak diinginkan, ada sejumlah prasyarat yang perlu diperhatikan. Saat ini Kemendikbud tengah berusaha mempercepat program vaksinasi covid-19 bagi 5 juta guru dan tenaga pendidik. Vaksinasi anti-covid-19 bagi para guru ini ditargetkan selesai akhir Juni. Dengan begitu, pada tahun ajaran baru 2021/2022 pembelajaran tatap muka dapat direalisasikan.

Selain memastikan peneratapan protokol kesehatan, salah satu agenda yang tak kalah penting ialah bagaimana menyosialisasikan keputusan membuka kembali sekolah kepada para orangtua. Dukungan para orangtua jelas sangat diperlukan, terutama untuk mencegah agar celah kemungkinan terjadinya penularan covid-19 dapat dipersempit. Tanpa dukungan orangtua, niscaya sulit berharap pembukaan kembali sekolah tidak melahirkan masalah baru yang tak kalah mencemaskan. Jangan sampai keputusan membuka kembali sekolah menjadi bumerang yang menjerumuskan kita pada ancaman covid-19 yang mematikan. oleh: Bagong Suyanto   Dekan FISIP Universitas Airlangga